Berjanji

Mendengar kabar sang Papah sudah sadar membuat Ceri begitu senang, dia yang baru saja memarkirkan mobil segera menurunkan Regan kemudian kembali ke rumah sakit.

Titik harapan mulai nyata di mata Ceri, satu bulan menunggu dalam hampa. Hingga tak absen dari air mata, kini sang Papah yang menjadi satu-satunya sandaran dan kekuatan untuknya menjalani kehidupan yang tak mudah ini telah kembali membuka mata.

Pak Juna segera memberi kabar pada Ceri setelah istrinya mengabari beliau. Entah apa dia begitu iba dengan wanita hamil itu. Apa lagi setelah beliau mencari tau tentang keluarga Pak Bima diam-diam.

Bukan untuk mencurangi sang istri dan penasaran dengan kehidupan Gita beserta suami. Dia hanya ingin memastikan jika benar putri dari Bima benar bukan darah dagingnya. Hingga beliau menelisik kehidupan Bima dan Gita sejak kejadian itu.

Ada rasa lega di hatinya tapi ada rasa iba setelah tau putri dari Bima ternyata menderita selama pernikahannya terdahulu.

Setelah melihat Papah yang sudah sadar, bahkan melihat senyumannya walaupun di balut air mata. Ceri begitu bahagia apa lagi bisa mendengar suara sang Papah walau lirih terbata. Tapi beberapa detik kemudian dirinya di buat terkejut akan permintaan Papah yang tak ia sangka.

Papah meminta untuk menikah padahal dia baru selesai masa Idah beberapa bulan yang lalu. Bahkan kuburan suaminya masih basah dan luka yang di tinggalkan sang suami masih terasa.

Permintaan itu yang pertama dari sang papah karena selama hidupnya Papah tak pernah menuntut untuk Ceri melakukan sesuatu. Hingga ia baru sadar jika di kamar rawat Papah, dia tidak hanya sendiri. Ada Pak Juna dan wanita paruh baya yang kemungkinan adalah istrinya. Dan satu lagi, pria yang papah telah selamatkan itu ternyata "Tio."

Senyum tipis terukir dari wajah Tio, dia pun masih tak menyangka jika putri dari Pak Bima adalah Ceri, suatu kebetulan atau memang takdir yang sedang mempermainkan dirinya.

"Menikahlah dengannya nak...."

"Tapi Pah, ini nggak mungkin! Ceri seorang janda dan sekarang sedang mengandung. Ceri nggak mau menjadi beban orang lain Pah! Ceri bahkan nggak ada niat mau menikah lagi, cukup kita dan cucu Papah. Ceri nggak butuh suami lagi Pah!" air mata Ceri terus menerus jatuh, dia tak kuasa jika terus di beri kenyataan yang tak ia inginkan.

"Sayang, putri Papah. Terimalah! ini permintaan terakhir Papah. Papah mohon, papah akan tenang jika kamu dan cucu Papah ada yang menjaga. Papah nggak kuat lagi nak..."

"Papah!" Ceri terkejut melihat sang Papah yang tiba-tiba merasa sesak. Tapi mata Papah begitu banyak beban dan harapan. Tubuh Ceri lemah, hingga Mamah Tio mendekat dan merangkul pundaknya.

"Papah, Ceri mohon bertahan. Ceri butuh Papah, Ceri sayang Papah." Ceri terisak, di sela tangisnya sang Papah mencoba menggenggam tangannya. Tio yang sejak tadi sudah mendekat walaupun hanya diam dan penuh rasa salah. Tangannya pun di genggam oleh Pak Bima, genggaman yang lemah tapi penuh makna.

"Saya mohon, berjanjilah untuk menikahi anak saya!" ucap Pak Bima terbata. "Hutang nyawamu lunas jika kamu menikahi putriku!"

"Pah..." Ceri menggelengkan kepalanya, dia tak sanggup berucap. Apa lagi sang Papah tampak semakin sesak.

"Tio janji Om, Tio janji akan menikahi anak Om. Bertahanlah Om!"

Senyum terukir di wajah Pak Bima, ia merasa lega setelah mendengar janji Tio. Kemudian melirik Ceri yang masih terisak. "Janji sama Papah, kamu menikah dengannya."

Tanpa suara Ceri hanya menganggukkan kepala, ia berharap ini akan membuat sang Papah kembali bersemangat. Hingga dokter yang tadi Pak Juna panggil mendekat dan memeriksa.

"Tolong mundur sebentar!"

Semua melangkah mundur, Mamah Tio mengajak Ceri untuk duduk di sofa karena tubuhnya yang kian melemah untuk sekedar berdiri. Menunggu dengan begitu panik karena sang Papah semakin sesak dengan nafas berat. Hinga kenyataan kembali membuat Ceri ingin menjerit.

"Innalilahiwainnailaihirojiun Pak Bima sudah tiada.."

deg

Semua tampak terkejut, jantung Tio pun berdebar kencang. Tak menyangka ini akan terjadi, kelalaiannya yang berujung kematian.

"Papah...." lirih Ceri, hatinya bagai di hantam batu besar hingga ia tak sanggup kemudian tak sadarkan diri.

"Nak, nak Ceri! Dok, tolong periksa Ceri Dok!" seru Mamah yang duduk menahan tubuh Ceri.

Tio menatap Ceri dari kejauhan, setelah ia mengurus administrasi dan berkas-berkas kematian Pak Bima, Ia di minta menunggu karena jenazah sedang di mandikan terlebih dahulu.

Dia menatap wajah wanita hamil yang berbalut hijab putih, wajah yang pucat dan tersirat penuh beban. Mamah duduk di samping ranjang Ceri sedangkan Papah mengurus pemakaman untuk mengebumikan Pak Bima sore ini.

"Apa ini takdir hidup gue? gue harus menikahi Ceri. Ya Tuhan kenapa harus berakhir begini, apa bisa gue memenuhi janji dan hidup dalam rumah tangga tanpa cinta. Apa lagi harus menerima dua anak yang bukan darah daging gue sendiri."

Tio mengusap wajahnya kasar, ia memejamkan mata hingga bayangan akan janji yang ia ucapkan tadi begitu nyata. Menarik nafas dalam kemudian mendekati Mamahnya.

"Mah..."

"Iya nak," mamah menoleh ke arah Tio yang sudah berdiri di sampingnya seraya menatap wajah Ceri.

"Mamah merestui?"

"Jika ini sudah takdir hidup kamu, Mamah bisa apa. Kamu anak mamah satu-satunya. Jadilah lelaki yang bertanggung jawab, lelaki yang menepati setiap janjinya. Karena laki-laki yang di pegang adalah ucapannya. Mamah merestui kalian..."

"Tapi Tio nggak mencintainya mah, apa Tio bisa melewati semua tanpa menyakiti hatinya?"

"Berusahalah nak, Mamah lihat Ceri anak yang baik. Dan semoga menjadi istri yang baik untuk kamu. Buka hati kamu untuknya, ikhlaskan Sella karena dia sudah bahagia dengan suami dan kedua anaknya."

Tio masih bimbang akan langkahnya, hanya ada rasa iba melihat Ceri dan rasa bersalah padanya.

Mata Ceri terbuka dengan air mata yang kembali terurai. Ia melihat sekitar, kemudian pandangannya jatuh pada Mamah Tio yang menggenggam tangannya.

"Papah..."

"Sebentar lagi papah kamu di bawa pulang dan sore nanti akan di kebumikan. Sabar ya nak, maaf kan Tante karena kecelakaan itu membuat kamu kehilangan Papah kamu."

"Aku mau ikut pulang..." Ceri mencoba beranjak dari tidurnya tetapi segera di tahan oleh Arsita.

"Nak, biar dokter memeriksa kamu dulu ya. Nanti jika di perbolehkan pulang, kita pulang sama-sama."

"Tapi aku mau lihat Papah dan kasian Regan jika aku nggak ada, dia pasti terpuruk melihat Opanya sudah tiada seperti Papahnya." Dada Ceri begitu sesak, dia tak hanya memikirkan dirinya. Tapi juga putranya, tak terbayang jika sang putra juga akan sedih melihat Opa pergi seperti Papahnya.

Mendengar itu Mamah Tio tak kuasa menahan air mata, apa lagi melihat Ceri yang semakin kalut dan terpuruk. Tio yang mendengar pun hatinya tersentuh, dia tak mampu membayangkan anak kecil yang akan menagis melihat Opanya pulang dengan keadaan sudah tak bernyawa.

Terpopuler

Comments

Samsia Chia Bahir

Samsia Chia Bahir

Sampe sini masih 😭😭😭😭😭😭😭😭

2024-03-05

0

Yuliana Purnomo

Yuliana Purnomo

nangis nyesek banget Thor

2024-02-14

0

etihajar

etihajar

ceri kasian bgt kmu😭😭

2024-01-02

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!