Part 2 : Harus Sabar

Gideon datang ke rumah Thalita dengan wajah ditekuk dan irit bicara, tidak seperti biasanya yang cerewet kayak burung beo. Thalita mengerutkan kening tanda heran, tapi tetap mempersilahkan pacarnya itu duduk di teras dan berlalu untuk membuat teh dan mengambil cemilan.

"Silakan, Bang. Biar wajahnya gak kusut gitu!"

Gideon mencomot pisang di piring dan menggigitnya dengan kasar, kemudian meneguk teh hangat dalam gelas. Mencomot pisang lagi dan minum lagi, sampai piring dan gelas bersih tandas tak bersisa.

"Semuanya 50 ribu ya, Bang!" kata Thalita kesal.

Gideon mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari dalam dompet, dan memberikannya pada Thalita. Dengan girang gadis itu menerimanya dan memasukkan dalam saku.

"Ada apa sih, Bang?"

"Abang lagi sedih, dosen Abang protes. Masa di setiap foto kantung semar di makalah, ada wajah Abang."

Ingin sekali Thalita ngakak, tapi ditahannya sekuat tenaga. Bisa-bisa Gideon sewot kalau ditertawakan dan bukan gak mungkin, mengambil 50 ribu itu kembali.

"Lalu gimana, Bang? Disuruh bikin lagi?"

Gideon mengangguk lesu, dan Thalita berusaha menyembunyikan tawa dalam batuk-batuk kecil.

"Kapan mau ke kebun raya lagi?"

"Besok, Tha. Kamu mau kan, temani Abang ke sana lagi? Abang gak suka pergi sendirian, sepi," kata Gideon memelas.

"Yah, kalau besok Thalita gak bisa, Bang. Thalita ada tugas kelompok yang dikerjakan di rumah Deasy. Gimana kalau Abang ajak Karin aja?"

Thalita sengaja mengarang alasan agar tak menemani Gideon ke kebun raya. Mitos yang beredar, pacaran di tempat itu membuat pasangan lebih cepat putus. Percaya gak percaya sih, tapi banyak kejadian yang terjadi di antara teman-temannya, yang putus dengan pacar setelah menggunakan tempat itu untuk memadu kasih.

"Gak bisa ditunda, kerja kelompoknya?"

"Ya gak bisa, Bang. Udah deadline buat ngumpulin, kan aturan minggu kemarin itu Thalita kerja kelompok, tapi malah nemenin Abang ke kebun raya buat penelitian.”

" Oh gitu, Abang gak tau, maaf ya Tha!"

"Gapapa kok, Bang, toh Deasy bisa ngerti. Tapi kalau besok Thalita gak kerja kelompok lagi, bisa-bisa nama Thalita dicoret."

"Ya tinggal dihapus saja coretannya, gampang kan?" usul Gideon dengan nada melamun.

Thalita kembali merasa kesal, pacar antiknya kadang tak menggunakan otaknya yang cuma separuh saat berbicara, membuat pendengarnya harus mempunyai kesabaran ekstra.

"Maksudnya, gak dicantumkan dalam daftar anggota kelompok, Bang. Nanti Thalita dianggap gak mengumpulkan tugas dan otomatis gak dapat nilai," jelas Thalita sedikit kesal.

"Terus, Abang perginya sama siapa dong? Masa pergi sendiri? Ngajak Karin juga pasti gak mau."

"Ajak aja teman Abang yang lain, masa Abang gak punya teman?"

"Gak mau, nanti mereka malah nyontek hasil kerja Abang. Enak aja, Abang yang susah ngerjain, tar meraka yang dapat nilai bagus."

Thalita mendengkus, omongan Gideon semakin tak masuk akal. Mana ada yang bakal nyontek hasil kerja orang yang otaknya cuma separuh, kan?

"Ya kalau gitu, Abang berangkat sendiri aja!"

"Oke, tapi Abang mau pinjam ponsel Thalita buat ngambil foto. Buat jaga-jaga kalau Abang lupa lagi bawa baterai buat kamera."

Thalita menepuk jidatnya tanda putus asa, bisa-bisanya cowok antik di depannya ini semakin ajaib. Dari pada meminjam ponsel Thalita, lebih baik dia baterai kan? Kenapa tuh cowok gak berpikir begitu?

"Abang dulu, dari SD sampai kuliah sekarang ini, suka bolos?"

"Enggaklah, kan Abang rajin, meski sakit Abang juga tetap masuk sekolah, asal gak pingsan aja. Jadi mana mungkin Abang bolos," jawab Gideon sambil menepuk dada jumawa.

"Pernah tinggal kelas?"

"Kalau itu pernah, SD tiga kali, SMP sekali dan SMA sekali juga."

TUINGG

Kalau di film kartun, mungkin begitu bunyi bola mata Thalita yang melompat dari rongganya. Gadis itu tak menyangka, kalau cowok antiknya, memang barang antik dari jaman purba yang perlu dilestarikan.

"Hm, pantesan saja," kata Thalita sambil menggaruk hidungnya.

"Pantesan kenapa, Sayang?"

"Pantesan Abang pinter, ternyata sekolahnya jauh lebih lama dari Thalita."

"Jadi, boleh gak Abang pinjam ponsel kamu buat ambil foto?"

"Sebentar ya, Bang!"

Thalita berdiri, kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. Sambil menunggu, Gideon mengutip remahan tepung pisang goreng yang tertinggal di piring, dan memakannya. Merasa haus, Gideon juga meneteskan sisa teh di gelas yang hanya beberapa tetes ke lidahnya.

Tak lama, Thalita keluar sambil membawa dua baterai ukuran kecil yang biasa dipakai untuk jam dinding, kemudian memberikannya pada Gideon.

"Ini, Bang, Thalita punya baterai yang cocok untuk kamera Abang. Masukkan ke dalam tas, biar gak ketinggalan lagi!"

"Wah, kamu memang pinter, Tha. Gak rugi Abang punya pacar kayak kamu, selalu tau yang Abang butuhkan. Makasih, ya."

Thalita hanya tersenyum, menanggapi ucapan cowok antiknya.

"Ya udah, kalau begitu Abang pamit dulu ya, Tha. Abang ke kebun rayanya sekarang aja, mumpung belum terlalu siang. Makasih buat teh sama pisang gorengnya, enak banget.

"Iya, Bang. Hati-hati di jalan ya! Jangan ngebut bawa motornya, pelan-pelan saja! Ingat pepatah, lebih baik terlambat lima menit, daripada masuk rumah sakit!"

"Iya, Sayang. Abang jalan dulu."

Gideon meraih kamera yang sedari tadi diletakkan di meja oleh cowok itu. Seketika timbul perasaan tak enak dalam benak Thalita, entah apalah itu.

Thalita membawa piring kotor bekas pisang goreng, dan gelas teh ke belakang untuk dicuci. Benak Thalita masih diliputi perasaan aneh saat tadi Gideon pamit pergi.

"Apa ya yang aneh dari Bang Gideon tadi ya, kok kayak ada yang janggal?" kata Thalita sambil mencuci piring.

"Bajunya oke, celana dan jaket juga oke, sepatu juga gak salah kayak tempo hari, sebelah hitam sebelah lagi biru. Hem ... apa ya?"

Thalita mengingat-ingat, apa tadi yang terlihat janggal saat Gideon pergi.

"Ah iya, bener kan ada yang janggal?"

Thalita menepuk dahinya dengan tangan yang penuh busa sabun cuci, tak lama gadis itu berteriak karena matanya pedih.

"Sialan banget nih, aku jadi ketularan b*go karena terlalu sering gaul sama Bang Gideon nih. Masa mata mau ku cuci juga pakai sabun, perih dong," gerutu Thalita memarahi diri sendiri.

"Tadi kan kamera yang dibawa Bang Gideon itu kamera antik yang se-antik dirinya kan? Pakai rol film yang negatifnya perlu dicuci dulu lalu dicetak. Haduh Abang, kenapa sih kamu itu serba antik? Gak orangnya, gak seleranya, gak barang-barangnya, antik semua."

Kali ini Thalita menggaruk kepalanya yang gatal karena ketombe. Membayangkan kesialan yang sebentar lagi akan menimpanya, mendengar keluh kesah Gideon pacar antiknya.

"Kenapa takdir yang kau terima begitu kejam, wahai Thalita?" seru Thalita putus asa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!