~
Langit kekuningan yang membentang sejauh mata memandang.
Angin di sore hari yang menenangkan, serta suara gemericik air mancur di Batalyon 2 Kesatria Sihir menemani sore hari Synathisa yang damai. Dia duduk dikursi panjang area tengah batalyon sambil memandang langit.
“Komandan…” Ucap kesatria yang melewati Synathisa,
Dia mengangguk untuk menjawab kesatria itu. Dia melakukan hal yang sama untuk beberapa kali hingga dia kesal dengan hal itu.
Kemudian dia berdiri dan pergi dari tempat itu dengan kesal.
“Dimanapun aku tidak bisa bersantai…” Ucapnya kesal,
“Aku ingin segera pulang dan merentangkan tubuhku…Ahh” Lanjutnya didalam hati sambil membayangkan ranjang rumahnya,
Tiba-tiba Synathisa merasakan sesuatu datang menghampirinya.
“Synathisa…Aku tahu kamu disana” Ucap seseorang yang berbicara didalam pikiran Synathisa,
“Heee!…Paman Arta?” Tanya Synathisa terkejut,
“Iya ini aku…” Jawab Arta,
“Kenapa kamu menghubungiku dengan telepati?” Lanjut gadis itu bertanya,
Arta menjelaskan keadaan yang sedang terjadi kepada Synathisa untuk beberapa saat,
“…Aku juga telah menghubungi Albis” Jelas Arta,
“Baiklah…Aku akan kerumah setelah tugasku selesai” Ucap Synathisa,
“Terima kasih, Syna” Ucap paman itu dan memutuskan telepatinya,
~
Beberapa saat kemudian,
Setelah tugasnya hari itu selesai, Synathisa bergegas kerumah nenek dan kakeknya. Dia berlari meninggalkan ruangannya lalu tiba-tiba teringat sesuatu,
“Bodoh-bodoh-bodoh…” Ucap Synathisa menepuk jidatnya,
Dia kembali dengan berlari mundur masuk ke ruangannya karena dia lupa membawa pedangnya, Dia kembali bergegas kerumah kakek dan neneknya untuk menjelaskan keadaan yang sedang terjadi.
~
Hari demi hari berlalu. Richey yang semula kesulitan untuk bermeditasi karena dirinya seperti bermusuhan dengan ketenangan, sekarang terlihat mampu untuk berdamai dengan hal itu. Dia bermeditasi bersama Dyres, Venesia dan Shane dengan membentuk garis sejajar dibawah air terjun. Bebatuan yang semula tidak sejajar, dibuatnya sejajar menggunakan kekuatan mereka sebelum mulai bermeditasi. Hal itu dilakukan karena pesan yang mereka dapat mengatakan bahwa hal itu adalah salah satu syarat bermeditasi untuk mereka.
Varadis dan Namira setiap hari selalu mengunjungi mereka, hingga beberapa kali mereka menginap dan mendirikan tenda ditepian sungai. Mereka berdua melakukan hal itu saat Namira merasa benar-benar rindu dengan cucu-cucunya. Sedangkan Arta, Albis dan synathisa bergantian setiap hari untuk mengawasi mereka selama bermeditasi.
Mereka tidak bisa mendekati cucu-cucunya, karena setiap kali mendekat sebuah Penghalang Annaroth dengan daya serang yang besar bisa saja melukai tubuh mereka. Penghalang itu terbentuk sejak awal mereka mulai bermeditasi.
~
Seminggu kemudian di tepi sungai,
Terlihat Albis tertidur di kursi lipatnya sambil memegang pancingan, dengan telunjuk tangan kirinya masih menancap di lubang hidung.
“Hey bangun!” Ucap Synathisa yang datang bersama Arta,
“Aa…Tangkapan besar! Bantu a…ku…” Ucap Albis terkejut terbangun dari tidurnya,
“Ya! Kamu sudah menangkapnya tanpa menggunakan pancingan” Saut Synathisa,
“Aa…hehe…” Albis melihat telunjuk tangan kirinya lalu membersihkannya sambil tersenyum konyol kearah Synathisa,
“Apakah mereka sudah seperti itu sejak tadi, Albis?” Tanya Arta dengan heran,
“Haaa?” Ucap Albis melihat Arta kemudian mengalihkan pandangannya ke arah adik-adiknya yang sedang bermeditasi,
“Mustahil…” Albis tercengan ketika melihat adik-adiknya,
Mereka bingung karena melihat Aura Annaroth yang sangat besar, bergelora dan seperti ingin membentuk sesuatu disekitar tubuh mereka yang sedang bermeditasi.
“Itu adalah Phymorium…” Ucap Varadis yang baru saja datang bersama Namira,
“Dalam bahasa kita berarti Aura Annaroth…” Jelasnya sambil menaruh keranjang bekal dan bawaan lainnya ditanah,
“Sepertinya mereka belum pernah melihat hal seperti itu” Ucap Namira kepada suaminya,
Mereka bertiga melihat Namira dengan wajah tercengang,
“Kalian harus terus hidup agar mata kalian bisa melihat lebih banyak hal diluar sana…” Lanjut Varadis sambil menyambung tiang tenda,
“Kita melihat hal gila seperti ini?” Jawab Albis,
“Di Kerajaan ini?” Saut Synathisa,
“Mustahil jika bukan karena cucu-cucu kalian, tuan…nyonya” Sambung arta,
“Sudah…Lebih baik kalian membantu memasang tenda…” Ucap Namira,
“Aku telah membawa banyak makanan untuk kita makan sampai malam nanti” Lanjutnya,
Aura Annaroth yang bergelora itu seperti hendak mencerminkan apa yang ada didalam diri pemiliknya masing-masing. Aura itu terlihat dan terasa sangat menyeramkan bagi makhluk-makhluk yang belum mengetahuinya, namun tidak bagi Varadis dan Namira. Mereka terus memandangi keempat cucunya setelah mereka selesai makan.
~
Hingga pagi harinya,
“Kakek…Nenek…Apakah kalian sudah bangun?” Tanya Synathisa dari luar tenda,
“Sayang…” Ucap Namira membangunkan suaminya,
Namira merasakan Annaroth yang meledak-ledak dilingkungan sekitarnya. Dia bergegas bangun dan keluar tenda diikuti oleh Varadis yang baru saja membuka matanya.
“Ada apa kalian…” Ucap Varadis terhenti ketika dia keluar tenda dan membuka matanya,
“Sepertinya penglihatanku terganggu lagi, sayang. Semuanya seperti bergelombang…” Ucap Varadis mengusap matanya,
“Apakah kamu membawa obat mata, sayang?” Lanjutnya,
“Sayang…?” Tanya dia kembali karena Namira tak menjawab pertanyaannya,
Sesaat kemudian dia tersadar dan merasakan gelombang Annaroth yang sangat kuat dan tajam telah mengganggu ruang disekitarnya. Dia berjalan perlahan menghampiri Namira, Synathisa, Albis dan Arta.
“Sayang…” Ucap Namira menggapai tangan suaminya itu,
“Apakah kita harus menghentikannya, nyonya?” Tanya Arta yang tubuhnya merasa tertekan oleh Annaroth itu,
"Kita tidak akan bisa menghentikannya.." Ucap Namira,
Tangan Namira mulai membuat segel niewral, sebuah penghalang yang dapat menetralkan efek dari Annaroth itu perlahan membesar dan melindungi mereka,
“Kita perhatikan saja apa yang akan terjadi selanjutnya…” Lanjut Namira,
“Baiklah, nyonya…” Saut Arta tersungkur ke tanah karena kelelahan dan pusing menahan gelombang Annaroth itu,
Setelah itu Synathisa dan Albis yang terdiam juga mengalami hal yang serupa dengan Arta. Mereka tersungkur namun tetap menatap adik-adiknya.
~
Beberapa saat kemudian,
Annaroth yang semula semakin tajam dengan perlahan mulai memudar. Mereka dapat merasakannya walaupun mereka tengah berada di dalam niewral yang yang dibuat oleh Namira.
“Lihat…” Ucap Varadis sambil duduk memegang Namira yang bersandar padanya,
Namira membuka matanya dan menatap kearah cucu-cucunya.
“Apakah mereka telah selesai?” Ucap Arta memegang kepalanya yang terasa pusing,
“Sepertinya tidak akan lama…” Jawab Namira,
“Anak-anak…” Lanjutnya mencoba membangunkan Albis dan Synathisa yang tak sadarkan diri,
“Sepertinya kita melupakan satu hal…” Ucap Varadis sambil mengeluarkan Annaroth Alam dari tangan kirinya,
Annaroth Alam itu perlahan mengisi ruang didalam niewral yang dibuat oleh Namira. Perlahan kondisi Albis, Synathisa dan arta membaik.
Tak berselang lama Albis dan Synathisa kembali tersadar,
“Lihat…” Ucap Arta sambil menunjuk ke arah air terjun,
Aura Annaroth yang menyelimuti Richey, Dyres, Venesia dan Shane perlahan mengecil dan membentuk jubah yang berbeda satu sama lain. Shane dengan jubah Annaroth yang berwarna biru, Venesia dengan jubah Annaroth berwarna merah, Annaroth hitam pekat yang seperti asap membentuk jubah hitam pada tubuh Dyres dan Annaroth Putih yang menyilaukan mata perlahan membentuk jubah putih pada tubuh Richey.
“Phymorium yang mereka miliki sepertinya menyesuaikan dengan jenis Annaroth yang mereka miliki…” Ucap Namira dan seketika tersadar ada seseorang yang berdiri disebelah Varadis,
“Sepertinya disini berjalan lancar…” Ucap Bayangan Hassac Dimetros,
Varadis terkejut karena tiba-tiba ada suara seseorang disebelah dirinya. Dia memalingkan wajahnya dengan kaku ke arah kiri. Varadis yang masih tidak percaya, dengan wajah paniknya terus menatap Bayangan Hassac itu.
“Ahh!...Aku baru ingat ingin menghukum mu karena mengatakan hal buruk terhadap teman anakku” Lanjut Bayangan Hassac sambil tersenyum ke arah Varadis,
“Hiiii!!!” Varadis ketakukan dan dengan cepat berpindah kebalik tubuh Namira.
“Kakek…” Ucap Namira dan menundukkan kepalanya,
Arta, Synathisa dan Albis bingung melihat mereka berdua karena terlihat seperti sedang berbicara dan ketakutan pada sesuatu.
“Kamu luar biasa tahan cucuku yang cantik…” Puji Bayangan Hassac kepada Namira,
Namira melihat ke arahnya karena tidak memahami perkataannya,
“Apa maksudnya, Kek?” Tanya Namira,
“Kamu berhasil mengurus makhluk ini hingga menjadi bocah tua nakal seperti sekarang…” Jawabnya menunjuk pada Varadis,
Varadis hanya merespon seperti kucing sedang marah kepada Bayangan Hassac itu.
“Aa…Hahaha…” Tawa palsu Namira,
Dari belakang Albis memperhatikan Kakek dan Neneknya dari sisi kanan dan kiri.
“Aa…Sepertinya mereka telah termakan oleh umur” Ucap Albis dengan sangat yakin,
‘Tok!”
Tiba-tiba wajah Albis terhantam sepatu Namira hingga terjatuh. Ketika itu juga cahaya dari arah air terjun bertambah terang dan menyinari mereka hingga tidak bisa membuka mata.
Sesaat kemudian mereka semua melihat Shane, Venesia, Dyres dan Richey melayang sebentar dan terbangun dari meditasinya.
Mereka yang telah terbangun dari meditasi sesaat merasa linglung. Dengan segera Namira melepas niewral yang melindunginya dan bergegas menghampiri cucu-cucunya bersama Varadis. Mereka berdua langsung memeluk cucu-cucunya dengan perasaan khawatir.
"Nenek..." Ucap Richey sedikit lemas,
~Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments