SL- 19

Mendengar tangisan memelas putri kesayangannya yang baru saja sembuh dari penyakitnya, ayah mana yang sanggup mendengarnya? Tentu Jordan bukan salah satunya. Karena setelah panggilan Vivi tadi, pria paruh baya itu menurunkan titah kepada sopirnya untuk segera menjemput putrinya di rumah sakit jiwa.

“Jemput Vivi sekarang juga!”

Itulah perintah yang diberikan Jordan kepada sopirnya tanpa diketahui istrinya. Kini, yang bisa dilakukan Jordan adalah mengharapkan yang terbaik agar putrinya sampai di rumah dengan selamat.

Selang satu jam berlalu, mobil yang dikendarai mobil Jordan telah sampai di tujuan. Sang sopir langsung turun dari kendaraannya, dan segera berjalan ke meja resepsionis.

“Saya ingin menjemput seorang pasien bernama Vianli Caroline,” ucap sang sopir dengan penuh keyakinan. Sebelum menanggapinya, perawat yang bertugas di meja resepsionis mulai mengetik sesuatu di laptopnya, mencari data tentang sosok yang dimaksud.

“Vianli Caroline, ya ... ah, maksud Anda Nona Vivi, ya? Jika tidak keberatan, bolehkah saya mengetahui siapa Anda, Tuan?”

“Saya sopir pribadi yang bekerja di keluarga Nona Vivi.”

Penjelasan sopir di depannya membuat perawat itu mengangguk singkat.

“Baiklah jika begitu. Sebelum saya menjemput Nona Vivi keluar, harap selesaikan administrasi terlebih dulu.”

Setelah itu, sopir suruhan Jordan mengisi setiap data yang diperlukan dalam mengurus kepulangan Vivi. Barulah setelah semuanya selesai, kedua orang itu pergi ke kamar Vivi.

Di saat yang sama, saat itu, Ronald berada di depan kamar Vivi, memerhatikan sosok di dalam sana dari kaca dengan wajah khawatir. Entah kenapa, hatinya merasa gusar tanpa alasan, seakan ingin mengatakan jika akan terjadi sesuatu yang buruk.

“Ah, Pak Ronald, kebetulan sekali.”

Selang lima menit, Ronald terkejut tatkala namanya terpanggil. Ia pun langsung menoleh ke asal suara, mendapati perawat yang biasa bertugas di meja resepsionis kini membawa seorang yang asing.

“Ada apa? Dan ... siapa orang ini?”

Kala kedua orang itu berada di hadapannya, Ronald langsung mengarahkan tubuhnya kepada mereka, menunjukkan senyum ramahnya.

“Dia adalah sopir dari keluarga Nona Vivi. Dia ingin membawa Nona Vivi kembali karena kesehatan beliau telah normal,” jelas suster itu seraya memperkenalkan sosok di sebelahnya. Detik itu juga Ronald melebarkan kedua matanya, terkejut. Dalam hati dirinya tahu jika ia tidak dapat menghentikan itu. Entah apa yang akan terjadi pada Nero jika ia tahu Vivi telah dibawa pergi, pikir Ronald dalam hati.

“Begitu, ya ... kau benar. Kondisi Nona Vivi memang sudah stabil. Kupikir dia memang sudah diperbolehkan pulang,” ujar Ronald yang berusaha menunjukkan wajah tenang.

“Atas nama keluarga Nona Vivi, saya berterima kasih karena telah mengembalikan Nona Vivi seperti semula.”

“Tidak perlu bersikap formal seperti itu. Kami, pihak rumah sakit, hanya melakukan apa yang bisa kami lakukan,” balas Ronald menanggapi sopir Jordan sembari mengibaskan kedua tangan.

Setelah basa-basi ringan itu, akhirnya sopir itu membawa Vivi pulang ke rumahnya. Ronald yang masih bergeming di depan kamar Vivi menghembuskan napas panjang.

“Hah ... semoga Nero akan baik-baik saja setelah mengetahui ini.”

***

Pukul lima sore, Nero baru datang di tempat kerjanya. Hal tersebut dikarenakan dirinya mendapat jadwal shift malam. Dan sebelum ia bekerja, Nero berniat melakukan kunjungan rutinnya kepada Vivi. Bersama sebuket bunga dan cokelat, Nero mendatangi kamar Vivi dengan senyum sumringah di wajah.

“Aku yakin dia akan menyukai ini,” ucap Nero pada dirinya sendiri dengan suara pelan. Kepalanya juga mulai membayangkan senyum manis di wajah Vivi, alasan terbesar Nero sering membawakannya buah tangan.

Naas, sesampainya di tujuan, Nero tidak menemukan apa yang dicarinya.

“...kamarnya kosong? Tidak biasanya.”

Di dalam kamar Vivi, Nero tidak menemukan perempuan yang dicarinya. Ia meletakkan hadiahnya di meja terdekat, berniat mencari ke sekitar rumah sakit.

“Mungkin saja dia memiliki teman baru dan mengunjunginya. Ya, pasti itu.”

Tidak ingin pikiran negatif menyelimuti kepala, sebisa mungkin Nero membuat tebakan positif yang dapat mengalihkan pengaruh buruk. Dengan begitu, Nero mulai pencariannya.

Menyusuri setiap tempat yang berkemungkinan disinggahi Vivi, Nero mendatanginya satu per satu dengan sabar. Kamar para pasien, taman bunga di belakang rumah sakit, tidak satu pun tempat tadi ada Vivi. Setelah hampir setengah jam mencari, barulah Nero sadar jika ia tidak akan pernah menemukan Vivi karena tidak memiliki arah yang jelas.

“Jika kupikirkan kembali ... rasanya kamar Vivi tadi terlalu aneh juga. Tempat tidurnya telah dirapikan, dan nameplate-nya sudah tidak ada. Apa mungkin ....”

Saat itu, Nero telah menemukan kesimpulannya. Namun, ia tidak ingin menerimanya. Ia langsung mengibaskan kepalanya cepat, berusaha menyingkirkannya.

“Tidak, itu tidak—oh, Ronald!”

Secara kebetulan, mata Nero berhasil menangkap seseorang familiar di koridor tempatnya berdiri. Itu adalah Ronald, dan pria itu langsung mendekatinya.

“Tidak biasanya kau berkeliaran di sini jam segini. Pekerjaanmu sudah selesai?”

Pertanyaan Ronald dibalas dengan gelengan kepala Nero.

“Aku baru pergi ke kamar Vivi, dan tidak ada orang di sana. Apa kau tahu di mana dia?”

Pertanyaan Nero menyebabkan kedua mata Ronald melebar seketika. Sejenak pria itu menunjukkan kilatan keraguan di kedua mata. Bahkan Ronald juga sempat mengalihkan pandangan, yang membuat Nero semakin penasaran.

“Sejam yang lalu, pihak keluarga Vivi ... menjemputnya pulang. Dia sudah kembali, Nero.”

Bak tersambar petir, wajah Nero pucat seketika. Jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kedua mata dan mulutnya terbuka lebar, mendukung keterkejutan yang dirasakannya.

“A-apa? Pulang? Itu ... itu tidak mungkin. Vivi tidak mengatakan apa pun tentang pulang padaku. Itu ... aku tidak mau menerimanya ....”

Setelah sadar dari keterkejutannya, Nero langsung meracau dengan suara pelan. Ia melangkah mundur sembari menundukkan kepala, membuat Ronald yang berada di depannya khawatir.

“Nero, kau ... baik-baik saja? Apa ada yang bisa kubantu?”

Setelah mendengar pertanyaan Ronald, Nero langsung mendongak.

“Ronald, katakan padaku. Kau pasti tahu di mana alamat rumah Vivi, kan? Katakan padaku!”

Tidak hanya mengucapkannya dengan suara keras, Nero juga langsung mendekati Ronald, menarik kerah pakaiannya dengan kedua tangan. Bagaikan orang linglung yang kehilangan arah, itulah anggapan Ronald kepada kondisi Nero sekarang.

“Maaf, Nero, tapi aku tidak tahu tentang itu. Tapi ... seharusnya sopir itu mengisi administrasi sebelum membawa Vivi pergi. Jadi, seharusnya identitas dan alamatnya pasti ada di resepsionis—tunggu, Nero, kau mau ke mana?!”

Belum selesai Ronald berucap, Nero telah terlebih dulu melepas tarikannya dan berlari ke depan, menuju resepsionis. Mengabaikan pekerjaan yang menanti diselesaikan, saat ini fokus dan tujuan Nero hanya satu, menemui Vivi. Ia berlari, melewati orang-orang yang berlalu-lalang di koridor dengan wajah terburu-buru. Mengabaikan setiap pasang mata yang menatapnya aneh, Nero tetap berlari.

“Kenapa kau meninggalkanku tanpa mengucapkan apa pun, Vivi?!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!