Lagi-lagi Vivi membuat keributan di rumah sakit jiwa tempat ia dirawat. Wanita itu menangis histeris di ruang pertemuan antara pasien dan keluarga. Vivi menjerit keras. Menangis histeris dan semakin menjadi.
Dina masih berada di sana ketika tubuh Vivi mulai bereaksi setelah anak tirinya itu menangis. Diam-diam Dina tersenyum senang, bersorak di dalam hati karena dirinya telah berhasil membuat kesehatan mental Vivi kembali terguncang hebat.
Seperti inilah Vivi. Nama Azzam akan menjadi sangat sensitif bagi telinga dan perasaannya. Kematian sang tunangan yang ia rasa terlalu cepat bak sekali kedip mata—jelas meninggalkan luka yang sangat mendalam.
Azzam-lah alasan Vivi ingin mengakhiri hidup. Menganggap takdir Tuhan terlalu kejam kepada dirinya. Hingga perasaan kehilangan terus menggerogoti dirinya, dan kemudian berakhir di rumah sakit jiwa.
Wajah tirus Vivi telah dibasahi oleh air mata. Bibirnya bergerak, mengeluarkan suara tangis pilu. Sebentar Vivi menutup wajahnya, lantas tangisnya pecah lagi dan lagi.
Ibu tiri Vivi menatap puas hasil dari ulahnya. Dina menyambar tas hitam yang ia letakkan di kursi kosong. Karena tidak ada alasan lagi ia harus berada di sana, Dina pun beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan Vivi yang telah hilang kendali.
"Selamat tinggal anak bodoh." Dina menyeringai sebelum pergi. "Tempat kamu memang di sini. Selamanya." Ia bergumam dalam bisikan lirih.
Langkah Dina tanpa beban. Justru ia perlu merayakannya. Karena Vivi, tidak akan pernah beranjak dari tempat ini. Mau hari ini, esok, atau seterusnya, Dina akan melakukan berbagai cara supaya Vivi tidak akan pernah diizinkan keluar.
Kondisi mental Vivi memang ada kemajuan. Belum dikatakan sembuh total, melainkan dalam proses. Walau Vivi sudah bisa diajak bicara panjang lebar, tapi pada dasarnya secara psikis, Vivi masih terguncang akibat kepergian Azzam. Maka dari itu lah Dina dengan mudah mengguncang mental Vivi. Wanita itu awalnya baik-baik saja. Namun, setelah Dina membocorkan siapa Nero, tentu saja Vivi shock.
Rupanya, orang yang memiliki andil dalam proses kesembuhannya adalah malaikat maut yang menyebabkan Azzam meninggalkan dalam kecelakaan. Bayangkan jika kalian menjadi Vivi. Ia dirawat oleh penyebab calon suaminya meninggal.
***
"Dokter Ronald!"
Ronald sedang memantau kondisi pasiennya lewat komputer yang dipajang di atas meja perawat. Seseorang memanggilnya dengan nada panik, setengah terengah-engah karena berlari saat harus menghampiri pria itu.
Ronald memutar badan dan menatap perawat di depannya. Kerutan di dahinya nampak jelas. Ronald kemudian bertanya, "Ada apa? Kenapa kamu lari-lari?"
"Itu, dok, Vivi!" serunya. Satu tangannya menunjuk ke lorong.
Ronald mendesah panjang. "Kenapa lagi dengan Vivi? Dia membuat masalah apa lagi?" dengusnya.
"Vivi menangis histeris di ruang pertemuan, dok! Sekarang perawat lain sedang menenangkan. Tapi dia malah mengamuk!" lanjutnya.
"Apa?" sahut Ronald mengeluarkan satu tangannya dari saku jasnya. "Sekarang bagaimana keadaannya?" tanyanya.
"Saya nggak tahu, dok. Terakhir dia marah-marah saat akan ditenangkan," jawabnya.
"Ya sudah, ikut saya menemui Vivi kalau begitu."
"Mari, dok," ujarnya.
Ronald ditemani seorang perawat menemui Vivi di ruang pertemuan. Entah apa yang memancing Vivi menjadi histeris kembali. Dari cerita perawat yang menemukan Vivi pertama kali, wanita itu duduk sendiri sambil menangis meraung-raung. Tidak ada satu keluarga pun yang berada di sana.
"Sepertinya ada yang sengaja membuat Vivi kambuh," gumam Ronald dalam hati.
Sepasang kaki panjang Ronald melangkah lebar-lebar. Lebih cepat. Hingga perawat tertinggal di belakang.
Sebelum kaki Ronald berada di ruang pertemuan, ia sudah bisa mendengar jeritan histeris Vivi. Ronald kian mempercepat gerak langkahnya. Hingga tiba di sana, Vivi sudah di kelilingi oleh beberapa perawat.
"Vivi," panggil Ronald. Ia berusaha membujuk pasiennya.
Vivi hampir melukai perawat yang mengelilinginya. Sepasang mata wanita itu sembab dan merah. Ronald mendekati Vivi dengan langkah hati-hati. Vivi dalam keadaan emosional sekarang. Yang Ronald ingat terakhir kali, Vivi hampir terjun dari atap gedung.
"Pergiii! Pergi kalian semua! Aku tidak butuh kalian, berengsek!" umpat Vivi mengamuk.
Ronald mengulurkan tangannya. Ia ancang-ancang menarik tangan pasiennya itu. "Ada apa, Vi? Kita bisa bicara baik-baik kalau kamu mau. Jangan begini, kamu bisa menyakiti orang lain di sekitarmu."
"AKU BILANG, AKU TIDAK PEDULI!" jeritnya, semakin menjadi.
Vivi terlalu fokus pada amarahnya. Ketika wanita itu sempat lengah, Ronald memanfaatkan keadaan. Ia menyambar kedua tangan Vivi, meminta bantuan para perawat agar membawa wanita itu ke dalam kamarnya.
"Awasi Vivi. Selama dia masih menangis seperti ini, jangan biarkan Vivi keluar dari kamarnya," perintah Ronald.
"Baik, dok," jawab seorang perawat.
Dugaan Ronald sepertinya benar. Vivi sedang kambuh, maka dari itu Vivi mengamuk sejadi-jadinya. Ronald dan para perawat menggiring Vivi menuju ke kamar, memastikan kalau Vivi segera tenang.
Selama dipindah ke kamarnya, Vivi masih menangis—walau tidak sekeras tadi. Tidak lama setelahnya, lewat dua jam wanita itu menangis sampai wajahnya pucat, tangis Vivi menghilang. Membuat orang-orang bertanya apa yang terjadi dengan wanita itu.
***
Vivi menggigit bawah bibirnya. Wajah pucat dan layu wanita itu terlihat jelas kalau ia telah menghabiskan banyak waktunya karena menangis.
Kedua kaki Vivi menuruni ranjang. Langkahnya lebih lamban, setengah tertatih. Vivi berdiri di dekat pintu, mengamati dari celah yang ada di benda itu. Saat ia menemukan seorang perawat yang lewat, ia berusaha memanggilnya.
"Tolong," seru Vivi mengulurkan kedua tangannya lewat celah pintu. "Tolong buka pintunya. Aku ingin bertemu dengan Dokter Ronald, sekarang."
Perawat itu berhenti. Ia melihat Vivi jauh lebih baik daripada beberapa jam yang lalu. Tanpa pikir panjang ia mengeluarkan kunci kemudian membukakan pintu untuk Vivi.
Setelah pintu dibuka, Vivi bergumam, "Terima kasih." Perawat itu mengangguk. "Di mana aku bisa menemui Dokter Ronald? Ada yang ingin aku bicarakan dengannya."
"Oh, Dokter Ronald ada di ...,"
***
Vivi mendapat informasi kalau Dokter Ronald ada di ruang perawat sekarang. Vivi menyusul pria itu ke sana. Kedatangannya di ruang perawat sontak memancing perhatian orang-orang. Termasuk Ronald sendiri.
Pria itu tertegun mendapati Vivi tampak baik-baik saja. Normal. Seperti bukan orang yang mengalami masalah kejiwaan.
Sorot mata Vivi berubah dingin. Ia berhenti tepat di depan Ronald. "Bisakah aku memijam ponselmu?" Vivi menengadahkan tangannya.
Ronald semula ragu. Tapi ia tetap memberikan ponselnya. Tangan kurus Vivi menyambut benda persegi itu. Dengan sedikit gemetaran Vivi mengetik nomor telepon Jordan, ayahnya.
Vivi tidak perlu menunggu waktu terlalu lama agar bisa mendengar suara ayahnya. Hanya butuh dua detik saja, sambungan telepon sudah diangkat oleh pria setengah baya itu.
"Ayah ...," isak Vivi. Sepasang matanya memejam. "Keluarkan aku dari sini. Aku mohon, Yah."
Sakit yang dirasakan Vivi seolah tidak mudah dihilangkan. Mengetahui kalau Nero-lah penyebab kematian Azzam, Vivi bersikeras ingin keluar dari rumah sakit jiwa. Ia tidak ingin lagi berada di sini dalam waktu yang lama.
"Aku sudah sembuh, Yah. Aku baik-baik saja. Tolong jemput aku secepatnya," pintanya.
Vivi meyakinkan Jordan kalau ia telah sembuh. Sejujurnya Jordan juga tidak tega melihat sang putri mendekam di rumah sakit jiwa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments