SL- 20

Senja sudah berganti malam. Langit sudah terlihat gelap saat Nero sudah sampai di depan gerbang rumah Vivi. Psikiater tampan itu turun dari mobilnya dan memperhatikan gerbang tinggi itu dari dekat. Saat mencoba mengintip, ia melihat keadaan di dalam sangat sepi. 

"Kok seperti tidak ada orang ya?" gumam Nero dengan dahi berkerut samar. Ia kembali mengintip, tapi tetap saja keadaannya sama—sepi.

Tiba-tiba saja Nero terlonjak kaget saat ada seseorang yang membuka pintu gerbang kecil di sisi kanannya. Ternyata itu adalah satpam yang sedang berjaga. Entah dari mana munculnya satpam itu karena tak terlihat di matanya. Nero pun menghela napas lega, untung saja jantungnya tidak copot. 

Satpam pria yang terlihat masih berusia awal tiga puluhan itu menghampiri Nero dan bertanya ada kepentingan apa datang ke rumah itu. 

"Mas cari siapa ya?" tanya Satpam berkulit sawo matang itu. 

"Benar ini rumah Nona Vivi?" Nero mencoba memastikan. Siapa tahu saja ia salah alamat. Namun, sepertinya benar karena melihat nomor rumahnya. 

"Benar, tapi Masnya ada perlu apa?" Satpam itu menatap Nero dengan penuh rasa waspada. 

"Nona Vivinya ada di rumah? Saya lihat sepertinya suasana rumahnya sangat sepi sekali." 

"Sepertinya Nona Vivi belum pulang. Saya belum melihatnya sedari tadi," jawab Satpam itu. 

Mendengar jawaban satpam yang berjaga di rumah Vivi, malah membuat Nero menjadi bingung. Jelas-jelas tadi Ronald mengatakan jika Vivi sudah pulang, tapi mengapa wanita itu belum juga sampai di rumah? Apa mungkin terjadi sesuatu hal buruk pada Vivi saat perjalanan pulang? Ia sungguh sangat khawatir sekali. 

"Siapa yang datang?"

Tampak ada satu lagi satpam pria yang baru saja keluar dari pintu gerbang. Pandangan Nero pun beralih pada satpam yang bertubuh kurus tinggi itu. 

"Mas ini nanyain Non Vivi. Saya bilang Non Vivi belum pulang," sahut Satpam pertama. 

"Oh iya, Non Vivi memang belum pulang karena katanya mau mampir dulu ke makam mendiang calon suaminya," jelas Satpam kedua. 

Akhirnya Nero bisa sedikit menghela napas lega saat mendengar alasan Vivi belum juga tiba di rumah itu. Kemungkinan Vivi masih berada di sana karena jarak waktunya dan gadis itu berangkat dari rumah sakit tidak begitu jauh. 

"Tapi, Masnya ini siapa? Kok tanya soal Non Vivi?" telisik Satpam kedua sambil menatap Nero. 

"Saya Nero, psikiater yang bekerja di rumah sakit tempat Nona Vivi dirawat," jelas Nero. "Saya ingin bertemu dengan Nona Vivi karena ada hal yang perlu disampaikan. Apa saya boleh tahu di mana letak pemakaman yang dikunjungi oleh Nona Vivi?" imbuhnya sembari bertanya kembali. 

Akhirnya kedua satpam itu memberitahu lokasi pemakaman yang dikunjungi oleh Vivi. Tak mau membuang waktu lebih lama lagi, Nero pun bergegas menaiki mobilnya dan langsung menuju tempat Vivi berada. Ia jelas sudah tidak sabar ingin menemui wanita itu. 

***

Di tempat lain tepatnya di makam Azzam, saat ini Vivi sedang duduk berjongkok sambil menangis. Tak ada rasa takut lagi di benaknya padahal hari sudah gelap karena malam. Beruntung pemakaman itu difasilitasi lampu-lampu terang sehingga suasana tidak terlalu mencekam. 

"Hari ini entah mengapa aku merindukan kamu. Rasanya aku masih tidak rela kehilanganmu secepat ini. Padahal sedikit lagi kita akan menikah dan menjadi suami istri, tapi dengan egoisnya kamu pergi sendiri meninggalkan aku," isak Vivi. 

Perasaan hatinya saat ini memang sangat tak karuan. Vivi juga merasa sangat bersalah karena telah mulai melupakan sosok Azzam yang dulu sangat dicintainya. Apalagi orang yang membuatnya terbuai dan cukup bahagia adalah penyebab kecelakaan maut itu hingga Azzam harus meregang nyawa. 

"Aku datang ke sini karena merasa sangat bersalah ke kamu. Aku tidak tahu kalau pria itu lah yang telah merenggut kebahagiaan kita. Pria itu yang merusak semua rencana masa depan kita hingga hancur berantakan. Harusnya sekarang kamu sudah menjadi suami aku dan mungkin kita akan segera dikaruniai anak, tapi nyatanya tidak seperti itu."

Air mata Vivi mengalir dengan sangat deras. Dadanya terasa sangat sesak sekali hingga hampir kesulitan bernapas. Ia pun menepuk-nepuk dadanya berulang kali sambil terus terisak. Sungguh suka nestapa seperti enggan meninggalkannya. Baru saja merasa mendapatkan pengganti orang tercinta, tapi harus ditampar sebuah kenyataan yang begitu pahit. 

***

Sementara itu Nero saat ini masih berada di dalam perjalanan. Tidak diduga ia malah terjebak macet dan belum sampai di pemakaman yang dikunjungi oleh Vivi. Ia sangat gelisah karena tak bisa cepat menemui wanita yang saat ini mengisi hatinya. 

"Kalau macet terus begini, kapan aku bisa sampai? Takutnya Vivi malah sudah tidak ada di sana dan sia-sia saja aku menyusulnya," keluh Nero. 

Memang kemacetan di kota besar itu lumrah saat pergantian hari seperti ini karena bertepatan dengan orang-orang pulang dari kerja. Nero mencoba untuk bersabar meskipun mobilnya harus berjalan merayap. 

"Semoga saat aku sampai di sana, Vivi masih ada," harap Nero. 

Suara bising deru mesin kendaraan dan klakson terdengar di telinga Nero. Kemacetan kali ini cukup panjang hingga membuat Nero berkali-kali mengembus napas lirih. Kalau bisa ia tinggalkan saja mobilnya, dan berlari menemui Vivi. Namun, ia urungkan niatnya itu karena pasti akan menimbulkan masalah. 

Akhirnya mobil Nero berhasil melewati kemacetan itu. Saat ini ia sudah berada di area parkir pemakaman yang dikunjungi oleh Vivi. Ia merasa sedikit lega karena parkiran itu tidak sepi karena ada beberapa mobil selain miliknya. Bisa jadi salah satu mobil itu adalah yang dinaiki Vivi. 

Nero berlari kecil masuk gerbang pemakaman. Matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari keberadaan Vivi di tengah hamparan banyaknya batu nisan. Di sana ia juga tidak sendiri sebab ada beberapa orang juga yang mengunjungi makam. 

Setelah mencari sekitar lima menit, Nero akhirnya menemukan keberadaan Vivi. Meskipun jarak mereka cukup jauh, Nero bisa dengan mudah mengenali wanita itu. 

Senyuman mengembang di bibir Nero karena senang saat mendapati Vivi di belakang pohon beringin, dan duduk meringkuk sambil memeluk batu nisan. Namun, tiba-tiba senyumnya sedikit memudar sebab dari kejauhan saja ia dapat melihat raut kesedihan di wajah Vivi. 

'Dia pasti sangat mencintai mendiang calon suaminya. Sehabis pulang dari rumah sakit pun, dia menyempatkan datang ke sini. Tapi, aku tidak ingin melihat kesedihan lagi di matamu, Vi. Aku siap untuk menggantikan sosok pria itu,' batin Nero. 

Nero memutuskan untuk mengawasi Vivi dari jauh saja. Ia ingin memberikan kesempatan pada wanita itu untuk sendiri di depan makam. Niatnya adalah menemui Vivi saat wanita itu sudah selesai dengan urusannya di sana karena ia tak mau mengganggu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!