Seminggu berlalu setelah Dina meminta Marvin mencari informasi tentang Nero. Wanita paruh baya itu tampak gelisah karena cukup lama orang kepercayaannya itu tidak memberikan kabar.
"Ck! Mengapa kinerja Marvin makin menurun? Sekarang sudah satu minggu sejak kuperintahkan untuk mencari tahu soal psikiater yang dekat dengan Vivi, tapi dia belum juga menghubungiku juga!" gerutu Dina. Saat ini ia berada di kamarnya dan kebetulan suaminya tidak ada di sana sehingga ia bisa leluasa mengomel.
Tak berapa lama ponsel yang diletakkannya di atas nakas berbunyi. Saat Dina mencoba melihat ke layar, ternyata yang menelepon adalah Marvin. Tersemat sebuah senyuman licik di bibir ibu tiri Vivi tersebut.
"Dia panjang umur rupanya," gumam Vivi sebelum mengangkat telepon dari Marvin.
"Halo, mengapa lama sekali kamu meneleponku? Apa kamu sudah dapat informasi tentang pria yang bernama Nero itu?" Sepertinya Dina sudah tidak sabar untuk mendengarkan kabar dari orang kepercayaannya itu.
"Maaf agak lama, Nyonya. Tapi, saya yakin saat Anda mendengarkan informasi ini, pastinya Anda akan senang. Sepertinya Dewi Fortuna memang berpihak pada Anda saat ini," balas Marvin panjang lebar.
"Memangnya apa informasinya? Kalau tidak membuatku senang dan puas, aku bisa saja memecatmu!" ancam Dina.
"Ha-ha, saya yakin Anda tidak mungkin akan memecat saya, malah Anda akan memberikan saya bonus karena informasi ini," tanggap Marvin.
"Apa memangnya? Jangan berbasa-basi lagi!" tanya Dina yang sudah sangat penasaran.
Akhirnya Marvin pun mengatakan pada Dina jika orang yang terlibat kecelakaan dengan Vivi adalah Nero. Kecelakaan fatal yang membuat nyawa Azzam—calon suami anak tirinya terenggut.
Dina shock, tapi kemudian ia tertawa senang saat tahu fakta tersebut. Ia merasa jika semesta saja mendukungnya. Informasi ini jelas sangat bagus sekali karena bisa melancarkan aksinya untuk membuat kondisi kejiwaan Vivi makin terpuruk alih-alih sembuh.
"Kerja bagus, Vin! Saya akan kasih kamu bonus tiga kali lipat karena informasi yang kamu dapatkan benar-benar berbobot. Ternyata walau lama, kinerjamu bagus juga," puji Dina.
"Terima kasih, Nyonya. Jangan pernah berpikir untuk memecat saya karena saya ini jelas sangat berguna," balas Marvin yang membuat tawa Dina makin kencang.
Setelah itu mereka pun mengakhiri panggilan telepon karena semua informasi sudah tersampaikan.
Jelas Dina tak hanya akan diam saja. Ia berniat untuk menemui Vivi di rumah sakit jiwa sekarang. Tentunya ia sudah tidak sabar untuk menghasut putri tirinya itu dan melihat reaksi Vivi saat tahu Nero adalah orang yang membawa mobil ketika kecelakaan maut itu terjadi.
***
Sekarang Dina sudah berada di dalam ruang tunggu rumah sakit jiwa. Seperti biasanya ia selalu berpenampilan elegan saat bepergian. Di atas meja pun sudah disediakan secangkir teh hangat untuknya sembari menunggu kedatangan Vivi.
Dina menyesap tehnya sambil memperhatikan sekeliling ruang tunggu tersebut. Meskipun rumah sakit jiwa, tempat ini cukup bagus dan nyaman juga. Tiba-tiba saja timbul senyum seringai di wajahnya karena ia terpikir sesuatu.
'Jika Vivi menetap di sini selamanya pun tidak buruk bukan? Rumah sakit jiwa ini mempunyai fasilitas yang cukup bagus. Aku yakin kalau dia pasti akan betah,' batin Dina dengan segala kelicikannya.
Tak berapa lama datanglah Vivi yang diantarkan oleh perawat wanita ke ruang tunggu itu. Dina yang melihat putri tirinya itu langsung menaruh cangkir tehnya lalu beranjak dari sofa untuk menghampiri Vivi.
"Oh Vivi sayang! Akhirnya kamu datang juga." Dina seketika saja langsung memeluk Vivi dengan sangat erat layaknya seorang ibu yang merindukan anaknya.
Vivi agak terkejut karena hari ini sikap ibu tirinya baik sekali padanya. Namun, ia tak mau berpikiran negatif dan membalas pelukan wanita paruh baya itu.
"Wajahmu sekarang terlihat lebih berseri. Aku sangat bahagia melihatmu seperti ini." Dina menangkup kedua pipi Vivi sambil tersenyum manis.
"Iya, Bu. Aku sekarang sudah merasa lebih baik," sahut Vivi. Ia berusaha untuk membalas senyuman ibu tirinya meski awalnya agak canggung.
Dina mengajak Vivi untuk duduk di sofa agar mereka lebih nyaman mengobrol. Jangan salah, sikap manis dan baiknya hanyalah kebohongan semata. Nyatanya wanita paruh baya itu sudah mempunyai rencana licik yang tersusun rapi di otaknya.
"Ibu hanya datang sendiri? Ayah mana?" tanya Vivi sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
"Ibu memang datang sendiri, Vi. Ayahmu itu akhir-akhir ini sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya makanya belum bisa datang menjengukmu. Tapi, kamu juga sudah dinyatakan sembuh total 'kan? Jadi, nanti kamu juga akan bertemu dengannya di rumah," papar Dina. Wanita itu memang penuh manipulasi dan sungguh licik.
Vivi sebenarnya cukup kecewa karena sang ayah seperti bersikap abai padanya selama ia dirawat di rumah sakit jiwa. Mungkin saja ayahnya itu merasa malu karena mempunyai seorang putri yang kesehatan mentalnya terganggu. Ia tidak tahu kalau ayahnya itu sebenarnya sangat rindu padanya dan ingin menjengukmu, hanya saja dipengaruhi oleh sang ibu tiri hingga tak jadi datang.
"Kira-kira kapan katanya kamu boleh pulang? Nanti di rumah akan dipersiapkan pesta syukuran atas kesembuhan kamu, Vi," tanya Dina berbasa-basi. Padahal niatnya adalah tetap membuat putri tirinya itu tinggal di rumah sakit jiwa dalam jangka waktu lama.
"Aku juga belum tahu, Bu. Mungkin dalam minggu-minggu ini. Pak Nero akan membantu proses pemulangan aku dari sini," jawab Vivi.
Dina sepertinya mempunyai celah untuk melancarkan aksinya saat mendengar jawaban Vivi. Ia pun tersenyum samar karena tidak sabar dengan yang akan terjadi selanjutnya.
"Kamu masih dekat dengan pria yang bernama Nero itu, Vi? Sebaiknya kamu menjauhi dia dari sekarang, Vi!" tegas Dina.
"Memangnya kenapa, Bu? Justru dia yang selama ini membantuku bangkit dari rasa trauma dan keterpurukan. Dia adalah sosok penolong bagiku, Bu." Vivi tampak tidak terima karena Vivi melarangnya dekat dengan Nero.
Dina menghela napas lirih sebelum menjawab pertanyaan Vivi. Ia seketika saja memegang tangan putri tirinya dan memasang raut wajah sedih.
"Sebenarnya Ibu tidak mau mengatakan hal ini, tapi sepertinya kamu berhak tahu, Vi." Dina kembali mengatur pernapasannya sebelum melanjutkan kata-katanya. "Jadi, sesungguhnya Nero adalah orang yang pernah terlibat kecelakaan denganmu dan membuat Azzam meninggal, Vi," ungkapnya kemudian.
Kedua mata Vivi membola. Dadanya memanas karena amarah tiba-tiba saja muncul di dalam dirinya. Bagaimana bisa pria yang selama ini bersikap baik padanya dan membantunya sembuh adalah orang yang membuat calon suaminya meninggal? Itu terasa seperti sambaran petir di hatinya.
Vivi menangis, meraung, dan tak bisa mengendalikan emosinya setelah mengetahui kebenaran yang sangat mengejutkan ini. Sedangkan Dina tampak bahagia, wanita itu berharap kejiwaan Vivi kembali terguncang, dan tetap menjadi gila agar terus mendekam di rumah sakit jiwa dalam jangka waktu panjang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Bunda dinna
Vivi dari awal mungkin memang mentalnya rapuh jadi mudah depresi
2023-01-26
0