Suasana di rumah sakit jiwa tempat ia bekerja sedikit lebih tenang setelah adanya kejadian hari ini. Ya, Vivi berusaha mengakhiri hidupnya dengan naik ke atap gedung.
Ronald melebarkan langkah. Mempercepat langkahnya menuju ke ruangan rekan kerja sekaligus temannya.
Sementara Ronald hendak menemui Nero, ingin melihat keadaan temannya sekaligus memastikan luka pria itu, Nero, tengah diobati oleh seorang perawat di ruangannya.
Luka yang ia dapatkan dari Vivi, tidak bisa dibilang parah. Hanya berupa cakaran. Nanti setelah diobati, akan sembuh. Dan bekasnya akan menghilang dengan sendirinya.
Fokus Nero dan perawat yang mengobatinya terbagi setelah mendengar suara pintu ruangannya diketuk dari luar. "Masuk!" seru Nero. Ia kemudian menatap perawat yang telah selesai mengobatinya. "Terima kasih."
"Sama-sama, dok." Perawat itu pun membereskan perlengkapannya. Lantas pamit kepada Nero. "Permisi dok," katanya, kala membuka pintu dan bertatap muka dengan Ronald, salah satu dokter yang bekerja di rumah sakit jiwa yang sama dengan Nero.
Ronald menarik tangannya dari saku jas putihnya. "Silakan," ujarnya.
Pria itu berjalan ke pinggir memberi ruang bagi perawat agar keluar lebih dulu. Setelah perawat pergi, Ronald masuk ke dalam. Ia berbicara dengan Nero yang kini duduk di atas kursi kerjanya.
Nero menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ronald menutup pintu lebih dulu sebelum ikut duduk di kursi seberang.
"Bagaimana dengan lukamu?" tanya Ronald begitu ia duduk dan bersandar.
Pria di depannya mengangkat tangannya yang lecet. "Baik-baik saja. Bukan luka serius. Jadi santai saja," jawab Nero tenang.
"Baguslah." Ronald menghela napas lega. "Aku pikir Vivi juga melukai wajahmu yang tampan," kekeh pria itu geli. "Tapi hanya di beberapa bagian saja. Jadi wajahmu aman. Tidak ada masalah," ejeknya.
Nero mengibaskan tangannya ke udara. Ia lantas ikut tertawa dengan ejekan rekan kerjanya itu. "Sekali pun dia mencakar wajahku, aku akan menerimanya. Asal Vivi selamat," ujarnya. "Kau tahu, aku tidak setenang itu. Aku hanya berusaha setenang mungkin supaya Vivi mengurungkan niatnya."
Ronald bertepuk tangan tiba-tiba. "Astaga, ya Tuhan, Nero!" serunya.
Di balik ketakutan orang-orang terhadap niat Vivi ingin bunuh diri, tindakan yang Nero lakukan dalam membujuk Vivi tadi tidak hentinya menuai decakan kagum hingga pujian selangit.
Ronald dan para dokter, dan perawat sudah was-was sekali. Mereka sangat takut Vivi sungguhan nekat. Entah, kalau saja Nero tidak berhasil membujuk Vivi—walau dengan cara paling ektrim—seperti meminta Vivi terjun sekalian, dan mendeskripsikan segala kemungkinan terburuk jika Vivi benar-benar terjun dari atap, pada akhirnya Nero berhasil.
"Kau sangat hebat!" puji Ronald tanpa basa-basi.
Dahi Nero berkerut. Ini kali pertama Ronald memuji dirinya. Pria itu seolah sangat antusias sekali. "Jangan berlebihan," ujar Nero. "Apa yang aku lakukan tadi memang sudah menjadi tugasku. Walau sebenarnya tidak mudah membujuk orang seperti Vivi, aku tidak mau menyesal di kemudian hari. Aku tidak bisa membiarkan dia mati sia-sia." Sepasang mata Nero menerawang. Tampak kosong. "Keberadaan dia di sini, tentu karena orang tua dan keluarganya berharap Vivi akan sembuh suatu hari nanti."
Ronald merasa takjub mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Nero. Di matanya sekarang, Nero bukan hanya seorang psikiater. Tapi juga pahlawan bagi pasiennya.
"Kau sudah seperti seorang super hero saja," gumam Ronald. Sekali lagi memberi tepuk tangan. "Kejadian hari ini tidak akan bisa dilupakan siapa pun yang melihatnya."
"Hei, Ronald," tegur Nero. "Ada apa denganmu? Kenapa terus memujiku seperti itu? Aku jadi ngeri," canda Nero kemudian.
Ronald mendesis. Satu jarinya menunjuk Nero di hadapannya. "Padahal aku tulus mengatakannya. Harusnya kamu mengucapkan terima kasih padaku. Kau pasti merasa tersanjung," tambahnya.
Suara tawa keduanya seiring waktu berhenti dan menghilang. Tiba-tiba Nero mengingat sosok Vivi lagi. Setelah kejadian di atap hari ini, Vivi segera dibawa oleh perawat, dan Nero pergi ke ruangannya sendiri.
"Nero, kenapa kamu melamun?" tanya Ronald. Ia menyadari perubahan raut wajah rekannya.
Lamunan Nero buyar. Ia menatap Ronald. "Bagaimana dengan kabar Vivi, Ron? Apa dia baik-baik saja sekarang?" tanyanya hati-hati.
Ronald menghela napas panjang. Ia menjejalkan kedua tangannya ke saku jasnya. "Jelas dia tidak baik-baik saja," jawabnya. "Setelah perawat membawanya pergi. Mereka mengikat Vivi kembali ke kamarnya."
Terdengar satu helaan napas panjang yang lolos dari bibir Nero. Ia bisa merasakan kesedihan Vivi. Nero terdiam, memejamkan matanya erat. Ia tertekan.
Nero tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia mengaku sangat mengkhawatirkan kondisi Vivi sekarang. Mendengar wanita itu kembali dikurung, membuat perasaan Nero ikut terluka karenanya.
"Nero." Ronald mengetukkan jari-jarinya di atas meja kerja Nero. Saat itu Nero pun melidik Ronald yang kini beranjak dari kursinya. "Aku harus memeriksa pasien. Aku pamit," gumamnya.
"Hm." Nero mengangguk ringan.
Setelah Ronald keluar ruangannya, Nero pun ikut beranjak dari tempat duduknya. Pria itu menatap luka di tangannya. Perlahan Nero meninggalkan ruang prakteknya. Ia hendak melihat kondisi Vivi di ruangannya.
***
Para perawat meninggalkan Vivi di ruangannya seorang diri. Kedua tangan serta kakinya terikat cukup kencang. Membuat Vivi merasa putus asa.
Ruangan miliknya tampak sepi. Kosong. Tempat ini menjadi saksi atas kesedihan serta penderitaan yang ia alami.
Vivi telah meyakinkan dokter dan perawat kalau dirinya bukan orang gila seperti yang diyakini orang-orang. Namun, ucapan Vivi hanya dianggap angin lalu. Jika seseorang sudah dikurung di tempat ini, maka ucapan apa pun tidak akan dipercaya. Sampai mulut Vivi berbusa pun, mereka tetap menganggap Vivi gila.
Sementara Vivi duduk melamun di ruangannya. Nero memutuskan menemui Vivi. Ia melewati lorong-lorong untuk bisa sampai ke tempat wanita itu.
Ketika langkah Nero berada di dekat pintu, pria itu mengintip kondisi Vivi dari luar. Dari tempat ia berdiri, Nero melihat Vivi duduk dengan sorot mata yang kosong.
Nero pun nekat masuk ke dalam, lalu menyapa Vivi. Tidak lupa Nero tersenyum kepada wanita itu. "Hai, Vivi."
Mulanya Nero pikir Vivi akan bersikap dingin, membungkam bibirnya rapat menolak diajak bicara oleh Nero. Namun, dua kata yang lolos dari bibir Vivi pun berhasil mengejutkan dirinya.
"Terima kasih," ucapnya.
Seolah tak percaya, Nero sampai memiringkan kepalanya. Ia benar-benar melihat gerakkan bibir mengucapkan dua kata tersebut.
Nero berdeham. Untuk memastikan ia bertanya, "Untuk apa?"
"Entahlah," gumamnya. "Mungkin karena kamu sudah menyadarkan diriku," jawabnya.
Saat itu Nero dibuat heran. Pasalnya, Vivi nyambung ketika diajak bicara olehnya. Tidak seperti orang gila pada biasanya.
Vivi tampak stabil seperti orang normal. Diajak bicara juga bisa. Nero semakin yakin kalau Vivi tidak gila. Wanita itu sangat berbeda dengan penghuni rumah sakit jiwa pada umumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Bunda dinna
Kasihan Vivi
2023-01-25
0