SL- 5

Keributan yang terjadi dari kamar Vivi rupanya mengundang perhatian dari petugas rumah sakit lainnya. Ronald meminta Nero dan dua orang perawat laki-laki yang baru datang untuk memegangi Vivi. Dokter muda itu langsung menyuntikkan obat penenang di lengan kanan Vivi agar wanita itu tidak mengamuk lagi. Namun, efek obat tersebut tidak langsung bekerja sehingga Vivi masih mengamuk. 

"Tolong bantu ikat dia!" perintah Ronald pada Nero dan dua orang perawat laki-laki yang ada di ruangan rawat Vivi. 

"LEPASKAN AKU! AKU TIDAK GILA!" teriak Vivi sambil terus memberontak. 

Kedua mata Vivi masih menatap nyalang ke arah Nero. Wanita itu seperti sangat membencinya hingga membuat hati Nero terenyuh. Ia tahu jelas apa yang dirasakan oleh Vivi karena ia juga mengalaminya. Kehilangan dua orang yang paling berharga di dalam hidupnya, istri dan calon anak laki-lakinya. Bedanya Nero lebih kuat dan tidak mengalami depresi berat seperti Vivi. Saat ini ia bahkan sudah harus mengemban tugas sebagai seorang psikiater. 

Sekarang Vivi sudah tak bisa berbuat banyak karena kedua tangannya masing-masing sudah terikat di besi ranjang. Hanya saja wanita itu masih terus saja memberontak ingin membebaskan diri dan terus mengeluarkan kalimat-kalimat umpatan. 

"DASAR SIALAN KALIAN! AKU MASIH WARAS! LIHAT SAJA KALIAN AKAN AKU TUNTUT KARENA TELAH MEMPERLAKUKANKU SEPERTI INI!!!"

Meskipun Vivi masih terus berteriak-teriak, Ronald menghela napas lega karena wanita itu sudah diamankan. Vivi adalah salah satu pasiennya yang sering kali mengamuk dan kehilangan kendali ketika bertemu orang asing. Maka dari itu memang perlu perhatian ekstra. 

Di sisi lain, Nero masih terus menatap ke arah Vivi. Entah mengapa rasanya hatinya menjadi sakit sekali seolah ada sebuah pecahan kaca yang menggoresnya. Dadanya juga terasa sangat sesak sekali saat memandang sosok wanita dengan penampilan memprihatinkan. Bagaimana tidak, Vivi terlihat sangat kacau dengan rambut yang acak-acakan.

"Akhirnya, kalau dia tidak diikat pastinya bisa membahayakan banyak orang. Dia memang agak sensitif dan sering kali mengamuk kalau didekati orang asing. Huft ... aku kasihan sama dia, padahal usianya masih muda," ujar Ronald yang juga menatap iba ke Vivi. 

Saat ini kondisi Vivi sudah mulai tenang. Sepertinya efek obat penenang itu sudah mulai bekerja. Wanita itu tidak lagi bersuara dan kedua matanya berkedip-kedip seperti orang yang terlihat kelelahan. Ia juga sudah tidak lagi mengeluarkan kata-kata kasar lagi dari mulutnya. 

Ronald mengalihkan pandangan dari Vivi ke Nero. Ia melihat temannya itu memandang pasiennya tanpa berkedip seperti orang melamun. Perhatiannya juga tertuju pada tangan Nero yang tampak banyak luka goresan. 

"Tangan kamu luka. Sebaiknya kamu segera obati ini," ucap Ronald, tapi Nero sepertinya tak mendengarkan hingga ia perlu mengibaskan tangannya di depan wajah temannya itu. 

Nero terkesiap dan langsung menoleh ke arah Ronald. "Kenapa, Ron?" tanyanya. 

"Tangan kamu luka, Nero. Kamu harus segera mengobatinya," jawab Ronald seraya menghela napas lirih. 

Pada akhirnya Nero pun mengangguk. Ia bahkan baru sadar jika tangannya terluka. Sudah pasti ini karena perbuatan Vivi karena kuku-kuku wanita itu panjang. Tentu saja agak sulit mengurus Vivi yang sering mengamuk sehingga para perawat jarang sekali memotong kuku wanita malang tersebut. 

"Nanti aku akan obati," tanggap Nero. 

"Sepertinya dia sudah mulai tenang. Lebih baik kita keluar saja dan biarkan dia sendiri," ajak Ronald yang langsung ditanggapi anggukkan oleh Nero. 

Selepas keluar dari ruangan Vivi, Nero mengobati tangannya yang penuh dengan luka gores. Rasanya memang pedih, tapi ia yakin hati wanita itu lebih sakit. Mungkin saja perasaan seorang wanita lebih halus dan rapuh daripada pria. Ia tak dapat membayangkan jika di kecelakaan itu yang meninggal adalah dirinya bukan Azzura, akankah istrinya itu mengalami depresi berat seperti Vivi?

Nero menggelengkan kepalanya singkat. Rasanya tidak pantas membayangkan hal seperti itu. Saat ini hatinya sudah ikhlas atas meninggalnya Azzura yang amat dicintainya meskipun luka di hatinya itu sepertinya sulit mengering dan jelas akan membekas. Semua yang terjadi sudah digariskan oleh Tuhan. Tentunya sebagai manusia biasa, ia tak punya kuasa untuk protes pada takdir. 

***

Waktu menunjukkan pukul 10 malam dan inilah saatnya Nero untuk pulang dari pekerjaannya. Memang jika banyak pasien berkonsultasi, ia pulang agak malam seperti sekarang. 

Tubuhnya terasa lelah karena seharian berkutat dengan pekerjaan. Apalagi tadi ia sempat mengalami kejadian yang tak terduga, dan akibatnya ia mendapatkan beberapa bekas luka lecet di tangannya. 

Nero membereskan meja kerjanya, memilah barang yang akan ditinggal saja atau dibawa pulang. Ia memang tidak pernah keluar ruangan sebelum semua yang di atas meja tersusun rapi. Hal itu dilakukannya karena ia memang sosok pria yang mempunyai kepribadian rapi dan rajin. 

Saat ini Nero sudah meninggalkan ruangannya. Tak lupa ia mengunci pintu supaya tidak ada sembarangan orang masuk ke ruangannya. Langkah kakinya terdengar tegas dan menggema di lorong gelap koridor depan tempat prakteknya.  Sampai pada saat langkah kakinya terhenti karena atensinya tertuju pada suatu objek yang membuatnya tertarik. 

Nero berhenti di depan ruang rawat Vivi. Kebetulan kondisi pasien yang ada di ruangan dapat dilihat dari kaca segi empat di pintu. Untuk beberapa saat Nero tertegun memandangi wanita yang telah memberikan luka lecet di tangannya tadi. 

Rupanya Vivi saat ini sedang duduk sambil menangis tersedu-sedu di pojok ruangan. Sepertinya hari-hari wanita itu selalu saja diselimuti oleh kabut duka. 

Hati Nero tergerak dan hendak masuk ke ruangan Vivi. Tangannya bahkan sudah menyentuh hendel pintu dan hampir saja memutarnya. Namun, ia dikagetkan oleh seseorang yang menepuk punggungnya sehingga ia pun mengurungkan niatnya. 

"Kamu mau ngapain?"

Ternyata yang datang adalah Ronald. Rekan kerja Nero itu juga tampaknya sudah mau pulang karena sudah menjinjing tas di tangan kanannya. 

"Oh, aku mau—"

"Sudah jangan ganggu pasien. Sekarang sudah malam dan waktunya mereka tidur," potong Ronald. "Lagipula percuma juga kamu buka pintunya karena sudah dikunci," imbuhnya kemudian. 

Nero hanya diam saat mendengar Ronald menjelaskan. Ia seketika menjadi kikuk karena ketahuan oleh Ronald ingin masuk ke ruangan Vivi. 

"Ayo kita pulang!" ajak Ronald. Pria itu berjalan lebih dahulu ketimbang Nero. Sepertinya ia memang ingin sekali cepat pulang. 

Sekali lagi Nero melihat ke dalam ruangan Vivi. Wanita itu masih menangis seperti tadi sehingga membuat hatinya kembali berdenyut nyeri. Rasanya ia masih ingin masuk ke ruangan itu dan menenangkan Vivi. 

"Kamu kok diam saja? Ayo pulang!" seru Ronald yang saat ini sudah berada sedikit jauh di depan Nero. 

"Ah, iya!" sahut Nero. Meskipun langkah kakinya terasa berat dan hatinya gelisah, ia memutuskan untuk pulang saja.

Terpopuler

Comments

Mystera11

Mystera11

depresi vivi mengalihkan kesedihan Nero...

2023-01-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!