Matahari sudah terbit, Nero terbangun dari kursinya. Matanya terlihat lebih cekung karena kekurangan tidur memikirkan kehilangan yang masih membekas di pikirannya.
“Aku tidak bisa terus seperti ini. Paling tidak, aku harus mencaritahu apa yang terjadi dengan kecelakaan itu. Aku yakin seseorang mungkin saja terlibat dalam kasus ini, sengaja mencelakai kami. Jika benar aku bisa menuntutnya agar di sana Azzura bisa tenang.” Bersamaan dengan lirihan itu Nero mengambil jas yang semula tergantung di balik pintu.
Setelah memakainya, ia langsung pergi menggunakan taxi karena mobil miliknya hancur berantakan. “Ke kantor polisi terdekat, Pak,” kata Nero pada sang sopir.
“Baik, Pak,” jawabnya.
Mobil bergerak menuju kantor polisi terdekat. Nero masih sangat ingat, tak jauh dari titik kecelakaannya ada kantor polisi di sekitar situ. Sebelum kecelakaan, Nero sangat memperhatikan jalanan maka dari itu ia yakin bahwa dia bisa meminta penjelasan di sana.
Dua puluh menit kemudian mobil berhenti tepat di depan bangunan berlantai dua. Nero merogoh beberapa lembar uang dari saku jasnya, lalu segera membuka pintu untuk turun. Langkahnya terseret cepat menuju kantor polisi dengan penuh keyakinan bahwa petugas di sana pasti akan memberikan jawaban atas sebab kecelakaan yang terjadi.
“Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?” tanya salah satu petugas kepolisan.
“Siang. Maaf apakah Anda tahu berita kecelakaan yang sempat terjadi beberapa hari lalu?” tanya Nero.
“Benar, kami tahu. Wah apakah Anda yang hari itu kecelakaan?” Polisi sepertinya baru menyadari bahwa korban itu telah sehat kembali.
Nero tersenyum tipis. “Benar, saya dan istri saya. Pak, sebelumnya apakah saya boleh tahu tentang rekaman di jalan tersebut sebelum detik-detik terjadinya kecelakaan? Saya yakin bahwa kecelakaan itu sudah direncanakan oleh seseorang,” kata Nero dengan suara memohon.
Polisi tersebut mengerutkan dahi. “Tuan maaf, tapi sebelum Anda meminta kami untuk mengecek, kami sudah terlebih dahulu melakukan tugas kami untuk investigasi, tapi kecelakaan itu benar-benar murni kecelakaan. Baik Tuan dan dan pengendara lain sama-sama bersalah, jadi kami tidak bisa melakukan pengecekan ulang. Di beberapa tempat sama saja, jadi satu-satunya cara Tuan harus menerima kenyataan bahwa Tuan kurang profesional dalam mengendarai,” jawabnya.
Untuk kali ini bahkan Nero tak bisa hanya untuk sekedar tersenyum. “Baiklah, terima kasih,” jawabnya, lemas.
Mengetahui bahwa ia tak bisa mencari bukti lain lagi, akhirnya Nero memutuskan untuk kembali ke rumah. Dia tak bisa melakukan hal lebih jauh lagi karena akan sama saja, kasus ini seakan telah ditutup karena ada banyak kasus lebih penting daripada kecelakaan yang mungkin sama-sama bersalah pengendaranya. Nero mengembuskan napas pasrah, lalu segera kembali ke rumahnya dengan perasaan yang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Azzura sudah pergi karena kesalahannya.
“Apa aku sangat buruk dalam berkendara?” Nero berdesis pelan.
***
Di rumahnya, ia sudah menempati lagi tempat semula saat masih bersama Azzura. Ia baru saja terbangun dari tidurnya, menatap bingkai fotonya yang menampilkan dirinya dan Azzura tertawa di tepi pantai. Hatinya seakan mencelus, setiap kali terbangun ia selalu memikirkan Azzura karena tempat ini penuh oleh kenangan bersamanya. Bahkan Nero menghitung hari demi hari dan dua minggu sudah berlalu, tapi dirinya masih terikat di masa lampau, di mana ia masih sangat merindukan Azzura.
Dia berjalan ke dapur membuat toast dan teh. Barang-barang di sana pun mengingatkan Nero pada mendiang wanita cantik itu. Semua barang-barang di sini hampir semuanya berwarna merah muda, warna kesukaan Azzura. Dia yang memilihnya. Nero memegang pelipisnya.
“Seandainya terus menerus seperti ini, mungkin sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa melupakan Azzura,” desisnya.
Setelah sarapan, ia langsung memasukkan beberapa pakaian miliknya ke dalam tas punggung. Membawa barang-barang penting, lalu langsung bertindak impulsif dengan memutuskan meninggalkan rumah ini dan beralih ke luar kota. Ia sudah tak tahan lagi berada di sini karena semua ingatannya hanya tentang Azzura. Di halte ia menunggu bus yang akan datang setiap sepuluh menit sekali. Setelah kendaraan besar itu berhenti, Nero langsung masuk ke dalamnya, duduk di sekitar keramaian orang-orang yang sama-sama memiliki tujuan.
Saat sampai di luar kota, ia langsung mendatangi salah satu rumah sakit jiwa. “Saya ingin melamar pekerjaan di sini. Saya seorang psikiater,” ujar Nero seraya mengeluarkan berkas dari dalam tasnya.
“Saya pemilik rumah sakit ini, kebetulan kami sedang kekurangan tenaga kerja. Pengalaman dalam CV-mu sangat bagus. Besok kamu sudah boleh mulai bekerja di sini. Sebelumnya terima kasih sudah mendaftarkan diri menjadi salah satu bagian dari rumah sakit ini,” jawab wanita setengaha baya itu.
“Terima kasih.” Nero tersenyum, lalu kembali pergi meninggalkan rumah sakit jiwa itu. Berkasnya ia tinggal di sana, sementara dirinya mencari tempat tinggal terdekat.
Setelah menyusuri beberapa gang, akhirnya ia sampai di depan bangunan minimalis yang didominasi warna biru pudar. Di depannya terlihat sebuah papan lusuh “Menerima Penyewa Baru” tanpa pikir panjang, Nero langsung masuk ke dalam rumah itu untuk mengambil satu kamar kosong di dalamnya. Dan sekarang ia tinggal di salah satu rumah dengan biaya sewa cukup murah tetapi menampilkan view yang cukup bagus. “Sekarang aku tinggal di sini dengan perjalanan hidup baru. Aku harap, kenangan tentang Azzura bisa berdamai dengan pikiranku. Sedikit pun aku tidak ingin melupakan Azzura. Aku hanya ingin berdamai dengannya,” lirih Nero.
--
Sekarang hari ke tiga puluh hari Nero bekerja di rumah sakit jiwa. Ia sudah mulai terbiasa dengan lingkungan di sini dan mulai mengenal satu per satu nama pasien yang berada di sana. Nero yang baru saja bertugas untuk datang ke ruangan ujung untuk membantu salah satu pasien yang berada di sana berjalan-jalan ke depan, tak sengaja menjatuhkan pandangannya pada sosok wanita yang terlihat familiar di matanya.
Nero menghentikan langkahnya refleks begitu wanita berbaju putih itu menoleh ke arahnya dengan pandangan sinis. Tatapan Nero dan wanita tersebut berserobok dan Nero tak melepaskan sedikitpun pandangannya dari wanita itu. Matanya, bentuk rahangnya, hidungnya, postur tubuhnya sangat mirip dengan Azzura, istri yang dicintainya. Nero terpaku melihat wanita itu pasalnya baru hari ini dia mengetahui pasien tersebut. Selama satu bulan bekerja di sini, Nero tak pernah sedikitpun tahu tentang keberadaannya.
“Dia siapa? Sangat mirip dengan Azzura. Jika memang di dunia ini ada tujuh kembaran, mungkin dia adalah salah satu kembaran Azzura yang aku temukan sekarang. Tapi sejak kapan dia di sini? Namanya siapa? Dan apa yang menyebabkan ia harus menjadi salah satu pasien di rumah sakit jiwa ini? Aku tertarik untuk mencari tahunya,” desis Nero.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Mystera11
suka sm alurnya...
2023-01-27
0