SL- 15

"Buatkan saya teh, lalu antar ke taman belakang!" seru Dina memerintah seorang asisten rumah tangganya. 

 

"Baik, Bu. Saya buatkan sekarang juga." Wanita berusia di awal tiga puluhan itu mematuhi perintah Nyonya rumah. Keberadaannya di sini tentu untuk bekerja dan mendapatkan uang. 

 

Dina melenggang menuju ke taman belakang rumahnya. Ia berada di dekat pot-pot dan tanaman lain yang ada di sana. Dina senang karena tamannya terawat, tampak menyenangkan dengan udara lebih segar karena dikelilingi oleh penghijauan. 

 

Ia mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Dina memfoto beberapa tanaman mahal yang ia beli, dan ia pajang di tamannya. Setelah mendapatkan hasil foto yang bagus, Dina tidak lupa menyebarnya ke grup—yang terisi para ibu-ibu sosialitanya. Dina memamerkan kalau tanaman yang ia foto tadi adalah tanaman mahal yang langkah. Bahkan di Indonesia pun sangat jarang didapatkan. 

 

Fokus Dina terarah pada layar ponsel yang menyala. Satu per satu ibu-ibu sosialita di grup mulai muncul, lalu memberikan komentar. Mereka semua kompak memuji Dina dengan berbagai macam. 

 

Dina tersenyum jumawa. Setiap hari yang dilakukan bersama teman-temannya hanyalah pamer semata. Menghabiskan uang suaminya. Menghamburkannya. Memang, Dina berniat menguasai seluruh harta suami barunya, yaitu, ayahnya Vivi. 

 

Wanita setengah baya itu duduk di salah satu kursi di taman. Di tengah kursinya terdapat sebuah meja bundar berwarna cokelat. Dina kembali memfoto keindahan tamannya dengan gambar yang lebih luas. Dina terkekeh, teman-temannya pasti iri dengannya. 

 

Lima menit kemudian asisten rumah tangga Dina menyusul ke taman, membawa sebuah nampan berisikan teh hangat beserta camilan sebagai pelengkap. 

 

"Ini tehnya, Bu." Asisten rumah tangga Dina berdiri, mengangkat cangkir tehnya dari atas nampan. 

 

"Taruh saja di situ." Satu jari Dina menunjuk ke meja di samping kursinya. 

 

Setelah meletakkan cangkir tehnya ke meja seperti perintah majikannya, asisten rumah tangga itu pamit kembali menuju ke dapur. Dina cuma manggut-manggut saja karena ia terlalu fokus dengan ponsel di tangannya. 

 

Dina menyimpan ponselnya ke atas meja. Ia menyambar cangkir tehnya, menyesapnya dengan sangat hati-hati. 

 

Seketika Dina menjadi lebih tenang dan damai hanya karena menghirup uang yang berasal dari cangkir yang ia pegang. Dina memejamkan mata, menghirupnya dalam-dalam kemudian tersenyum lebar. 

 

"Astaga, tenang sekali. Memang paling benar aku mengirim bocah itu ke rumah sakit jiwa dari dulu!" Dina mengoceh, menyesap tehnya sekali lagi sebelum meletakkan ke tempatnya. 

 

Dunia Dina menjadi sangat tenang setelah Vivi sudah tidak tinggal lagi di satu atap yang sama. Hari-hari Dina sebelumnya terasa sangat menyebalkan karena keberadaan Vivi di sekitarnya. Mengacaukan hidup Dina, membuat Dina sangat menggebu-gebu menyingkirkan anak tirinya tersebut. 

 

"Jika saja aku tidak pintar, mungkin Vivi masih jadi pengahalangku di rumah ini. Sekarang lihat, tidak ada Vivi, kehidupanku jauh lebih sempurna. Aku akan pastikan membuat Vivi selamanya tinggal di tempat yang seharusnya!" 

 

Di saat Dina senang bisa menyingkirkan Vivi dari rumah ini, ponsel wanita itu bergetar kemudian berdering keras. Dina berdecak, mengomeli orang yang menelpon dirinya. 

 

"Mengganggu saja! Siapa, sih?!" gerutu Dina, setengah membanting cangkir tehnya ke meja. 

 

Sepasang mata melihat nama Marvin muncul di layar. Pria itu terus melakukan panggilan, hingga Dina menjadi kesal. 

 

Ibu jari Dina menggeser ke layar, lantas menempelkannya ke sebelah telinga. "Halo," ucap Dina. Suaranya agak dingin. 

 

"Halo, Bu Dina. Ini saya, Marvin." 

 

"Tidak usah basa-basi." Dina mencibir. "Sekarang katakan saja ada apa kamu menelponku. Atau ada kabar terbaru tentang anak tiriku yang gila itu?" ejeknya sinis. 

 

"Benar, Bu Dina. Memang itu yang ingin saya sampaikan ke Anda hari ini." Ada jeda sekitar tiga detik. 

 

Dina pikir Marvin akan memberinya sebuah kabar yang bagus. Mungkin, Dina akan mendengar Vivi terjun dari atap gedung, menyakiti dirinya, atau minimal kondisi kesehatan mental Vivi semakin parah. Dan dokter menyarankan Vivi agar tetap tinggal di rumah sakit jiwa selamanya. 

 

Namun, ekspetasi Dina tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Karena pada nyatanya Marvin justru mengabarkan hal yang sebaliknya. 

 

"Keadaan Nona Vivi justru semakin membaik, Bu." 

 

Kedua bola mata Dina membulat. Lebar. Begitu pun dengan bibir wanita setengah baya itu. "Apa kamu bilang?! Tidak. Vivi tidak boleh mendapat kemajuan, apa lagi sembuh! Dia harus tetap berada di sana sampai dia mati!" amuk Dina menjadi-jadi. 

 

Kabar mengenai Vivi baru saja membuat suasana hati Dina seketika menjadi buruk. Sangat buruk sekali. Wanita setengah baya itu meremas kelima jarinya. Ia tidak akan rela kalau sampai Vivi akan keluar dari rumah sakit jiwa, lalu kembali kemari lagi. 

 

"Tidak," desah Dina ketakutan. "Pantau keadaan Vivi terus. Agar saat saya ke sana, saya bisa membuat Vivi stress lagi jika kedapatan hampir sembuh." 

 

Dina akan melakukan berbagai cara untuk membuat Vivi terus berada di kondisinya yang sekarang. Dina memiliki berbagai cara melakukannya. 

 

Jika Dina tidak bisa membunuh Vivi dengan tangannya sendiri, maka Dina yang akan membuat Vivi mengakhiri hidupnya sendiri. 

 

"Laksanakan, Bu." 

 

"Bagus." Dina menyahut. "Laporkan apa pun tentang keadaan Vivi," perintahnya. 

 

*** 

 

Pada sore hari, Jordan baru tiba di rumahnya. Pria setengah baya itu masuk ke dalam lalu disambut oleh asisten rumah tangganya. 

 

"Di mana istri saya?" Rumah dalam keadaan sangat sepi sekali. 

 

Dina tidak kelihatan di ruang TV, mau pun di kamar mereka. Maka dari itu Jordan menanyai asisten rumah tanggannya. 

 

"Oh, Bu Dina ada di taman, Pak. Sedang minum teh," jawab asisten rumah tangganya. 

 

"Ya sudah. Terima kasih," gumam Jordan. 

 

Pria itu melangkah ke arah taman yang ada di belakang rumahnya. "Ma, kamu di situ?" seru Jordan, memanggil istrinya yang masih menelpon dengan Marvin. 

 

Dina mendengar suara suaminya yang tiba-tiba muncul. Ia buru-buru mengakhiri panggilannya bersama Marvin. "Pa, sudah pulang?" tanya Dina, mengantongi ponselnya ke dalam saku baju. 

 

"Ya, Ma." Jordan duduk di kursi kosong di samping kursi istrinya. 

 

Dina kembali duduk. Ia mengamati wajah suaminya yang tampak lesu. "Papa kenapa? Papa pasti lelah, ya?" 

 

"Bukan, Ma." Jordan menggeleng. Pria setengah baya itu mengembuskan napas. "Papa cuma merindukan Vivi. Papa ingin menjenguknya," ungkap Jordan. 

 

"Jangan, Pa! Papa jangan sampai ke sana," sergah Dina cepat. 

 

Sesaat, Jordan menatap istrinya, bingung. "Memangnya kenapa, Ma? Papa sangat merindukan Vivi. Biar bagaimanapun dia putri kesayangan Papa." 

 

"Iya, Mama tahu. Tapi, Papa harus lihat ini," gumam Dina. "Luka ini Mama dapatkan dari Vivi. Beberapa waktu lalu Mama menjenguknya. Dia semakin tidak terkendali. Dia sering mengamuk dan membuat masalah di rumah sakit. Mama cuma tidak ingin Papa terluka." 

 

Jordan tidak menyangka. Jika kepergian Azzam telah menghancurkan sang putri. Sementara itu, Dina sangat senang sekali. Karena ia berhasil mempengaruhi Jordan, suaminya. 

Terpopuler

Comments

Mystera11

Mystera11

wah.. ternyata ada ibu tiri dibalik smua kejadian yg mmbuat vivi mngamuk...

2023-01-27

0

Bunda dinna

Bunda dinna

Pantas saja Vivi makin parah saat keluarga menjenguk ke RS

2023-01-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!