Pulpen hitam itu berada di tangan kanannya—diapit oleh dua jari Nero. Pria itu duduk di kursi ruang prakteknya sesekali memutarnya. Nero mendesah pelan, menurunkan kedua bahu tampak lesu.
Arloji di sebelah tangannya telah menunjukkan pukul dua belas siang lewat. Namun sampai sekarang Nero tidak berniat beranjak dari sana. Padahal jam makan siang sudah berjalan sejak beberapa menit yang lalu.
Pulpen di tangan Nero kini tergeletak di atas mejanya. Dibiarkannya menggelincir lantas menabrak tumpukkan map. Isi kepala Nero lagi-lagi dipenuhi sosok Vivi. Nero tidak tahan jikalau ia terus duduk tanpa melakukan apa-apa.
Nero mengangkat sebelah tangan dan menatap arloji. Ia menghela napas sebelum mengambil keputusan. "Aku harus melihat keadaannya. Aku sungguh tidak tenang," gumamnya.
Pada akhirnya Nero beranjak dari tempat duduknya. Pria itu mendorong kursinya ke belakang hingga menabrak dinding rumah sakit yang dingin.
Tanpa banyak buang-buang waktu, Nero berlari ke luar ruangan hendak pergi menemui Vivi di kamarnya. Entah akan seperti apa reaksi yang diberikan gadis itu nantinya.
Kata Ronald, Vivi baru saja mengalami histeris setelah dijenguk oleh keluarganya. Namun agaknya kegigihan dalam diri Nero tidak mempedulikannya. Ia bertekad menemui Vivi apa pun keadaannya.
Jas putih yang membungkus tubuh jangkung Nero berkibar seiring pria itu berlari melewati lorong. Seorang perawat yang tidak sengaja berpapasan dengannya pun menyapa sambil tersenyum.
"Ya." Cuma itu balasan Nero. Kepalanya terangguk, langkahnya tampak buru-buru.
Perawat itu pun bingung kenapa psikiater tampan itu berlari-lari seolah sedang terjadi sesuatu. "Ah, kenapa juga aku harus penasaran. Mungkin ada masalah dengan pasiennya," gumam perawat wanita tersebut.
Sepeninggal Nero, perawat itu kembali bertugas. Mengabaikan langkah Nero yang masih bisa ia dengar di sekitar lorong rumah sakit.
***
"Tunggu!" teriak Nero meluruskan satu tangannya.
Pergerakkan seorang pelayan—yang bertugas mengantar makanan setiap kamar pasien, itu pun berhenti tepat di depan pintu kamar Vivi.
Wanita berusia di pertengahan dua puluhan itu bingung kenapa ada seorang dokter memintanya berhenti. Orang itu adalah Nero. Rupanya, Nero sungguhan mendatangi kamar Vivi.
Langkah Nero semakin dekat dengan si pelayan yang masih bingung. Muncul kerutan di dahi, sebelah alisnya terangkat tinggi.
"Kamu mau mengantar makanan pasien bernama Vivi, kan?" Napas pria itu agak tersenggal. Sebelah tangan Nero berada di pinggang, berbicara kurang jelas karena baru saja lari-lari.
"Iya, dok. Benar," jawab si pelayan. Ia mendapati Nero menatap nampan pada kedua tangannya. "Kenapa ya, dok? Apa ada yang dokter katakan? Ini sudah jam makan siang pasien," ujarnya, nada suaranya heran.
Suara napas Nero berhasil normal kembali. Ia berusaha menarik nampan di tangan pelayan. "Biar saya saja yang mengantar makanan pasien ke dalam," sahut Nero.
Pelayan tersebut enggan memberikan nampannya kepada Nero. Menurutnya, untuk apa psikater ikut mengantar makanan seorang pasien? Tentu mengantar makanan bukan pekerjaan para psikiater. Itu sudah menjadi tugas pelayan.
"Tidak apa-apa. Biar saya," lanjut Nero. Pria itu masih kekeuh menarik nampannya.
"Jangan, dok," elak wanita itu. "Ini adalah tugas saya. Bukan Anda," jawabnya. "Biar saya sendiri yang mengantarnya. Lagipula, pasien baru saja mengamuk. Pasti kondisinya tidak stabil. Kalau terjadi pada dokter, bagaimana? Saya tidak mau disalahkan oleh pihak rumah sakit nantinya."
Vivi sudah terkenal paling sering mengamuk di rumah sakit. Bukan satu atau dua hari gadis itu membuat keributan di sini. Baru saja Vivi membuat keributan lagi hingga dokter dan pasien hampir kuwalahan. Semula Vivi dilepaskan, kini dikurung lagi karena takut membahayakan yang lain.
"Anda tenang saja. Saya akan bertanggungjawab jika terjadi sesuatu." Nero tidak berhenti membujuk. "Kalau begitu berikan makan siang Vivi kepada saya. Nantinya akan saya pastikan dia dalam keadaan tenang," bujuk pria berusia tiga puluh tujuh itu.
Pelayan tersebut tidak langsung mengiyakan. Sekali lagi ia takut disalahkan jika terjadi sesuatu kepada pasien mau pun Nero. Namun, karena psikiater tampan itu terus membujuk dirinya, serta berjanji akan bertanggungjawab, akhirnya si pelayan menyodorkan nampan di tangannya kepada Nero.
"Terima kasih." Nero tersenyum senang. "Kamu sudah boleh mengantar makanan ke kamar lainnya."
"Baik, dok. Saya permisi." Wanita dengan rambut di sanggul rendah itu pun pamit pergi.
Tugasnya bukan cuma mengantar makanan ke kamar Vivi saja. Tapi pada beberapa pasien yang lain. Karena sempat berdebat dengan Nero, ia telah membuang banyak waktu. Maka dari itu pelayan tadi mempercepat langkah. Hampir seperti berlari karena mengejar waktu.
***
Demi Vivi, Nero sampai melewatkan makan siangnya. Nero lebih mementingkan gadis itu daripada menjaga pola makannya sendiri.
Bak ingin bertemu dengan kekasih, Nero merapikan jasnya. Menyisir rambut dengan kelima jarinya. Nero berdeham, lantas mengetuk lalu membuka pintu kamar Vivi.
Gadis itu berada di atas ranjang tengah sendirian. Nero menatap punggung Vivi dalam diam. Nero memasang senyum tipis. Ia nekat mendekati Vivi di ranjangnya.
"Halo, Vi. Selamat siang." Kedua kaki Nero melangkah ke dekat Vivi duduk dan melamun. "Sudah waktunya makan siang. Lihat, menu hari ini cukup enak. Kamu pasti suka," ujar Nero panjang lebar.
Lagi-lagi suara itu. Vivi mulai familliar dengan suara Nero. Pria itu sempat beberapa kali datang ke kamarnya dan mencoba mengajaknya mengobrol.
Nero selalu datang di saat-saat Vivi merasa sendiri tanpa teman, tidak ada yang mempercayai bahwa dirinya itu waras. Tidak gila.
Kedua pasang mata itu saling melempar tatap satu sama lain. Nero masih mengangkat nampan berisi makanan milik Vivi.
"Kamu harus makan agar segera sembuh. Kamu ingin keluar dari tempat ini, kan?" Nero belum menyerah. "Kalau kamu terus menolak makan, bagaimana dengan kesehatan kamu nantinya?"
"Dok," panggil Vivi, lirih.
"Ya, kenapa, Vi?" Kedua sudut bibir Nero terangkat membentuk sebuah senyuman. Ia berharap banyak dengan Vivi memanggilnya.
"Saya ingin mati saja, dok. Saya mau menyusul Azzam. Saya ... tidak sanggup lagi. Saya mau mati."
Deg!
Nampan di tangan Nero hampir saja jatuh ke lantai andai ia tidak kuat memeganginya. Ungkapan Vivi baru saja berhasil membuat dada Nero sesak, dan sakit.
Vivi mulai menangis sambil menyebutkan nama Azzam berulangkali. Sejenak, kesadaran Nero sedikit terenggut karena merasa ... tidak rela?
Nero mendengar alasan di balik Vivi bisa berada di sini karena stress akibat kehilangan calon suaminya dalam sebuah kecelakaan. Nero berusaha tenang. Namun, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Bahwa ada rasa sakit di hatinya kala Vivi menyebutkan nama pria lain.
Nero seolah tidak terima kalau Vivi masih memikirkan pria lain. Sudah jelas di depan mata ada Nero yang selalu berusaha ada di sisi gadis itu.
Pria itu pun kecewa. Ia meletakkan nampan milik Vivi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Nero pun meninggalkan Vivi sendirian di kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Mystera11
lah... malah pergi si Nero,, cemburu ya...😄😄
2023-01-27
0
Bunda dinna
Vivi merasa hanya Azzam yg peduli pada dia..Nero masih harus meyakinkan Vivi jika semua bisa di lewati
2023-01-26
0