Sudah dua hari Nero tidak bertemu dengan Vivi. Ada perasaan rindu yang membuncah di hati psikiater tampan itu. Selama ini tidurnya tak nyenyak dan makan pun tak enak karena terus memikirkan Vivi. Kalau dipikir mungkin saja sekarang ia yang gila karena di kepalanya terus saja muncul wajah wanita itu.
Nero tampak tak bersemangat di dalam ruangannya. Memang waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, harusnya ia bisa pulang karena hari ini kebetulan jam prakteknya sudah selesai. Namun, ia memutuskan untuk tetap di rumah sakit karena nanti malam adalah jam jaganya.
"Ngapain kamu bengong gitu? Awas kemasukan setan," seloroh Ronald yang tiba-tiba muncul di hadapan Nero.
Sontak Nero pun kaget karena rekan kerjanya itu datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Untung saja jantungnya punya perekat yang kuat, jika tidak bisa gawat.
"Kamu itu setannya! Kenapa sih datang-datang bikin orang kaget?" omel Nero.
Ronald hanya terkekeh melihat reaksi Nero. Ia dapat melihat kalau rekan kerjanya sedang galau berat karena pasien yang bernama Vivi itu.
"Kamu masih mikirin pasien yang namanya Vivi itu? Dia sekarang masih dikurung di kamar karena masih sering mengamuk. Kamu yakin masih mencintai orang stres begitu?" tanya Ronald. Ia sepertinya prihatin dengan kondisi Nero.
"Kalau kamu datang ke sini cuma mau bikin aku kesal, lebih baik kamu pergi deh. Sekarang aku sedang dalam mood yang buruk. Jangan sampai wajah yang kamu bilang tampan itu nanti kena bogem mentah dariku," ancam Nero yang sebenarnya bertujuan agar Ronald segera enyah dari ruangannya.
Ronald seketika memegangi wajahnya. Takut kalau saja ancaman Nero itu benar adanya terjadi, ia pun memilih untuk buru-buru pergi dari ruangan itu.
***
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Suasana rumah sakit tampak sepi karena hanya ada pegawai yang dinas malam saja. Nero tampak berjalan sendiri di lorong-lorong kamar pasien sambil melihat kiri kanan. Sampai pada akhirnya ia sampai di paviliun tempat Vivi dirawat.
Mata Nero tertuju pada ruang dinas perawat di paviliun tersebut. Ruangan itu tampak sepi dan tidak ada seorang pun di sana. Timbul perasaan kuat ingin bertemu dengan Vivi. Akhirnya ia pun memutuskan untuk ke ruangan tersebut dengan tujuan mengambil kunci kamar Vivi.
Untung saja Nero berhasil mengambil kunci tersebut. Tak mau membuang waktu, ia pun langsung bergegas menuju ruang rawat Vivi. Ia sudah sangat merindukan wanita itu sehingga rela melakukan apa pun meski sedikit melanggar aturan.
Saat ini Nero sudah berhasil membuka ruang rawat Vivi dan masuk ke sana. Dilihatnya Vivi sedang duduk di pojok ruangan dengan posisi tangan terikat bajunya. Baju khusus rumah sakit jiwa itu memang mempunyai lengan panjang yang bisa diikat ke belakang.
Jelas saja Nero tidak tega dan mencoba melepaskan ikatan itu. Pada akhirnya tangan Vivi pun terbebas dan bisa bergerak leluasa kembali.
"Vi, kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Nero.
Namun, setelah tiga menit berlalu, Vivi tidak kunjung menjawab pertanyaan Nero. Merasa kalau Vivi memang butuh sendiri, Nero pun memutuskan untuk pergi dari ruangan itu. Baginya melihat Vivi dalam kondisi dekat begini itu sudah cukup baginya.
Baru saja berjalan sebentar, langkah kaki Nero pun terhenti karena ia merasakan ada sebuah pelukan hangat melingkar di pinggangnya. Vivi ternyata tidak rela jika ia pergi secepat itu.
Jantung Nero berdegup dengan sangat kencang saat itu dan hatinya pun bergetar. Ia memegang punggung tangan Vivi lalu mengangkatnya seraya menoleh melihat wajah gadis itu.
"Maaf," lirih Vivi dengan mata yang berkaca-kaca. Tiba-tiba saja ia menangis sangat kencang di hadapan Nero.
Tak ingin membiarkan Vivi seperti itu, Nero pun membawa gadis itu ke dalam dekapan hangatnya. Ia mengusap lembut belakang kepala Vivi sambil memejamkan mata.
"Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu meminta maaf padaku, Vi," sahut Nero sambil mempererat pelukan pada Vivi.
Isak tangis Vivi makin kencang. Mau tak mau Nero pun mencoba untuk menenangkan wanita yang saat ini mengisi hatinya itu.
"Sudahkah jangan menangis lagi, Vi. Sekarang ada aku di sini. Kamu tidak perlu merasa takut atau kesepian lagi," ucap Nero tulus.
Mendengar perkataan Nero langsung membuat tangisan Vivi semakin mereda. Entah mengapa ia merasa sangat nyaman sekali berada di dalam dekapan pria yang baru dikenalnya beberapa hari ini. Ia merasa seperti sudah kenal lama saja dengan Nero.
Nero melepaskan pelukannya dari Vivi. Ia mengusap lembut air mata yang mengaliri wajah cantik wanita itu dengan perlahan.
"Aku tidak mau wajahmu yang cantik ini basah karena air mata. Lebih baik wajah cantik ini dihiasi oleh senyuman indah bak bunga yang bermekaran," ucap Nero sambil menyunggingkan senyuman.
Perasaan Vivi membaik. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna sehingga membentuk lengkungan indah yang membuat wajah cantiknya makin kentara.
"Aku tidak akan menangis lagi," sahut Vivi yang saat ini sudah kembali tenang.
***
Hati Nero sangat senang karena Vivi bisa diajak berbicara seperti orang normal lainnya. Mereka berdua sempat bercanda bersama bak sepasang kekasih yang sedang kasmaran.
"Kamu belum sempat makan ya? Mau aku suapi?" tawar Nero. Ia tadi sempat melihat kalau makanan untuk Vivi masih utuh di atas nakas.
"Aku mau kalau kamu suapi," sahut Vivi yang begitu antusias.
Nero terkekeh kecil karena Vivi sangat menggemaskan saat bersikap manja. Ia pun mulai menyuapi Vivi dengan perlahan sambil terus mengajak ngobrol gadis itu.
"Pokoknya makanan ini harus kamu habiskan. Kalau tidak nanti aku akan kasih kamu hukuman," ancam Nero yang sebenarnya hanya main-main saja pada Vivi.
"Oh ya? Kamu mau hukum aku apa? Kalau hukumannya kamu kasih hadiah ya aku mau," kekeh Vivi.
"Mana ada hukuman kok dikasih hadiah. Kamu jangan mengarang deh," protes Nero yang hanya ditanggapi cengiran oleh Vivi.
Sekitar lima belas menit kemudian, ternyata Vivi mampu menghabiskan makanannya tandas tak bersisa. Nero merasa senang karena Vivi sangat lahap saat disuapi olehnya.
"Nah makanannya sudah habis, sekarang waktunya minum obat. Kamu mau sembuh 'kan?" tanya Nero.
"Iya, aku mau cepat sembuh kok," sahut Vivi.
Nero kembali membantu Vivi meminum obat yang memang sudah disediakan di samping tempat makan.
Setelah itu mereka berdua kembali mengobrol banyak hal sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Saat itu pula Vivi sudah terlihat mengantuk karena menguap beberapa kali.
"Sekarang kamu tidur ya. Kamu sudah ngantuk banget ya?" tanya Nero yang ditanggapi anggukkan oleh Vivi.
Nero meminta Vivi untuk memejamkan matanya. Tangan kanannya pun tak henti mengusap lembut puncak kepala gadis itu hingga Vivi benar-benar terlelap. Untuk beberapa saat Nero sangat terpesona dengan kecantikan alami yang dimiliki oleh Vivi sampai matanya tak berkedip.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments