SL- 13

Selesai mengantar nampan makanan milik Vivi dan tidak mendapatkan respons baik, Nero memutuskan untuk menenggelamkan pikirannya dalam tumpukan pekerjaan di ruang kerjanya. Apa pun akan dilakukannya guna mengalihkan pikirannya dari sosok Vivi yang seakan tidak bisa keluar dari kepalanya.

Lembar demi lembar kertas telah diisi oleh tulisan Nero sebagai bukti laporan. Semua itu juga berlangsung cukup lama. Naas, tidak peduli seberapa keras Nero berusaha, niatnya tersebut tidak pernah berhasil, hingga akhirnya tiba waktunya bagi Nero untuk beristirahat.

Jika dulu Nero akan bersemangat untuk menyisihkan waktunya untuk Vivi, kali ini tidak. Karena sekarang, Nero memutuskan untuk menghabiskan waktu istirahatnya di atap, berharap cuaca cerah di luar sana dapat meringankan beban pikirannya.

Kala sampai di depan pintu yang membatasi atap rumah sakit, tangan kanan Nero menurunkan kenopnya, lalu mendorongnya pelan. Hal pertama yang menyambut kedatangan Nero ialah hembusan angin kencang yang mengenai tepat wajahnya. Namun, tidak diindahkan olehnya. Tatkala kedua mata menilik sekitar, tidak ada seorang pun didapati, menyebabkan kelegaan timbul dalam benaknya. Dirinya tidak perlu berbagi ruangan dengan orang lain, pikir Nero dalam hati. Karena saat ini, dirinya yang sekarang tidak ingin diganggu siapa pun.

Setelah itu, Nero berjalan ke tepian atap, lalu duduk di sana. Kemudian ia menggantungkan kedua kakinya di sana, membiarkannya mengambang di udara, tidak memedulikan pemandangan di bawah sana yang menakutkan bagi siapa pun yang takut dengan ketinggian. Karena saat ini, Nero masih tidak dapat melepaskan pikirannya dari sosok Vivi.

Tidak berselang lama, Nero mengeluarkan sekotak rokok dari sakunya. Tanpa membuang waktu, ia mengambil sebatang, mengulum ujungnya lalu menyalakan api di ujung yang lain. Selang beberapa detik, kedua jari Nero mengapit rokok di mulutnya dan menjauhkannya, lalu menghembuskan hasil asapnya.

Jika pemandangan yang indah tidak dapat menenangkan Nero, maka rokoklah yang akan menjadi temannya.

Semua itu berlangsung selama sepuluh menit, karena setelah itu pintu yang menghubungkan rumah sakit dengan atap kini kembali terbuka. Suaranya yang keras menarik perhatian Nero untuk menoleh ke sana, mendapati sosok familiar yang nampak terkejut seperti dirinya sekarang.

“Wah, ternyata sudah ada Nero duluan. Kau tidak keberatan aku bergabung, kan?” tanya Ronald dengan senyum sumringah di wajah sembari menutup pintu di belakangnya, mendekati Nero yang nampak tidak peduli pada kedatangan temannya itu. Bahkan ketika Ronald mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya, Nero tetap memilih menatap langit biru di atasnya. Selang beberapa detik, Nero dapat mencium aroma asap rokok di sebelahnya, menandakan Ronald melakukan hal serupa dengannya. Namun, Nero tetap memilih bungkam, memilih mengulum rokoknya sendiri dalam diam.

Keheningan itu berlangsung selama lima menit, dan akhirnya dipecahkan oleh Ronald beserta pertanyaannya.

“Tidak biasanya kau beristirahat di sini. Biar kutebak, kau pasti sedang memikirkan pasien baru itu, kan?”

Untuk kedua kalinya, Nero tidak menjawab pertanyaan Ronald. Ia hanya menghembuskan napas panjang, lalu menoleh sekilas pada lawan bicara di sebelahnya, sebelum akhirnya kembali menatap pemandangan di depannya. Mendapati sikap masa bodoh, Ronald sempat tergelitik untuk menertawakannya. Namun, di saat yang sama Ronald juga tahu alasan keadaan menyedihkan Nero sekarang karena seorang pasien di rumah sakit jiwa. Dibanding menertawakannya, Ronald justru bersimpatik kepada temannya yang jatuh dalam jurang kesalahan itu.

Lantas, respons pertama Ronald dengan perilaku Nero barusan adalah menghembuskan napas panjang, lalu menggelengkan kepala.

“Karena tidak ada jawaban, akan menganggap jika tebakanku tadi benar. Jadi, aku akan lanjut bertanya. Aku ... benar-benar bingung dengan hubunganmu yang sekarang dengan pasien wanita itu. Dulu, kau benar-benar bersemangat untuk mendekati—bahkan ada yang juga bilang kau memberinya beberapa hadiah spesial. Tapi, sekarang? Setelah kejadian keluarganya menjenguk, kau menjadi berubah seperti ini?”

Tidak seperti sebelumnya, kali ini Nero menarik rokok dari mulutnya, dan menatap lekat Ronald di sisinya. Kedua mata Nero nampak sayu, tidak menunjukkan cahaya kehidupan seperti biasa. Sosok itu terlihat lelah dengan kehidupannya, membuat Ronald langsung melebarkan kedua mata, terkejut.

“Apa pedulimu?”

“Ayolah, Nero, kau tahu jika aku ini teman dekatmu, kan? Aku hanya ingin mengingatkanmu lagi agar tidak mencampurkan pekerjaan dengan urusan pribadimu, dengan perasaanmu sendiri. Kehidupanmu dengan kehidupannya telah berbeda, Nero. Tidak ada yang bisa dipersatukan.”

Kini Nero kembali terdiam, lalu mengalihkan tatapannya dari Ronald. Sejenak ia menatap abu rokoknya yang jatuh dari puntungnya, memikirkan apa yang akan dilakukannya ini benar atau tidak. Seperti kata Ronald, Nero memang mengakui Ronald sebagai temannya—teman dekat, malahan. Jadi, Nero berpikir tidak masalah jika ia menceritakan seluruh keluh kesahnya kepada pria itu. Toh itulah yang Nero butuhkan sekarang, telinga seseorang yang mau menjadi pendengar masalah yang mengganjal hatinya sekarang.

“Hah ... karena ini kau, aku akan mengatakan yang sejujurnya padamu.”

Kedua alis Ronald langsung bertautan, begitu pula keningnya yang berkerut dalam, penasaran dengan apa yang akan dikatakan Nero hingga terlihat seserius itu.

“...kau benar, Ronald. Aku memang tertarik dengan Vivi. Aku juga akan mengaku jika aku sudah jatuh cinta padanya, terlebih wanita itu ... mirip dengan mendiang istriku.”

Saat itulah keheranan di wajah Ronald tergantikan dengan keterkejutan. Bahkan ia sempat meragukan apa telinganya menangkap semua dengan benar atau tidak.

“Nero, kau ... kau pasti bercanda, kan?”

“Apa aku terlihat bercanda di matamu?” balas Nero sembari memberikannya tatapan serius, membuat Ronald langsung meneguk ludahnya sendiri.

“Kau ... aku benar-benar tidak mengira dirimu akan sebodoh ini karena mencintai orang stres. Kupikir lebih baik kau mencoba kencan buta. Siapa yang tahu jika dapat mempunyai kenalan wanita lainnya?”

Saran Ronald langsung ditolak mentah-mentah oleh Nero, terbukti dengan kepala pria yang mengakui perasaannya barusan menggelengkan kepala kuat-kuat.

“Aku? Kencan buta? Itu tidak mungkin, Ronald. Sampai kapan pun itu tidak akan terjadi. Aku tidak suka hal sejenis itu,” tolak Nero dengan gelengan kepalanya.

“Lalu, apa yang kau inginkan sekarang? Berharap cintamu kepada orang stres terbalaskan? Kupikir kau bisa lebih baik dari ini, Nero.”

Tidak berhenti sampai di sana, Ronald juga kembali membicarakan tentang Vivi yang tidak layak menerima cinta tulus Nero. Ia juga mengingatkan berulang kali tentang bagaimana kisah cinta mereka yang tidak akan pernah berakhir bahagia tidak peduli seberapa besar usaha Nero untuk mencapainya. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, Nero tetap mengeraskan hati, tidak memedulikan ocehan teman sekaligus rekan kerja di sebelahnya. Tidak peduli jika seluruh dunia sekali pun melawannya, Nero akan tetap memperjuangkan cintanya kepada Vivi. Entah rintangan apa yang akan menghadang ke depannya, Nero telah menguatkan hati untuk mencapai akhir bahagia dengan sosok wanita yang disukainya.

Terpopuler

Comments

Bunda dinna

Bunda dinna

Semangat Nero

2023-01-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!