“Azzura, apa itu—tidak, itu ... tidak mungkin. Itu tidak mungkin Azzura. Penglihatanku ... pasti mempermainkan diriku.”
Mendapati sosok familiar di kejauhan sana membuat Nero spontan mengucapkan nama mendiang istrinya. Namun di waktu yang sama Nero tahu jika itu tidak mungkin, sehingga ia langsung menggelengkan kepala cepat guna menepis pikirannya sendiri, sadar jika itu tidak mungkin istrinya, Azzura. Meski begitu, tidak dapat dipungkiri jika sebersit kekecewaan timbul dalam batinnya karena apa yang dilihatnya itu tidak mungkin Azzura. Karenanya, Nero dapat merasakan hatinya terasa sakit, seakan ada yang hancur di dalamnya. Namun, apa yang bisa ia lakukan selain membiarkan wanita itu pergi?
Tanpa ia sadari, aksi Nero itu ternyata diperhatikan oleh salah satu temannya yang kini langsung mengendap-endap untuk mendekati Nero. Setelah berdiri tepat di sebelah Nero, ia langsung menyikutnya pelan, membuat Nero terkejut hingga matanya terbuka lebar.
“Ah—astaga, ternyata kamu, Ronald ....”
Meski sempat terkejut, semua itu tidak berlangsung lama karena Nero sadar jika pelaku sikutan tadi adalah temannya. Mendengar namanya disebut, Ronald pun langsung menanggapi ucapan Nero dengan kekehan.
“Makanya, jangan melamun di tengah jalan, dong. Coba bayangkan jika bukan aku yang menyadarkanmu? Pasti yang lain akan mengira kamu masih belum pulih dari yang kemarin,” ucap Ronald dengan nada bercanda, lalu merangkul Nero erat. Menanggapi ucapan temannya itu, Nero hanya meringis tanpa merasa bersalah.
“Jadi, siapa wanita yang tinggal di kamar ini? Sejauh yang kuingat, sepertinya aku tidak pernah melihatnya dulu.”
Meski sudah dipergoki oleh Ronald, hal tersebut tidak cukup untuk melunturkan tanda tanya Nero kepada wanita yang sebelumnya ia duga sebagai istrinya. Pandangan Ronald pun langsung mengikuti arah telunjuk Nero, mengintip dari kaca di pintu dan mendapati seorang wanita sedang duduk dan menatap keluar jendela. Respons pertama Ronald adalah berdehem, lalu dilanjutkan dengan menatap Nero.
“Oh, wanita ini? Dia memang pasien baru dari kota. Nama panggilannya Vivi. Dan alasannya menjadi gila karena ditinggal mati kekasihnya. Cukup mengenaskan, bukan?
Mendengar penjelasan Ronald barusan, perasaan iba langsung menyusup dalam benak Nero. Pantas saja tatapan wanita itu saat masuk ke kamar nampak kosong, ternyata itu alasannya, pikir Nero dalam hati. Ditinggal orang terkasih tanpa ucapan apa pun memanglah menyakitkan, terlebih jika sebelumnya sempat bersenda gurau dengan sosok tersebut. Karena itulah yang Nero rasakan di hari lalu.
Setelah itu, Nero kembali memerhatikan Vivi yang terlihat begitu muram, membuat hati sang pria tergerak untuk membantunya. Entah kenapa, Nero merasa sudah menjadi kewajibannya untuk memulihkan Vivi, membuat wanita itu sadar bahwa masih banyak hal indah di dunia meski tidak ada orang terkasih di sisi.
“Begitu, ya ... aku akan mencoba mendekatinya kalau begitu.”
Usai Nero mengucapkan keputusannya, Ronald langsung melepas rangkulannya. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang mendukung sepenuhnya pada keinginan temannya itu. Karena sedikit banyak Ronald menduga jika temannya itu merasakan perasaan senasib sehingga tidak dapat meninggalkan Vivi begitu saja, seakan memiliki ikatan batin.
“Mengingat kalian mengalami kejadian yang serupa, kupikir pekerjaan ini memang paling cocok untukmu, Nero. Semoga berhasil. Jika perlu bantuan, jangan ragu untuk memanggilku.”
Setelah berucap demikian, Ronald menepuk pelan pundak temannya itu, lalu melenggang pergi, meninggalkan Nero yang masih menatap Vivi dari kejauhan. Dalam hati, besar harapan Nero agar wanita itu dapat tersenyum kembali seperti dulu.
Meski terasa menyakitkan, apa yang dikatakan Ronald memang benar adanya. Dengan perasaan senasib, Nero berpikir jika dirinya akan mudah menjangkau Vivi dan mengembalikannya seperti semula.
Tarikan napas panjang dilakukan Nero guna mempersiapkan diri. Setelah dirasa sudah siap, ia pun mengetuk pintu kamar Vivi tiga kali, lalu masuk ke dalam.
“Selamat pagi, Nona Vivi. Nama saya Nero, dokter yang akan merawat Anda,” ucap Nero ramah sebagai perkenalan diri tatkala masuk ke kamar itu. Setelah menutup pintu di belakangnya, ia melangkah mendekati Vivi yang masih terlihat bergeming, tidak memedulikan keberadaan Nero. Meski begitu, senyum merekah di wajah sang pria tidak luntur.
“Azzam, kenapa kamu meninggalkanku ... maafkan aku. Semua ini, semuanya seharusnya tidak akan terjadi jika aku mengingatkanmu lebih berhati-hati ... kenapa, kenapa aku masih di sini. Kita ... lebih baik bersama, bukan ....”
Mendengar gumaman samar Vivi, hati Nero terasa semakin nyeri, kasihan dengan wanita di hadapannya. Ditinggal oleh orang terkasih memang bukanlah hal yang mudah ditaklukan. Namun, tenggelam dalam lautan kesedihan juga bukanlah hal yang baik. Tidak hanya menyakiti diri sendiri dengan perasaan bersalah tanpa akhir, tentu orang yang telah pergi akan ikut merasa sedih telah pergi tiba-tiba. Tapi, itulah kehidupan, dan semua orang pasti akan melaluinya cepat atau lambat. Dan Nero, sebagai seorang suami yang baru saja kehilangan istri dan calon anaknya, sangat mengerti tentang itu.
Meski belum mendapat perhatian Vivi, hal tersebut tidak menyurutkan usaha Nero untuk mendekati wanita itu. Ia pun mengambil kursi lain di ruangan itu, lalu menaruhnya di hadapan Vivi, mendudukinya.
“Nona Vivi, bagaimana kabar Anda sekarang?”
Untuk kedua kalinya, Vivi tidak menanggapi Nero.
“...Nona Vivi, saya pikir menyalahkan diri Anda—No-Nona?!”
Ucapan Nero terhenti akibat Vivi yang tiba-tiba menangis tanpa alasan. Mendapati hal di luar dugaan itu, Nero pun langsung panik, kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Selang beberapa detik, Nero pun mencoba menenangkan sang wanita dengan mendekatinya, mencoba memegang kedua pundaknya sebagai upaya penenang. Namun, sebelum Nero berhasil melakukannya, Vivi langsung bangkit berdiri dan bergerak menjauh, menunjukkan penolakan secara terang-terangan. Selang beberapa detik, tangisan wanita itu semakin keras, menyebabkan Nero kehabisan kata-kata.
“Nona, saya mohon tenangkan diri—”
“Menjauh dariku! Jangan dekat-dekat padaku, atau aku akan melaporkan pada Azzam!”
Kening Nero berkerut dalam tatkala Vivi mengucapkan nama yang tidak dikenalnya. Meski begitu, Nero tidak mengubrisnya, memilih kembali fokus untuk membantu Vivi.
Lantas Nero pun ikut berdiri, hendak mendekati sang wanita. Dan untuk kedua kalinya, usaha Nero untuk menenangkan tantrum Vivi tidak berhasil baik. Sebelum Nero berhasil menyentuh Vivi, wanita itu mengambil vas bunga di atas meja, lalu membantingnya. Tidak berhenti sampai di sana, Vivi meraih berbagai barang yang bisa dipegangnya dan membuangnya ke sembarang arah. Hal tersebut memaksa Nero melangkah menjauh, berusaha tidak melukai dirinya akibat serpihan benda yang dibanting Vivi.
“Keluarkan aku dari tempat ini! Aku ... Azzam sedang menunggu di luar sana! Aku harus keluar dari sini. Aku tidak gila!” teriak Vivi sembari berlari ke arah pintu, namun untungnya berhasil ditahan Nero. Saat ini, Nero tidak tahu harus berbuat apa selain berharap wanita itu dapat tenang dengan sendirinya. Karena Nero tahu, trauma seseorang tidak akan pulih dalam sekali pengobatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments