SL- 16

Sejak malam penyelamatan Nero pada Viva yang tangan dan tubuh terikatnya, hari-hari lainnya pun berjalan normal seperti dulu. Hari demi hari, minggu demi minggu, hingga bulan demi bulan berlalu lamanya, Vivi mulai menunjukkan tanda-tanda dirinya telah sembuh. Hal tersebut dikarenakan Nero yang tidak pernah menunjukkan lelah saat merawat pasiennya tersebut. Dengan sabar dan telaten ia mengajaknya bicara seperti orang normal, menyuapinya dengan sabar, serta rutin memberinya obat yang dapat memulihkan kejiwaan Vivi. Berkat ketelatenan Nero dalam merawat, lambat laun wanita itu tidak lagi mengonsumsi banyak obat seperti waktu kedatangan pertamanya dulu. Kini, dalam sehari Vivi hanya perlu meneguk obat sekali dalam sehari, dan itu pun dilakukan pada malam hari. Hal tersebut dikarenakan para dokter yang bertugas telah menyatakan jika kondisi Vivi mengalami peningkatan yang begitu pesat sehingga tidak memerlukan obat tambahan.

 

Tidak hanya karena kesabaran Nero, kesembuhan Vivi juga dikarenakan sang wanita sudah mulai menerima kepergian calon suaminya, Azzam, ke tempat yang seharusnya. Hatinya yang dulu terluka dan membeku, enggan terbuka bagi siapa pun, kini mulai memberikan tempat khusus bagi Nero yang berhasil membuatnya terpesona.

 

Menyebut Nero sebagai penyelamat bukanlah hal berlebihan, itulah yang dipikirkan Vivi dalam hati.

 

Di saat kabar kesembuhan Vivi membawa kebahagiaan dan sukacita bagi para petugas rumah sakit, hal tersebut ditanggapi berbeda oleh salah satu anggota keluarga Vivi. Berita Vivi yang mulai kembali normal telah tertangkap oleh telinga ibu tirinya, Dina.

 

Dimulai pada sore hari itu, waktunya bagi Dina untuk bersantai di taman dengan secangkir teh mawar hangat nan wangi. Ditemani beberapa kudapan ringan, nampak sang wanita yang menikmati ketenangan dalam hidupnya.

 

Gestur elegan tangan kanannya meraih pegangan cangkir, dan menyeruput likuid cokelat di dalamnya. Setelah itu, cangkir porselen dalam genggaman dikembalikan pada tempatnya.

 

“Hah ... satu lagi yang tenang tanpa ada pengganggu,” ucap Dina dengan suara nyaring, tidak peduli jika ada pelayan yang mendengarnya. Saat ini, fokus Dina adalah menikmati setiap detik kehidupannya tanpa Vivi di wilayah kekuasaannya. Karena tanpa adanya keberadaan perempuan itu, Dina dapat memanipulasi Jordan lebih mudah.

 

Saat ini, di dalam kepala Dina hanya ada puji-pujian yang berhasil dituainya dari grup berisikan ibu-ibu sosialitanya. Ia senang, puas dengan ucapan demi ucapan yang menyanjung dirinya tentang tanaman langka yang berhasil dimilikinya di taman belakangnya. Memikirkan hal tersebut, segaris senyum merekah di wajah mulus Dina.

 

Selang beberapa menit, senyum itu perlahan luntur tatkala telinga tidak sengaja mendengar suara derap langkah kaki dari kejauhan. Ia meyakini jika itu bukan suaminya, karena Dina ingat Jordan seharusnya tidak memiliki urusan apa pun dengannya sore ini. Para pelayan rumah pun tidak mungkin, karena Dina sudah memberi batasan keras pada mereka untuk jangan sekali-kali berani menyentuh wilayah taman belakang di waktu bersantai Dina.

 

Jadi, tebakan pertama Dina tentang pemilik derap langkah kaki tadi adalah orang kepercayaannya, Marvin.

 

“Kupikir kamu sudah tahu kalau aku paling benci jika seseorang berani mengganggu masa istirahatku, Marvin.”

 

Meskipun belum mengetahui jelas siapa sosok di belakangnya, Dina telah bersuara, menebak jika insan di belakangnya adalah benar-benar Marvin. Dan seperti dugaannya, langkah kaki tadi berhenti tepat di sebelah Dina, dan pria itu langsung membungkukkan badan, tanpa permintaan maaf.

 

“Maaf telah mengganggu waktu istirahat, Bu. Tapi, kedatangan saya di sini untuk membawakan kabar tentang Nona Vivi.”

 

Kedua alis Dina bertautan, menunjukkan keheranan yang begitu kentara. Jika di waktu lalu Marvin melaporkan kabar Vivi melalui via ponsel, mengapa sosok itu berada di hadapannya sekarang?

 

Saat itulah Dina tahu jika kabar Vivi tidak seburuk yang dipikirkannya. Meski begitu, Dina tidak ingin dirinya diselimuti kepanikan sia-sia. Guna menenangkan debaran jantung yang berdetak kencang, sang wanita kembali meraih cangkir teh, mendengarkan penjelasan Marvin sembari menyeruput tehnya.

 

“Kedatangan saya di sini untuk memberikan laporan harian saya. Hasil pantauan saya selama delapan bulan terhadap rumah sakit tempat Nona Vivi dirawat adalah Nona Vivi sudah hampir benar-benar sembuh.”

 

Meski sempat menduga kabar buruk itu akan tercapai di telinganya, Dina tidak menduga jika semuanya akan terjadi secepat itu. Terkejut dengan apa yang didengarnya, wanita itu hampir memuncratkan isi minuman yang hendak diteguknya. Meski kejadian itu tidak benar-benar terjadi, Dina justru berakhir tersedak. Ia terpaksa meletakkan kembali cangkir tehnya, terbatuk-batuk keras. Dan sebelum Marvin hendak menenangkan Dina, sosok itu telah terlebih dulu berhasil mengendalikan dirinya.

 

“Uhuk, uhuk—apa?! Marvin, jangan main-main denganku!”

 

Selesai batuk, Dina langsung melempar tatapan tajam pada sosok kepercayaannya itu. Namun, mengingat dirinya mengatakan kenyataan yang ada, sedikit pun ketakutan tidak terlihat di wajah Marvin. Malahan sosok itu hanya memejamkan mata, lalu menggeleng.

 

“Maafkan saya, Bu. Apa yang saya katakan adalah benar adanya. Menurut pemantauan saya, keberhasilan kesembuhan Nona Vivi dikarenakan seorang dokter bernama Nero yang sering dekat dan selalu merawat Nona,” lanjut Marvin dalam keadaan masih memejamkan mata.

 

Mendapati nama asing tadi, Dina langsung mengerutkan kening.

 

“Nero?”

 

“Benar, Bu. Nero Ardiaz, psikiater berusia 36 tahun yang bekerja di rumah sakit jiwa dimana Nona Vivi ditempatkan.”

 

Penjelasan Marvin menyebabkan rasa penasaran Dina semakin menjadi. Seorang psikiater dengan pasiennya yang gila, siapa pun pasti akan menduga jika ada sesuatu di antara mereka jika terlalu dekat. Itulah yang dipikirkan Dina sekarang, berpikir jika putri tirinya memiliki hubungan khusus dengan Nero sehingga kesembuhan jiwanya berlangsung cepat.

 

Di saat yang sama, ketakutan juga menyerang batin Dina. Ia takut jika kesembuhan Vivi benar-benar terjadi berkat bantuan psikiater muda tadi, lalu kembali ke rumah. Dina tidak ingin jika wilayah kekuasaannya kembali terusik karena keberadaan Vivi.

 

“Sialan, bocah tengik itu lebih cepat pulih dari yang kuinginkan. Belum ada setahun, dan dia berniat kembali ke sini ... jangan bercanda.”

 

Dina bergumam pada dirinya sendiri. Kedua tangannya di atas meja terkepal erat, kerutan di wajahnya semakin dalam, menandakan amarah yang hampir meluap dalam dirinya.

 

Sekarang, hanya ada satu hal yang bisa dilakukan Dina.

 

“Cari tahu tentang sosok Nero ini. Apa pun itu, sebanyak apa pun, aku ingin kamu mencari semuanya.”

 

“Baik.”

 

Tugas baru telah diberikan, Marvin pun langsung beranjak dari posisinya. Kini, hanya tersisa Dina dengan wajah kesalnya. Ia tidak lagi bernafsu menikmati waktu teh sorenya. Kepalanya telah dipenuhi kemungkinan Vivi yang akan kembali.

 

“Tidak. Aku tidak akan membiarkan anak sialan itu kembali di sini. Ini adalah rumahku. Jangan harap kau dapat merebut semua kemewahan ini lagi dariku!”

 

Selesai meluapkan amarahnya dengan teriakan barusan, Dina langsung kembali ke dalam rumah dengan menghentakkan kedua kakinya, kesal.

Terpopuler

Comments

Bunda dinna

Bunda dinna

Mulai resah sendiri..Vivi harus semangat biar segera sembuh

2023-01-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!