SL - 2

Kedua netra Nero perlahan terbuka. Samar-samar ia dapat melihat langit-langit ruang tempatnya dirawat. Dua hari ini ia tak sadarkan diri pasca kecelakaan hebat yang menimpanya dan sang istri. Benar, saat ini ia sedang berada di salah satu rumah sakit. 

Kondisi Nero memang tak begitu parah. Psikiater tampan itu hanya mengalami gegar otak ringan dan beberapa luka lecet saja. Saat ini tim dokter datang memantau keadaan Nero pasca diberitahu oleh perawat yang berjaga jika pria itu sudah sadar. 

Nero masih sedikit linglung. Kepalanya juga terasa sakit, tapi ia teringat jika kecelakaan itu tidak dialaminya sendiri. Sontak ia langsung mengingat bahwa sang istri—Azzura dan calon buah hatinya juga mengalami hal yang sama. 

"Dokter, di mana istri saya? Apa dia baik-baik saja?" cecar Nero begitu ia melihat seorang dokter pria paruh baya baru saja memasuki ruang rawatnya. Ia berusaha bangkit dari atas ranjang dan membuat kedua perawat yang berjaga di sampingnya menjadi khawatir sebab kondisinya belum sepenuhnya pulih. 

Dokter pria yang rambutnya sebagian telah memutih itu sejenak tertegun. Tampak ia menghela napas lirih singkat dan mencoba untuk menenangkan Nero. 

"Sebaiknya kamu jangan banyak bergerak dulu. Kondisimu belum sepenuhnya pulih," ujar Dokter pria paruh baya itu. 

"Tapi, saya ingin tahu keadaan istri saya. Memangnya ada yang salah? Di mana dia sekarang, Dok? Dia baik-baik saja 'kan?" Pupil mata Nero bergetar. Ia menatap sang dokter dengan penuh harap, takut kalau Azzura mengalami hal yang lebih buruk dari yang dialaminya saat ini. 

Dokter paruh baya itu sekilas bertatapan dengan dua orang perawat wanita yang berada di ruangan Nero. Mereka sepertinya mempunyai sesuatu yang disembunyikan dari Nero. 

"Maaf, Pak. Sebenarnya istri Bapak bersama janin yang dikandungnya telah meninggal sesaat setelah sampai di ruang IGD. Kondisinya sangat parah karena luka di kepalanya cukup fatal. Dia kehilangan banyak darah sehingga tidak dapat diselamatkan," terang Dokter tersebut dengan raut wajah penuh penyesalan. 

Jantung Nero sontak mencelos saat mendengar kabar itu. Ia bahkan tak sadar jika air matanya sudah meluruh di pipinya. Kematian Azzura seperti tidak nyata baginya. Nero mencoba menampar pipinya sendiri, berharap jika semua yang dialaminya adalah mimpi belaka. Namun, saat merasakan sakit akibat ulah tangannya, ia sadar jika saat ini adalah realitanya. 

"Dok, ini bohong 'kan? Istri dan calon anak saya pasti selamat 'kan? Mungkin yang meninggal adalah orang lain bukan istri saya." Nero terisak dan tak mampu menahan segala rasa sesak di dalam hatinya. Ia sangat tidak menerima jika kabar itu benar adanya. 

"Maaf, tapi memang itulah yang terjadi pada istri Bapak."

Ucapan terakhir dokter itu seketika membuat tangisan Nero makin pecah. Pria itu memaksa bangkit dari atas brankar untuk menemui Azzura yang teramat ia cintai. 

"Saya mau bertemu dengan istri saya!" teriak Nero yang saat ini hatinya tengah terluka. Ia jelas shock setengah mati saat ini. 

***

Tatapan mata Nero tampak kosong saat menatap pusara Azzura dan calon buah hatinya yang masih terlihat basah. Para pelayat pun sudah pergi dan hanya menyisakan dirinya sendiri di dalam kepiluan. 

Beberapa saat lalu jasad orang yang sangat dicintainya ditanam, tapi air matanya saat ini sudah mengering karena terkuras habis sedari tadi. Bukannya ia tak sedih, justru kesedihan yang begitu mendalam itu di saat tak dapat mengeluarkan kristal bening dari netranya.

Baru saja mendapatkan kebahagiaan karena akan segera menjadi seorang ayah dari anak laki-laki, tapi Tuhan malah berkehendak lain. Secepat ini kedua orang terkasihnya dijemput begitu saja. Apa Tuhan memang merasa ia mampu sehingga melimpahkan cobaan yang begitu berat begini? Pikirnya. 

"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak becus sehingga membuatmu harus pergi secepat ini." Suara Nero terdengar parau. Ekspresi wajahnya tampak sangat menderita. 

Tangan kanan Nero mengusap nisan lalu beralih pada bingkai berisi foto Azzura yang tersenyum bahagia. Melihat potret wajah sang istri, jelas membuat dada Nero kembali berdenyut nyeri. Salah satu hal yang paling disukainya dari Azzura adalah senyum manis seperti di foto yang diletakkan di atas pusara itu. 

"Aku harap kamu tidak marah ke aku, Sayang. Kalau boleh memilih, lebih baik aku ikut saja bersamamu menghadap Tuhan. Aku tidak tahu nanti apakah aku bisa menjalani hari-hari tanpamu. Mungkin saja aku akan merasakan kehampaan, tapi sepertinya aku harus menghargai hidup yang masih diberikan Tuhan padaku. Maafkan aku karena telah selamat sendirian." 

Nero menundukkan kepala sambil meraup wajahnya kasar. Ingin rasanya menangis, tapi tak keluar dan hanya menyisakan sembab di area lingkaran matanya. Satu-satunya cara agar tak terluka terlalu dalam, ia harus ikhlas atas kematian Azzura. Namun, tentunya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan untuk melakukannya. 

Berulang kali Nero mengatakan kata 'maaf' di atas pusara sang istri dan calon anak laki-lakinya. Belum puas rasanya jika belum mencurahkan semua isi hatinya. 

***

Setelah merasa cukup berada di pemakaman itu, akhirnya Nero pun memutuskan pulang. Setidaknya ia harus kembali menjalani hidupnya meski tanpa Azzura dan anak laki-lakinya yang belum sempat lahir. 

Memang tak semudah itu melupakan orang yang sangat penting di dalam hidup kita. Apalagi sosok istri yang jelas-jelas setiap hari menyambutnya di rumah selepas pulang kerja dengan senyuman dan menjadi teman bercerita sebelum tidur. Namun, ia harus menerima takdir ini dengan lapang dada. 

Langkah kaki Nero begitu berat meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Azzura dan calon putranya. Ia sesekali menoleh melihat ke arah makam.

"Kamu harus ikhlas, Nero," gumamnya seraya menghela napas singkat. 

Saat ini Nero sudah berada di area parkir pemakaman. Baru saja akan memasuki mobilnya, ia tak sengaja melihat ada seorang wanita muda menangis tersedu-sedu dengan beberapa orang yang mencoba untuk menenangkan. 

Nero dapat menebak jika wanita itu pasti merasakan kesedihan yang sama dengannya. Pastinya wanita itu sangat terpukul karena telah kehilangan orang yang terkasih. 

Untuk beberapa saat Nero memperhatikan wanita itu. Ia bahkan dapat mendengar apa yang diucapkan oleh wanita ber-dress hitam itu.

"Kenapa kamu jahat? Kenapa kamu meninggalkanku sendiri? Harusnya kita bersama-sama saja menghadap Tuhan. Kenapa kamu egois dan pergi begitu saja?" 

Terlihat jelas di mata Nero jika wanita itu sangat sedih dan terpukul. Kemungkinan besar yang meninggal suami atau kekasihnya. Pikir Nero menerka-nerka. 

"AKU INGIN MATI SAJA MENYUSULMU!" Isak tangis terdengar begitu keras seiring dengan kata-kata penuh emosi dikeluarkan oleh wanita itu. 

Meski kondisi wanita itu cukup memprihatinkan dan ia sendiri merupakan seorang psikiater, Nero merasa tidak perlu ikut campur. Saat ini kondisi psikis dirinya juga sedang dalam keadaan tidak baik. Jadi, ia memutuskan untuk pergi dari sana tanpa memedulikan kondisi wanita tersebut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!