SL- 11

Hari-hari Nero menjadi lebih berwarna sejak kehadiran Vivi. Pagi ini sebelum berangkat kerja pun ia sangat bersemangat untuk menemui wanita itu. Sudah lama sekali ia tak merasakan hal seperti ini semenjak kematian Azzura. Sepertinya Nero memang sudah mulai perlahan menghapus sisa luka dari kepergian sang istri untuk selamanya. 

Nero tersenyum sambil menatap ke arah cermin. Ia melihat pantulan dirinya yang dibilang orang-orang tampan. Sekarang ia dapat melihat jika wajahnya lebih bercahaya bukan karena skincare, tapi karena suasana hatinya sedang baik. 

Pandangan Nero beralih ke arah meja yang berada di samping tempat tidurnya. Tadi malam ia sempat membeli beberapa jenis cokelat untuk diberikan pada Vivi. Ia harap perasaan wanita itu menjadi lebih rileks dan tenang setelah mengonsumsi cokelat pemberiannya. 

"Aku harap dia menyukainya," gumam Nero sambil terus memasang wajah semringah. 

Setelah memastikan penampilannya tampak sempurna, Nero pun bergegas mengambil kunci mobilnya dan berlari kecil menuju garasi. Ia bahkan berangkat setengah jam lebih cepat dari biasanya. 

Sepanjang perjalanan Nero tak henti bersenandung sambil menyanyikan lagu yang diputar. Ia membayangkan wajah Vivi yang tersenyum manis saat menerima cokelat pemberiannya nanti. Hanya begitu saja sudah membuat hatinya senang. 

Begitu sampai di rumah sakit jiwa, Nero menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya. Ia sangat ramah sekali hari ini dan semuanya menganggap jika mood Nero dalam keadaan baik. 

"Selamat pagi, Pak. Semangat bekerja, ya!" sapa Nero pada security yang berjaga di lobby rumah sakit. 

"Selamat pagi juga, Pak Nero. Sepertinya habis mengalami hal baik ya," tebak Pak security yang sudah berusia paruh baya itu, dan Nero hanya tersenyum menanggapinya. 

Tujuan utama Nero adalah ruang rawat Vivi. Ia tak sabar untuk memberikan cokelat yang dibawanya pada wanita itu. Ia pun mempercepat langkahnya agar bisa segera bertemu dengan Vivi. Namun, saat ia membuka pintu ruang rawat wanita itu, ia rupanya tak menemukan Vivi. 

"Dia ke mana ya?" Nero bertanya pada dirinya sendiri. 

Kebetulan sekali ada seorang perawat wanita melintas, Nero pun tak membuang kesempatan untuk bertanya. 

"Pasien di kamar ini ke mana ya? Kok dia tidak ada di ruangannya."

"Saya juga kurang tahu karena saya juga baru sampai," jawab perawat itu. 

Nero hanya bisa menghela napas lirih saat itu. Kira-kira Vivi pergi ke mana pagi-pagi begini. Setelah berterima kasih pada perawat itu, ia pun memutuskan untuk mencari Vivi. Ia yakin sekali kalau wanita itu masih berada di area rumah sakit sebab status Vivi adalah pasien dan kondisinya juga belum stabil. 

Pikiran Nero pun tertuju pada taman rumah sakit. Mungkin saja saat ini Vivi sedang berada di sana untuk menghirup udara segar. Taman rumah sakit jiwa tempatnya bekerja memang sangat indah karena banyak sekali di tanam bunga-bunga. Maka dari itu tempat tersebut sangat cocok untuk menenangkan pikiran. 

Kedua mata Nero mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru taman. Namun, ia sama sekali tak menemukan Vivi di mana pun padahal ia sudah mengitari seluruh taman dengan berjalan cepat. 

"Sebenarnya Vivi ada di mana? Dia tidak mungkin dipulangkan karena kondisinya. Dia pasti ada di suatu tempat."

Otak Nero kemudian kembali berputar memikirkan kemungkinan keberadaan Vivi. "Ah mungkin dia saat ini sedang berkunjung ke ruang rawat teman-temannya. Kenapa aku tak terpikir sedari tadi?"

Akhirnya Nero bergegas kembali ke paviliun tempat Vivi dirawat. Ia mengecek satu persatu kamar pasien yang berada di dekat kamar Vivi, tapi hasilnya pun nihil. 

Merasa segala daya upayanya tidak membuahkan hasil, Nero pun memutuskan untuk berhenti. Ia menyerah dan kembali ke ruang kerjanya dengan langkah gontai walaupun hati kecilnya masih bertanya-tanya di manakah gerangan Vivi berada. 

***

Sudah sekitar satu jam dari usaha mencari Vivi, Nero masih betah duduk di ruangannya. Waktu menunjukkan pukul delapan, dan ia masih punya satu jam sebelum praktiknya dibuka. Pikirannya masih tertuju pada Vivi, ia masih bertanya dalam hati keberadaan wanita itu sambil memasang wajah kusut serta masam. 

Tiba-tiba saja pintu ruangannya dibuka oleh seseorang sehingga membuat psikiater tampan itu pun terperanjat. Ternyata yang datang adalah Ronald. Wajah rekan kerja Nero itu juga tak kalah kusut dan masam. Sepertinya baru saja terjadi hal yang buruk. 

Ronald mengempaskan bokongnya di kursi yang berada tepat di hadapan Nero. Ia menghela napas lirih mirip dengan seseorang yang sedang frustrasi. 

"Kamu kenapa?" tanya Nero seraya menautkan kedua alisnya. 

"Kamu tahu 'kan pasien yang bernama Vivi? Tadi aku baru saja menemani dia menemui anggota keluarganya, tapi tadi dia mengamuk lagi dan tampak sangat histeris. Begitu selesai pertemuan itu, dia menjadi linglung kembali. Aku sangat kasihan dengannya, padahal kemarin dia tampak baik—"

Belum sempat Ronald menyelesaikan ucapannya, Nero sudah beranjak dari kursinya dan berlari ke luar ruangan. Tentu saja sikap Nero membuat Ronald menjadi sedikit heran. 

"Dia kenapa ya?" gumam Ronald yang saat posisinya sedang menoleh ke arah pintu keluar. 

Sementara itu, Nero masih berlari ke ruangan Vivi. Mendengar apa yang disampaikan oleh Ronald, jelas membuatnya khawatir dengan keadaan Vivi. 

'Apa yang sebenarnya terjadi kepadamu? Mengapa kamu berteriak histeris saat bertemu dengan keluargamu?' batin Nero sembari terus berlari menuju kamar rawat Vivi. 

Nero tidak memedulikan orang-orang yang berpapasan dengannya. Fokusnya hanya ditujukan pada Vivi seorang. Ia ingin segera bertemu dengan wanita itu dan menenangkannya. 

Begitu sampai di depan ruangan Vivi, rupanya pintu kamar tersebut dikunci. Mau berapa kali Nero memutar hendel pintunya, tetap saja tak mau terbuka. 

Mata Nero tertuju pada Vivi yang sedang menangis di pojok ruangan. Wanita itu tampak sangat rapuh dan menderita. Rasanya ia tak tega melihatnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kelopak matanya pun terasa panas bak ingin mengeluarkan kristal bening. 

'Kenapa kamu bersedih lagi? Padahal kemarin kamu sudah bisa berbicara banyak hal denganku. Kamu bahkan tersenyum dengan manis padaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah seharusnya kamu merasa senang saat bertemu dengan keluargamu? Apakah mereka menyakitimu, Vi?' 

Nero hanya bisa bertanya semua itu di dalam hatinya. Entah mengapa dadanya terasa sesak saat melihat Vivi yang menangis tersedu-sedu dan terlihat sangat menderita. Ia dapat melihat gambaran saat pertama kali ia melihat wanita itu, dipenuhi kabut duka dan nestapa mendalam. 

Tangan Nero terkepal erat. Ia membalikkan badannya lalu memukul pelan dadanya. Kedua kelopak matanya terpejam erat berusaha menahan perasannya. Ia seperti merasakan apa yang dirasakan oleh Vivi saat ini. Jika bisa berbagi kesedihan, ia pasti akan rela karena wanita itu sudah membuka pintu hatinya yang membeku selama ini.

Terpopuler

Comments

Bunda dinna

Bunda dinna

Vivi ketemu keluarga malah tertekan

2023-01-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!