SL- 10

Sejak perbincangan empat mata dengan Vivi di hari lalu, hubungannya dengan Nero berubah lebih baik. Keduanya semakin dekat seiring waktu berlalu. Tidak ada lagi Vivi yang sering mengamuk. Hanya ada Vivi yang sudah bisa didekati oleh orang lain. Meski beberapa petugas sempat merasa ragu dengan perubahan signifikan Vivi, tidak dapat dipungkiri jika mereka juga turut berbahagia dengan itu. Bahkan tidak sedikit juga dari mereka yang percaya jika Vivi memang bukan orang gila.

‘Klek!’

“Sore, Vivi. Bagaimana kabarmu?”

Bukan hanya Vivi yang mengalami perubahan, Nero pun demikian. Pria itu tidak pernah absen menyisakan waktu luangnya untuk sekadar mengobrol dengan Vivi setelah tugasnya selesai.

“Sore juga.”

Pandangan Vivi yang semula tertuju pada pemandangan di luar jendela langsung teralihkan pada Nero tatkala suaranya terdengar. Tidak seperti pertemuan pertama mereka dulu, wajah Vivi tidak lagi menunjukkan kemuraman. Segaris senyum simpul nan manis selalu terlukis di wajah rupawannya.

“Tidak biasanya Anda datang sesore ini. Ada banyak pekerjaan?”

“Begitulah. Hari ini memang lebih sibuk dari biasanya karena rumah sakit kedatangan beberapa pasien baru,” jelas Nero dengan senyum di wajahnya sembari mengusap pelan tengkuknya, terlihat sungkan. Di luar dugaan, Vivi justru menanggapi ucapan Nero dengan kekehan pelan.

“Banyak orang yang membutuhkan Anda di luar sana. Seharusnya Anda bangga dengan pekerjaan mulia itu,”

“Tentu saja. Menolong sesama sebanyak mungkin adalah salah satu alasanku bekerja di sini,” balas Nero sembari mengarahkan pandangannya ke luar jendela, mendapati matahari yang tidak bersinar terik seperti di siang hari.

Tidak berselang lama, Nero mengerjap, seakan mengingat ada yang perlu dilakukannya. Setelah itu, ia langsung merogoh saku jasnya, lalu mengarahkan kepalan tangannya kepada Vivi yang penasaran.

“Ah, iya. Kemarin saat aku pulang, aku melihat toko boneka yang baru buka. Dan aku tertarik untuk membelikanmu ini,” ujar Nero sembari membuka kepalan tangannya, menunjukkan sebuah boneka beruang berukuran kecil. Melihat hal tersebut, Vivi terbelalak, merasa terkejut. Tidak hanya itu, sebersit perasaan juga timbul dalam hatinya. Itu karena bukan pertama kalinya Nero memberikan hadiah. Beberapa hari yang lalu, Nero membawakan sebuket mawar merah atau pun makanan kesukaan Vivi. Kini, Nero memberikannya boneka manis yang dapat dibawanya kapan saja.

“Terima kasih!” ucap Vivi antusias sembari menerima hadiah pemberian Nero.

***

Tidak hanya membawakan hadiah, saat itu Nero juga mengajak Vivi untuk berjalan-jalan di taman bunga rumah sakit untuk mencari udara segar.

“Awalnya kupikir semua ini terlihat biasa. Namun, setelah aku beberapa kali ke sini bersamamu, tempat ini terasa lebih indah,” ujar Nero yang pertama kali memecah keheningan di antara mereka.

Apa yang dikatakan Nero barusan bukanlah ucapan dari mulut semata, melainkan benar-benar dari hati terdalamnya. Hal tersebut dikarenakan keberadaan Vivi menjadi obat tersendiri di hati Nero yang terluka karena kehilangan sosok istri dan calon anaknya. Bahkan seiring berjalannya waktu, Nero tidak akan menyangkal jika dirinya mulai melupakan sosok Azzura, tergantikan oleh Vivi.

Tidak hanya itu, Nero juga sangat sadar jika hatinya yang sempat membeku sejak kematian Azzura mulai meleleh, diisi oleh Vivi.

“Haha! Anda bisa saja!” ucap Vivi diiringi tawa menanggapi ucapan Nero barusan. Mengerti jika wanita itu tidak menanggapi serius ucapan tersirat Nero, sang pria pun berakhir ikut tertawa.

“Tapi, sungguh, bagaimana jika yang kuucapkan barusan itu serius? Bagaimana tanggapanmu?”

Nero berhenti melangkah, diikuti Vivi yang juga berjalan beriringan di sebelahnya. Sang pria mengalihkan tatapannya kepada sosok wanita di sisinya, menatap lekat keindahannya yang terpancar semakin jelas berkat siraman sinar mentari sore. Semilir angin mulai bertiup pelan, menyapu lembut kedua insan itu, menyebabkan beberapa helai rambut Vivi menari lembut mengikuti arah hembusan. Saat itu, kecantikan Vivi yang memukau membuat Nero merasa waktu berhenti berjalan untuk sesaat, membuatnya refleks meneguk ludahnya sendiri.

“Menurutmu sendiri bagaimana?”

Meski Nero telah membawa topik pembicaraan yang serius, nampaknya hal tersebut tidak berpengaruh banyak bagi sang wanita. Terbukti bagaimana Vivi yang kembali tertawa, lalu berlari kecil melewati Nero. Setelah jarak memisahkan, ia berbalik, dan tersenyum jenaka.

“Dibanding memikirkan hal seperti, bukanlah lebih baik jika kita membahas menyenangkan seperti dulu? Tentang pengalaman Anda dalam merawat orang-orang sepertiku?”

Menanggapi pertanyaan Vivi, semula Nero mengerjap, terkejut. Butuh beberapa detik baginya untuk menguasai pikirannya kembali, karena sebelumnya ia hanyut dalam pesona Vivi di langit sore. Untungnya keterkejutan Nero tidak berlangsung lama, karena pria itu mulai terlihat santai, tidak sekaku sebelumnya.

“Ya, kupikir kau benar juga.”

Mengerti jika keseriusannya yang sekarang tidak akan ditanggapi serupa oleh Vivi, Nero memutuskan untuk melanjutkan jalan-jalan santai mereka dengan perbincangan ringan yang dapat mengundang senda gurau. Karena bagi Nero, kebahagiaan Vivi adalah prioritas utama Nero sebagai psikiater.

***

“Nero, kau sibuk?”

Pertanyaan itu terdengar tatkala pintu ruangan Nero terbuka tanpa pemberitahuan, menampakkan sosok Ronald yang serius, tidak seperti biasanya. Namun, Nero yang tidak menyadarinya hanya berdehem singkat, mengerti jika yang masuk barusan adalah sosok yang dikenalnya, sehingga ia tetap berfokus pada pekerjaan di tangan.

“Seperti yang bisa kau lihat sendiri,” jawab Nero seadanya. Meski ia terlihat cuek, Ronald tahu jika temannya itu tetap memerhatikannya, sehingga ia tetap lanjut bicara.

“Aku ke sini untuk menanggapi ucapan teman-teman sekerja kita yang membicarakanmu. Tentang hubunganmu dengan salah satu pasien kita.”

Menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya, akhirnya Nero langsung mengangkat kepalanya, menatap lurus Ronald.

“Apa?”

“Hubunganmu dengan Nona Vivi sehabis bekerja. Semua orang sadar tentang itu, Nero. Dan yang lain sering memintaku untuk memberitahumu tentang ini.”

Kening Nero berkerut semakin dalam mendengar ucapan Ronald yang terkesan sepotong-potong itu.

“Katakan padaku lebih jelas.”

“Jangan larut dalam perasaanmu dengan bersikap akrab dengan Vivi. Sebagai profesional, kau harus membatasi pergaulan dengan pasien. Bagaimana pun, hal itu melanggar kode etik psikiater RSJ,” ucap Ronald bernada serius, menatap lekat Nero yang nampak biasa saja.

Keheningan pun langsung menyelimuti keadaan saat itu, menyisakan kedua pria itu menatap satu sama lain, meyakinkan pendiriannya.

Selang beberapa menit, Nero menghembuskan napas panjang.

“Hanya itu yang ingin kau katakan?”

Seakan bukan hal penting, Nero menanggapi pernyataan serius Ronald dengan acuh tak acuh. Malahan Nero kembali berkutat pada pekerjaannya, mengabaikan Ronald yang terkejut.

“Nero, aku serius! Kau harus tahu batasanmu. Dan kau juga yang paling tahu hubungan kalian tidak akan berlangsung baik-baik!”

Sama seperti sebelumnya, Nero hanya merespons seadanya, seakan tidak memedulikan kekesalan di wajah Ronald karena tidak dianggap serius.

“Aku kecewa padamu, Nero.”

Mengerti jika dirinya tidak akan mendapatkan jawaban yang diinginkannya, Ronald memilih untuk undur diri, keluar dari ruangan karena Nero yang keras kepala.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!