Mata Federick terbelalak dengan pemandangan yang dia lihat. Sekujur tubuhnya kaku, jantungnya pun turut berdegup kencang tak beraturan.
Tangan, kaki, kepala, bahkan potongan tubuh lain yang tak terkira jumlahnya berserakan dimana-mana ketika Federick dan Vivian tiba di pusat kota.
Jalanan yang indah seketika berubah menjadi mencekam dengan muncratan darah yang begitu banyak dari korban ledakan bom yang tak terduga itu.
"Sayang. Pulanglah lebih dulu."
Vivian pun mengangguk. Dia lalu berbalik meninggalkan Federick yang masih menatap potongan-potongan tubuh itu.
"Kapten!"
Josh dan Peter tiba beberapa saat kemudian. Mereka pun tak kalah terkejutnya dengan Federick.
"Astaga.. Orang gila mana yang melakukan semua ini?!"
Federick berjalan ke arah sesosok tubuh mungil yang tergeletak di sebelah gerobak yang sudah hancur.
Tubuh itu masih utuh, namun darah segar mengalir deras dari kepalanya yang menandakan sosok itu mengalami cedera kepala yang serius hingga mampu merenggut nyawanya.
"Kapten, diperkirakan jumlah korban sekitar dua ratusan orang!"
"Dua ratus?"
"Tidak salah lagi!"
Federick lalu mengusap wajah mayat anak kecil itu. Sepintas dia teringat akan putranya sendiri yang telah tiada karena kecelakaan. Amarah pun tak bisa terbendung lagi dari pria tua itu.
"Temukan orang gila yang melakukan semua ini bagaimanapun caranya!"
**
"Anda baik-baik saja nyonya?"
Sopir pribadi keluarga Federick begitu khawatir setelah melihat dari spion mobil bagaimana raut wajah majikannya sangat pucat pasi. Belum pernah dia melihat Vivian sepucat itu selama dia mengabdi di keluarga Federick.
Vivian pun meneguk air yang dia bawa. Dia lalu mengusap peluh di dahinya yang mungkin sudah sebesar biji jagung. Kaget, sedih, dan takut pun bercampur menjadi satu.
Jika dipikirkan lagi dia memang istri dari seorang kapten. Namun sejauh ini Vivian belum pernah melihat kejadian tragis secara langsung selama mendampingi Federick. Tentu saja apa yang baru saja dia lihat menjadi konflik batin tersendiri baginya.
Ckitt!
Mobil yang dinaiki oleh Vivian seketika berhenti ketika seorang pria bertopi tiba-tiba muncul menghadang.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!"
Ketika sang sopir berniat turun dari mobil, pria misterius itu mengeluarkan sesuatu dari belakang tubuhnya dan..
Door!
"Arght!!"
Jeritan Vivian memecah keheningan malam. Setelah bom kini dia melihat sopirnya tergeletak tak bernyawa dengan kepala berlubang di depan matanya.
Wanita berumur itupun semakin histeris ketika sang pembunuh membuka pintu mobilnya.
"Sstt.. Kenapa para wanita itu selalu berisik? Diam atau ku lubangi tengkorak kepalamu."
Pria misterius itupun menyeringai ketika Vivian menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil menahan tangis. Dia lalu mengeluarkan lakban untuk mengikat kedua tangan dan kaki Vivian.
Kemudian pria itu menarik tubuh malang sang sopir dan mengendarai mobil itu dengan Vivian yang masih meringkuk di kursi belakang.
"Tolong lepaskan aku.. Kau bisa mengambil semua hartaku asalkan kau melepaskan ku.."
Vivian lalu menoleh ke kiri dan ke kanan sambil berteriak-teriak. Dia mencari mungkin masih ada orang disekitarnya yang bisa menolongnya dari pria itu.
Melihat gelagat Vivian, pria itupun kesal dan mengerem. Dia mengeluarkan pistolnya lagi yang kali ini langsung mengarah ke mata kanan Vivian selanjutnya di kerongkongan wanita itu secara bergantian.
"Hmm.. Yang mana dulu yang harus ku tembak? Ini atau ini? Ah.. Keduanya sama-sama membuatku kesal. Bagaimana kalau mata dulu saja?"
"Kenapa kau melakukan ini padaku tuan.." tanya Vivian untuk yang kesekian kalinya sambil menangis.
"Kenapa kau melihat kembang api itu?"
"Ke-kembang api?"
Wanita itu tertegun mendengar pertanyaan dari sang pria. Diapun berpikir sejenak dan beberapa detik kemudian wajah Vivian berubah semakin pucat.
"K-kau.."
Pria itu menyeringai kembali. Vivian baru menyadari bahwa yang terjadi padanya sekarang bukan sekedar perampokan biasa melainkan sesuatu yang lebih besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments