Tersipu

Renzi memperhatikan lembaran-lembaran itu dengan seksama. Saat membuka lembaran ke 12 ia terdiam, pupil matanya bergetar kemudian ia melirik Ara yang sedang melihat rekaman cctv itu. "Aaahhh...aku paham," gumamnya kemudian menutup lembaran itu. Tangannya menarik tangan detektif itu menuju sudut ruangan, tingkah Renzi membuat detektif itu kebingungan.

"Ini penyebab kalian tidak dapat menyelesaikannya juga menyimpulkannya?" Tanya Renzi pada detektif itu sambil menunjuk ke lembaran itu.

Detektif itu mengangguk lalu menyeringai, "iya, ternyata kau cukup pintar," pujinya. "Seluruh ruangan bersih tanpa sidik jari, kecuali baskom berisi air itu, dan jasad korban di temukan setelah beberapa hari. Ini semua seperti pembunuhan tapi juga ada kejanggalan," sambung detektif itu. Ia berbalik membelakangi Renzi kemudian memberikan kotak berisi barang-barang. "Ini, seluruh bukti yang dapat kami temukan. Karena kasusnya di tutup...kurasa aku bisa memberi ini padamu," katanya lagi dengan senyum dan mata yang sedikit menyipit.

Renzi meraih kotak itu lalu menatap detektif itu, "terimakasih, pak." Ucap Renzi. Mereka mengobrol selama beberapa menit melanjutkan pembahasan mereka.

Ara yang sedari tadi memutar rekaman cctv nya masih belum paham kejanggalan apa yang ada disana. "Apa-apaan?!!! Dia bercanda ya? Gak ada apa-apa..." Gumam Ara kesal sambil terus memainkan rekaman itu.

Setelah beberapa menit berlalu, Renzi dan Ara keluar dari kantor polisi. Pemuda itu masuk ke dalam mobilnya lalu kembali melihat dokumen yang diberikan oleh detektif itu. "Keterangan yang mencurigakan..." Batinnya dengan pandangan yang masih terpaku pada buku itu.

Ara yang duduk di samping kursi pengemudi hanya bisa diam sambil menatap Renzi yang memasang tampang serius di wajahnya.

"Baiklah! Mari kita temui tersangka pertama!!!" Teriak Renzi kemudian mulai melajukan mobilnya. Gadis itu tersentak mendengar teriakan Renzi, untuk beberapa saat ia menatap Renzi yang tengah mengemudi dengan wajah bersemangat juga senyum kecil diwajahnya. Senyum yang jarang ia tunjukkan itu membuat pipi gadis itu memanas, dan pupil matanya yang membesar.

"Nek...tolong jangan memegang tuas itu. Kau membuatku ragu untuk memegangnya, singkirkan tanganmu." Pinta Renzi melirik Ara yang memegang tuas itu.

"O-oh? M-maaf..." Ucap Ara, ia singkirkan tangannya dari tuas itu lalu meletakkan tangannya di lututnya dengan jari-jari yang terus bergerak. Mata gadis itu sesekali melirik Renzi yang terus mengemudi dengan pipi yang memerah.

"Pak..." Panggil Ara sambil melihat ponsel Renzi yang bergetar di depannya. "Ponselmu berbunyi..." Sambung Ara menunjuk ponsel itu.

"Ah? Iya, baiklah. Tolong angkat dan aktifkan speakernya," pinta Renzi yang melambatkan laju mobilnya. Ara mengangkat telepon itu dan mendekati nya ke telinga Renzi sehingga membuat pemuda itu sedikit terkejut.

"H-halo?"

"Ren...ini sudah hampir siang loh, kenapa kau belum datang juga?!!!" Tanya Brody berteriak dari seberang telepon. Renzi me-rem mobilnya mendadak di lampu merah, ia meraih ponsel itu dari tangan Ara dengan tergesa-gesa lalu membuka grup circle mereka (yang memasukkan Renzi secara paksa).

Ia perhatikan pesan di grup itu yang sudah berjibun-jibun, satu persatu pesan ia baca sampai akhirnya ia menemukan pesan yang berisi rencana yang dibuat teman-temannya tanpanya.

"Ren? Kau masih disana?"

"Hei!!! Apa-apaan ini?! Aku ada urusan yang lebih penting dari ini!" Bentaknya. Perkataan Renzi itu membuat Ara semakin memerah, gadis itu menatap Renzi dengan tatapan yang berbinar-binar.

"Renzi! Cepat! Kami beri waktu 22 menit!" Teriak Shinta setelah merebut ponsel Brody lalu mematikan teleponnya. Dengan terpaksa Renzi berbelok ke kiri padahal seharusnya ia berbelok ke kanan, Ara menatap wajah pemuda itu yang tampak kesal.

"Maaf, nek. Sepertinya hari ini aku tidak bisa segera memproses kasusmu, maaf..." Ucapnya dengan penuh rasa bersalah. Ara hanya memberi reaksi keheranan dan santai kepada Renzi, dengan santainya ia menaikkan kakinya ke kursi dan duduk bersila.

Gadis itu tersenyum tipis dibalik rambutnya, "tidak apa-apa, lagian...siapa yang suruh kamu memproses kasusnya sekarang? Kamu sendiri kan yang mau?" Tanya Ara sambil menatap Renzi. "Lagian aku juga gak terlalu ingin kok," gumam Ara yang mengalihkan pandangannya keluar jendela dengan sorot mata yang murung.

"Maaf...juga terimakasih karena telah repot-repot memegangi ponselku," katanya lalu melirik Ara yang terdiam sambil melihat keluar jendela.

"Tidak masalah..." Katanya lagi dengan tangan yang saling mengelus.

Setibanya di rumah Brody

Renzi menatap teman-temannya dengan tatapan kesal juga tangan yang disilangkan. "Kenapa kau telat?!" Tanya Shinta dengan ekspresi yang mengerikan. Renzi hanya menghela nafas sambil memalingkan wajahnya yang merasa kesal karena udah di marahi saja. "Orang nunggu..."

"Aku mau tanya ini ada apa?!!!" Tanya Renzi memotong. "Ada apa ini?! Dan kenapa aku sampai terbawa-bawa kesini!" Teriaknya sedikit kesal lalu kembali menyilangkan tangannya.

Brody menunjuk Shinta dengan seringai diwajahnya "gadis penakut ini tak mengakui kalau dirinya penakut," katanya dengan nada mengejek.

"Aku bukan penakut!!!" Gertak Shinta yang hendak melayangkan tinjunya ke arah Brody, gadis berambut pendek di belakangnya segera menahan Shinta dari belakang.

"Oh ya? Kau penakut! Buktinya kemarin kau ketakutan di kamar mandi rumah Renzi," balas Brody yang bahkan di tahan oleh Martha dari belakang, walau hatinya murni tidak ingin meninju gadis cerewet itu (walau 3% sangat ingin).

Martha menahan Brody sekuat tenaga dan menarik Brody sedikit jauh dari Shinta. "Sabar, Bro! Dia cewek, sadarlah... wahai hantu yang merasuki Brody, keluarlah!" Jerit Martha yang terus menjepit Brody padanya. Ara yang mendengar perkataan Martha merasa tersindir, gadis itu menundukkan kepalanya sedangkan Renzi tersenyum kecil menatap gadis itu yang tersindir.

Brody meronta-ronta berusaha melepas pelukan Martha, "lepas, Mart! Aku tidak ingin memukulnya!!!" Pekiknya lalu memalingkan wajahnya. "Ingin sih, 3%," sambungnya pelan.

Shinta yang mendengar gumaman Brody semakin mengganas, ia meronta-ronta berusaha memukul Brody yang semeter lebih jauh darinya. "Laki-laki menjengkelkan!!!" Pekiknya. Yura dengan sekuat tenaga menahan gadis itu di ikuti oleh Ara yang turut memeluk Shinta sehingga tidak dapat bergerak terlalu banyak.

Pemuda kekar di depannya itu mulai merasa ngeri, "sudah! Daripada gini terus ayo kita mulai uji nyalinya!" Ujar Brody dengan senyum yang meremehkan, Shinta merilekskan otot-ototnya dan kembali menatap pemuda itu.

"Baiklah...kalian semua harus ikut sebagai juri atas..."

"…Permainan kekanak-kanakan ini," potong Renzi dengan mata diputar dan tangan yang disilangkan. "Ayolah...apa kalian anak TK? Bahkan anak TK akan selesaikan masalahnya dengan berbicara," ujar pemuda itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!