Bukti (2)

"Dibungkus atau makan disini?" Tanya pria itu masih mengipas sate yang sedang dibakar tersebut.

"Dibungkus..." Jawab Renzi kemudian melihat pria itu. "Maaf, pak. Apabila lancang..." Kata Renzi sedikit pelan, pria itu mengangguk lalu membalikkan sate-sate itu. "Apa bapak tidak takut berjualan malam-malam begini? Apalagi didepan rumah ini..." Tanyanya yang telah duduk di kursi plastik itu.

Pria itu menggeleng pelan, "tidak...biasanya disini ramai, banyak orang yang nongkrong. Tapi sepertinya hari ini tidak, jadi mungkin setelah pesananmu saya akan langsung pulang." Ujarnya. "Rumah ini sangat seram di malam hari..." Sambungnya dengan penuh kengerian.

"Kenapa takut pada hantu kek si nenek?" Tanya Renzi dalam hati.

Setelah selesai membungkus pesanan Renzi, pria itu memberikan bungkus sate itu pada pemuda itu kemudian menerima uang yang diberikannya.

"Terimakasih, pak. Saya masuk dulu," ucap pemuda itu lalu berlari masuk ke rumahnya.

Pria itu terbelalak melihat Renzi yang masuk ke dalam rumah itu, seketika tubuhnya merinding dan pupil matanya bergetar ketakutan. "A-apa dia hantunya?" Karena takut, pria itu pun berlari sambil mendorong gerobaknya dengan kuat menjauh dari rumah itu.

Renzi duduk di meja makan dan membuka bungkus sate itu tanpa piring sehingga membuat kuahnya tumpah, ia mematung sambil menatap kuah sate yang menggenang di meja makan. Sementara Ara menyelamatkan 40 tusuk sate itu dengan ekspresi kaget dan meletakkannya di piring yang ada ditangannya.

"Pande, pande...kok bisa bapak lupa sih?" Tanya Ara dengan nada mengejek.

Pemuda itu menatap Ara masih dengan sorot mata kebingungan. Gadis itu segera mengambil piring dan meletakkan kuah yang masih tersisa disana, lalu membersihkan meja itu. "Tidak biasanya pak detektif ceroboh. Hahahahaha...lihat, kamu bahkan tidak sadar kalau kacamatamu ada di kerah bajumu dari tadi. Hahahahahaha..." Gadis itu tertawa terbahak-bahak sementara Renzi hanya menatapnya dengan kesal sekaligus geram. Gadis itu berusaha menahan tawanya namun tidak bisa, setelah beberapa detik akhirnya tawa meresahkannya berhenti.

Renzi yang sedari tadi ditertawakan tersipu malu lalu berjalan ke kamar untuk meletakkan kacamatanya. "Bisa-bisanya kamu ceroboh di depan klain mu, Renzi!!!" Ia memukul jidatnya berkali-kali saat berada di kamarnya.

Setelah meletakkan kacamatanya di tempatnya ia kemudian kembali lagi ke meja makan. Selama disana ia perhatikan gadis itu sedang melahap sate ayam.

Pemuda itu melihat sela sela rambut Ara berharap dapat melihat wajah gadis itu yang selama ini tertutupi oleh rambutnya. "Pengen sekali kugunting tuh poninya," geramnya dalam hati dengan tangan yang menghancurkan kerupu yang ia pegang saking geramnya.

"Pak, ada apa?" Tanya Ara sambil menatap Renzi keheranan.

"Tidak, tidak ada..." Sahutnya. "Aku hanya penasaran...bagaimana..." Renzi mendadak mengarahkan gunting ke depan wajah Ara dengan tatapan tajam yang dingin. "...wajahmu!" Ia melompat ke atas meja dan menarik poni Ara lalu mengguntingnya. Setelah rambutnya ter gunting, matanya terbelalak melihat wajah Ara.

"Pak...pak...pak!!!"

Renzi tersentak dan melihat Ara keheranan. "Eh?! Iya? Ada apa?" Pemuda itu melihat tangannya yang menarik beberapa helai rambut Ara dari tempat ia duduk, rambut hitam panjang yang sedikit kasar.

Pemuda itu menatap heran rambut di tangannya kemudian melihat jarinya yang menyerupai gunting terlihat sedang diam di rambutnya, kemudian ia menatap mata gadis itu yang terlihat sedikit jelas. Mata merah menyala yang bersinar serta bulu mata lentik yang mengepak indah di atas matanya. "S-sorry..." Ucapnya yang segera melepas rambut Ara.

"Bengong jangan narik-narik rambut orang dong! Gak jelas amat!" Kata Ara mengomelinya.

Renzi hanya terkekeh gugup lalu menatap serius gadis itu. "Nek..." Panggilnya dengan tangan yang perlahan-lahan meraih satu tusuk sate milik Ara.

"Ada apa?" Ketus Ara sambil menepis tangannya yang mencoba mengambil satenya. "Jangan, pak!!!" Gertak Ara dingin.

"Eeehhhh...nek..." Panggilnya lagi menelan ludah karena takut. "Kenapa kamu menutupi wajahmu? Aku penasaran seperti apa wajah klienku," tanyanya dengan suara yang pelan dan memelas.

Gadis itu terdiam kemudian menatap Renzi dengan tatapan hampa dan kosong. "Aku tak nyaman melihat wajahku, menyedihkan," ucapnya dingin dengan suara serta nada yang hampir berbeda dengan Ara.

Pemuda itu membeku mendengar jawaban gadis itu untuk beberapa saat sampai akhirnya suasana kembali tenang begitu Ara berbicara, "hm? Entahlah, aku lebih nyaman menutupinya. Lagian terlihat lebih menyeramkan, kan?" Jawab gadis itu seolah dia belum menjawab pertanyaan Renzi.

"Eeehhhh...Ara? Tadi kamu bilang kamu tidak nyaman melihat wajahmu, kan?" Tanya Renzi ragu.

Gadis itu memiringkan kepalanya keheranan dengan pertanyaan Renzi. "Apa maksudmu? Aku tidak bilang begitu," ucapnya kebingungan.

Pemuda itu menatap Ara sejenak dengan keheranan. "Baiklah..." Renzi mengelus punggung tangannya yang dipukul oleh Ara, ia kemudian teringat sesuatu dan kembali menatap gadis itu. "Nek, besok aku akan pergi sebentar. Jadi, jangan usilin orang, ya? Jika mau ikut..." Ia berhenti saat melihat Ara yang mencondongkan tubuhnya ke depan "...jangan mengganggu kalau begitu." Kata Renzi kemudian berdiri dari kursinya.

"Aku akan pergi tidur," kata Renzi pelan.

Gadis itu mengangguk kemudian melambai pada Renzi yang berjalan menuju kamarnya untuk tidur. Setelah Renzi masuk ke kamarnya, gadis itu terdiam sejenak dengan tatapan yang hampa dan kosong. Untuk beberapa menit dia diam disana tidak memikirkan apapun, namun perasaannya campur aduk seolah baru terjadi sesuatu yang mengerikan padanya.

...----------------...

Besoknya mereka berdua menunggu di depan kantor polisi pusat. "Haruskah kita menunggu sepagi ini?!!!" Teriak Ara kesal dari atas atap mobil, ia berbaring menerima cahaya pagi seolah ia adalah ikan yang dijemur. "Bukankah kamu bilang mereka menerima tamu jam 8? Ini masih jam 7!" Keluhnya yang berguling-guling ke kanan dan ke kiri.

"Yyyyaaaaahhhhhh...aku penasaran bagaimana efek tanda papan terima tamu di kantor ini," ujar Renzi yang duduk di dalam mobil sambil menyeruput kopi kemasannya.

Gadis itu tersentak mendengar jawaban Renzi kemudian turun dan duduk di samping pemuda itu. "Apa?!" Kagetnya, "penasaran?! Hanya karena penasaran?!!!" Tanya Ara dengan nada tinggi.

Renzi mengangguk pelan tanpa menatap mata gadis itu, "aku lebih penasaran bagaimana jika ku gergaji tubuhmu!" Kata Ara penuh kekesalan. Pemuda itu hanya menghela nafas dan lanjut menyeruput kopinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!