Bukti (3)

Mereka berdua duduk di dalam mobil dengan tenang sampai papan di depan kantor polisi itu di balik, Ara mencoba untuk tetap diam menunggu di dalam mobil dengan pasrah. Setelah beberapa menit, gadis itu tertegun teringat akan sesuatu kemudian melirik Renzi di sampingnya.

"Pak..." Panggil Ara pelan dengan lirih. Pemuda itu berdehem kecil tanpa menatap gadis itu. "Apa aku boleh bertanya sesuatu?" Tanyanya lagi pada Renzi.

"Silahkan," ucap Renzi mempersilahkan gadis itu lalu meletakkan tangannya diatas kemudi.

Gadis itu diam selama beberapa detik dengan perasaan ragu dan canggung, "eeehh...jika kamu tidak mau jawab, tidak masalah kok. Aku hanya bertanya..." Sambungnya setelah menghela nafas panjang.

Sekali lagi pemuda itu mengangguk padanya mempersilahkan. Ara menarik nafasnya kemudian bertanya, "aku penasaran dengan cinta pertamamu..." Renzi tersentak kemudian menatap gadis itu dengan tatapan kaget dan terkejut. "Gak boleh ya?" Tanya Ara canggung.

"Gak, gak. Boleh kok, kamu penasaran tentang mamaku ya. Gak papa kok..." Ujarnya dengan suara lembut namun tetap dingin.

"Mamamu?" Heran gadis itu. "Aku bertanya tentang cinta perta..."

"Iya, cinta pertamaku itu mamaku," jawab pemuda itu dengan senyuman kecil di bibirnya. "Kenapa? Kamu kira apa, hah? Apa cuma bagi anak perempuan ayahnya cinta pertamanya? Bagi anak laki-laki juga bisa, bagiku mamaku cinta pertamaku juga rumah ternyaman ku," suara Renzi terdengar lirih juga dalam.

Ara yang mendengar perkataan itu terdiam kaku kemudian menatap keluar jendela dengan aura yang berubah menjadi suram. "Ayah...cinta pertama putrinya?" Tanya Ara lagi-lagi dengan suara yang berbeda dari biasanya.

"Iya, kenapa?"

"Omong kosong...itu tidak benar," sambung Ara lirih. Renzi menatap gadis yang memunggunginya itu dengan keheranan, perlahan ia letakkan tangannya di atas kepala gadis itu lalu mengelus rambutnya.

Sontak hal itu membuat Ara berbalik dan menatap mata Renzi yang tampak khawatir. "Nek...maaf ya," Ucapnya halus pada Ara.

Seketika pipi gadis itu memerah mendengar perkataan itu juga tangan Renzi yang mengelus rambutnya. Untuk sesaat ia hanya terdiam sambil memikirkan perkataan juga perilaku Renzi yang membuat jantungnya kembali berdetak, "apa yang terjadi tadi?!!! Kenapa dia mengelus rambut ku?!!!" Jeritnya dalam hati.

2 menit terakhir sebelum jam 8, Renzi memperhatikan kantor polisi itu dengan teliti dan penuh kefokusan. Selagi Renzi memperhatikan kantor itu, Ara mengganggu semua orang yang melintas dengan menyenggol mereka atau melakukan hal lain yang membuat seluruh orang takut demi menghilangkan rasa bosannya.

Tidak lama kemudian polisi yang bertugas di kantor itu membalikkan papan terima tamu yang berada di balik jendela itu. "...mengecewakan, kukira langsung ramai. Sia-sia waktuku," kecewanya lalu keluar dari mobilnya dan berjalan menuju kantor polisi itu.

Ketika Renzi membuka pintu kaca itu ia disambut oleh pamannya yang tengah duduk di atas meja yang tidak jauh dari pintu. "Sudah paman duga, kau akan datang secepat ini," katanya dengan tawa yang sedikit tertahan.

"Jika paman sudah menduganya kenapa tidak menyuruhku masuk? Aku jadi menunggu hanya untuk melihat sesuatu yang pada akhirnya mengecewakan," protesnya lalu duduk di kursi plastik di dekatnya. Ia perhatikan pria itu yang sedang mengisap se puntung rokok.

"Mau rokok, nak?" Tanya pamannya sedikit bercanda pada Renzi yang terus memperhatikannya.

Pemuda itu menggeleng lalu mengalihkan pandangannya ke tangannya, 'sreeeeeetttt....' terdengar suara pintu terbuka yang sangat nyaring, serempak Renzi dan pamannya menoleh ke arah pintu itu.

Ara yang berdiri di depan pintu terkejut saat melihat kedua pria itu menoleh ke arahnya. "Ke-kenapa pintunya terbuka? Apa mungkin..." Tanya pria itu pada Renzi yang sedang melihat Ara yang berdiri mematung dengan gaya polos di depan pintu.

"Mu-mungkin angin...sudahlah, paman. Ayo, aku ingin bertemu dengan detektif itu..." Sergahnya sambil menarik pamannya. Mereka berjalan ke dalam ruangan yang di mana terdapat banyak meja yang di duduki para polisi, pemuda itu terpanah melihat ruangan itu yang sangat rapi, bersih, dan tenang.

"Selamat pagi, pak." Hormat paman Renzi kepada seorang pria yang kira-kira berusia sekitaran 40-an.

"Selamat pagi, letnan. Apa ini keponakan mu itu?" Tanya pria paruh baya itu sambil menatap Renzi dengan tatapan hangat.

"Iya, pak. Namanya Renzi, dia seorang mahasiswa jurusan hukum. Dia ingin bicara pada anda tentang kasus..."

"Aku yakin dia sudah tau alasanku kesini, tidak perlu diulang lagi," batin pemuda itu dengan mata yang diputar.

Setelah percakapan yang cukup panjang, pria tua itu akhirnya mengajak Renzi keruangan nya. "Baiklah...silahkan duduk, nak. Tanyakan saja apa yang ingin kamu ketahui," ujarnya ramah sembari duduk di kursi putarnya.

"Saya ingin bertanya tentang beberapa hal..." Ia mengeluarkan buku catatan nya dari balik jaketnya dan menyalakan rekaman suara di ponselnya. "...tentang kejadian pada tahun 2016 mengenai kasus penemuan mayat di dalam rumah yang terletak di jalan ZP 02 di rumah nomor 26. Apa yang membuat kalian tidak dapat menyelesaikan kasus itu?" Tanya Renzi.

"Di jalan ZP 02...oohhh...nak, aku tidak yakin secara pasti tapi kasus itu merupakan kasus yang tidak terlalu mudah. Ada kejanggalan pada kasus itu dimana membuat kami ragu untuk menyimpulkannya," jelasnya sambil membuka laci mejanya, ia mengeluarkan tumpukan kertas yang di staples dengan tulisan 'barang bukti' di sampulnya. Tumpukan itu sangat tebal penuh dengan berbagai catatan kecil yang diselipkan.

"Kamu bisa periksa di dokumen ini, tapi sebelum itu lihatlah rekaman cctv yang kami ambil," ia meletakkan tumpukan kertas itu lalu menyalakan rekaman cctv dan menunjukkan nya pada Renzi. "Lihatlah."

Di rekaman itu terlihat seorang gadis dari kejauhan yang berjalan masuk ke dalam sebuah taksi, perempuan itu dari rumah yang sama dengan Renzi maksudnya Ara. Pak detektif mempercepat rekamannya ke saat pukul 18:43, disana Renzi mulai melihat kejanggalan.

Detektif itu melirik Renzi yang tampak sedang berpikir dengan tangan yang disatukan. "Kau melihat kejanggalan nya?" Tanya pria itu. Ara yang merasa tidak ada yang janggal mulai mencari saat yang tepat untuk memutar ulang rekamannya.

"Ya, pak. Perempuan itu pergi dengan sepatu sport tapi kembali dengan sepatu hak tinggi, dan juga rambutnya terasa lebih pendek dari sebelumnya. Juga jika diperhatikan dengan seksama...ia tampak berbeda dari gadis sebelumnya," kata Renzi mengeluarkan seluruh isi pikirannya. "Mungkinkah dia pergi ke salon?" Tanyanya lagi.

Pria tua itu menggeleng, "tidak, kami sudah memeriksa seluruh salon disana tapi tidak ada catatan tentangnya bahkan plat nomor taksi yang ia naiki tidak ada di catatan manapun," jelasnya. "Dan...jika kamu bisa melihat foto di dokumen itu, korban ditemukan oleh tetangganya dalam keadaan tak bernyawa di ruang tamu di sebelah baskom berisi air," sambungnya sambil menunjuk foto yang tertempel di dokumen tebal itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!