Bukti (1)

Ketiga pemuda itu duduk di warkop itu selama beberapa jam sambil sesekali bermain game bersama.

"Eh? Dah mau malam, woy!" Kata Martha mengagetkan mereka. Brody dan Renzi melihat keluar selama beberapa detik kemudian mengangguk lalu kembali menatap ponsel mereka. Respon kedua pemuda itu membuat Martha kesal dan menggertakkan giginya, mendadak sebuah ide licik muncul di pikirannya.

A Few Minutes Later

Martha berjalan dengan wajah tersenyum lebar hingga membuat giginya yang kecil terlihat.

"Tha..." Panggil Renzi yang tampak lesu, lelaki kecil yang berjalan di depannya itu melirik dengan sedikit mendongakkan kepalanya. "Tadi itu nyebelin banget," keluhnya pelan dengan wajah yang pasrah.

Brody yang berdiri di sebelah Renzi mengangguk pelan, "iya, Marth. Bagaimana bisa kamu berpura-pura terjatuh...lalu...berteriak?" Tanya Brody dengan sorot mata yang hampa karena membayangkan kejadian tadi.

"Dan...menuduh kami?" Sambung Renzi yang sama hampa nya dengan Brody.

Lelaki kecil itu hanya tertawa tanpa menjawab pertanyaan mereka. Kemudian lelaki dengan tinggi 160 cm itu berdiri di hadapan mereka dengan wajah yang nyebelin. "Makanya...waktu kubilang pulang, pulang." Katanya cengengesan.

Kedua pemuda di hadapannya itu saling menatap satu sama lain lalu kembali menatap Martha, "kapan kamu bilang pulang?!!!" Tanya mereka bersamaan dengan nada sedikit kesal.

"Hah? Oh, iya ya...aku belum bilang. Hehehe..." Cengengesannya lagi dengan tangan yang menggaruk belakang kepalanya. Ia perhatikan Renzi dan Brody yang menatapnya sambil tersenyum runcing, tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak.

Hawa kedua pemuda itu menakutkan dan bertambah menakutkan saat Renzi merangkul Martha dengan kuat. "Ooohhh...jadi...kamu lupa?" Tanya Brody yang sedikit membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan Martha.

Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan menggoyang-goyangkan ponselnya di depan lelaki yang berada di rangkulan Renzi. "Apa kau mau ku adukan ke Yura?" Tanyanya dengan wajah menjengkelkan khasnya.

Pemuda kecil itu terbelalak lalu menggeleng dengan kuat. "Hei!!! Aku hanya bercanda!!! Ayolah!!!" Teriaknya sambil berusaha melepas rangkulan Renzi.

"Hei, hei! Jangan digigit dong!!!" Pekik Renzi saat Martha menggigit tangannya. Ia secara reflek melepas tangannya lalu dengan cepat mencengkeram kerah baju bagian belakang Martha dengan tangan satunya.

"Aku bercanda loh..." Ucap Martha dengan mata yang membesar.

Renzi dan Brody saling menatap kemudian tertawa. "Hahahahahahahahah...kau tau taktik itu hanya berlaku untuk anak perempuan, bukan?" Tanya Brody kemudian merangkul Martha masih dengan tawanya yang kebapakan.

Martha melihat Brody lalu Renzi yang biasanya jarang tertawa sekarang sedang tertawa dengan kepala yang didaratkan di tembok dan tangan yang memegang keningnya.

"Ck, tertawa aja terus. Biar dikira stres," ketusnya kesal.

Ara yang sedari tadi melihat mereka dari atas atap salah satu rumah hanya bisa menghela nafas. "Kurang obat," sindir Ara bergumam lalu melayang pergi dari sana.

...****************...

"Apa yang kau pikirkan?" Tanya pemuda itu dengan tangan di pinggang sambil menatap Ara yang duduk di atas tv.

Dengan sinis nya gadis itu mencondongkan tubuhnya ke depan, "apa?!" Tanya Ara yang melipat tangannya di depan dada. Renzi yang mulai jengkel dengan ulah hantu itu menyingkirkan Ara dengan sapu yang ada di tangannya.

Sapu itu mendorong Ara sehingga terjatuh tv dan tersungkur dilantai. Untuk beberapa saat gadis itu terdiam lalu berdiri dengan aura yang mulai mencekam, gadis itu kemudian berdecak kesal.

"Hei!!! Kau kira aku benda disingkirkan seenaknya?!!! Pakai sapu lagi! Dasar! Gak punya sopan santun! Aku lebih tua darimu!!!" Bentaknya kesal. Ia berjalan menuju sofa kemudian duduk dengan gaya merajuk.

"Ck, hei. Kenapa kau menakuti teman-teman ku?" Tanya pemuda itu tak menghiraukan bentakan Ara.

Dia gebrak pegangan kursi dengan kuat lalu menjawab dengan ketus, "ini kan rumahku...jadi terserah aku!".

"Tapi kan aku tinggal disini..."bantah pemuda itu dengan suara yang pelan. Kemudian menghela nafas dan memegang keningnya, "dan ka..."

"Nye nye nye nye nye nye..." Ara memotong omongan Renzi sambil menjadikan tangannya menyerupai sebuah mulut. "Kau tak minta izin padaku!" Ujar Ara dengan suara lantang.

Renzi mundur beberapa langkah karena ketakutan, ia belum pernah menghadapi cewek yang sedang kesal. Ia hanya bisa menyesal karena dirinya memulai pembicaraan dengan hantu bertemperamen panas itu.

"Cewek itu sensitif ya?" Sesalnya didalam hati.

"Lain kali kalau mau undang teman, izin dulu!" Lagian teman-teman mu buat para hantu kesal saja...'hantu tidak ada' padahal sekali muncul langsung lari!" Oceh Ara. Renzi menyatukan tangannya dengan kepala tertunduk. "Walaupun ku izinin, mereka juga bakalan takut," sambung Ara lalu berdiri. "Dan...siapa suruh kamu tinggal disini?" Tanya Ara dengan nada menggertak.

Renzi menggaruk belakang kepalanya sambil melihat ke arah lain. Ia kebingungan dan tidak ingin mengatakan alasannya pindah kerumah itu.

"Baiklah... baiklah...maaf," katanya pasrah. Ara tersenyum gembira karena rencananya berhasil, ia tidak perlu dimarahi karena usil.

"Pergi sana tidur!" Bentak Renzi.

"Apa kau bilang?...kau..."

"Sorry... maafkan aku...kau boleh tidur sekarang...maaf...see you tomorrow..." Pamitnya yang berlari ke kamarnya. Ara tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan, kemudian duduk di sofa dengan kaki diletakkan di sandaran sofa dan berbaring dengan kepala hampir menyentuh lantai.

"Gadis itu benar-benar menakutkan..."gumam Renzi bergidik lalu duduk di pinggiran ranjangnya. Ia memeriksa ponselnya untuk melihat notifikasi pesan yang sebelumnya dikirim pamannya saat ia masih di warkop.

"Ada apa, paman?" Tanya Renzi di dalam pesan yang dikirimnya.

Tanpa menunggu lama pamannya segera membaca pesannya dan menghubunginya. "Halo, Ren." Ucap pamannya begitu Renzi mengangkat telponnya.

"Ada apa, paman?" Tanya Renzi.

"Renzi, tentang permintaan mu kemarin. Kalau mau bertemu dengannya, kamu harus datang sebelum hari Senin," kata pamannya memulai pembicaraan.

"Pak detektif yang menangani kasus yang kamu bilang itu akan pergi keluar kota hari Senin. Jadi, datang sebelum hari Senin ya?"

"Tenang, paman. Aku akan datang besok pagi-pagi sekali," balas Renzi dengan nada yang serius.

Pamannya sedikit tertawa mendengar perkataan Renzi, "baiklah-baiklah, sampai jumpa besok". Telepon langsung terputus begitu pria diseberang itu mengucapkan sampai jumpa.

Renzi kemudian berbaring di kasurnya dengan tangan dibawah kepalanya, ia tatap langit-langit kamarnya sambil memikirkan sesuatu.

Belum lama ia melamun mendadak terdengar suara gedoran pintu yang cukup keras. "Pak detektif!!! Aku mau sate!!!" Pekik Ara yang menggedor-gedor pintu kamar Renzi. Gadis itu kemudian berjalan menembus pintu itu dan duduk di samping Renzi yang sedang tiduran.

"Pak...aku mau sate! Beliin dong!" Pinta Ara. Ia menyatukan kedua telapak tangannya yang tertutupi lengan baju kepanjangannya. "Kumohon...kumohon...kumohon..." Ucapnya memelas.

Melihat Renzi yang hanya menatapnya tanpa bergerak dari ranjangnya membuat gadis itu jengkel. "Kumohon... beliin gak!!! Atau ku jadikan pak detektif jadi sate!!!" Ancam Ara sehingga membuat Renzi terduduk.

"Iya-iya...dimana? Kalau jauh beli sendiri," pemuda itu meletakkan ponselnya di atas meja belajarnya.

Senyuman lebar sedikit terlihat dari balik rambut hantu itu, Renzi yang melihatnya terdiam sejenak lalu menatap Ara dengan seksama. "Tenang, pak. Deket kok, di depan rumah. Ayok..." Gadis itu mendorongnya menuju pintu keluar.

"Jangan dorong-dorong!" Ujar pemuda itu menepis tangan Ara. Ia berjalan menuruni anak tangga yang sedikit, "berapa tusuk?" Tanyanya berbalik menghadap Ara.

Gadis itu memiringkan kepalanya 10° derajat "eeemmmmm...30 tusuk!" Jawabnya singkat sambil mencondongkan tubuhnya ke depan pemuda itu.

Renzi mengangguk dan kembali berjalan, ia lihat gerobak sate berwarna coklat muda itu dengan tulisan yang hampir pudar. "Kalau sate kambing, tidak akan kubelikan!!!" Jerit Renzi yang belum jauh dari Ara.

"Dasar hantu usil...kok aku merasa dimanfaatin ya?" Batin Renzi.

"Pak, satenya 40 tusuk dan kerupuk jangek nya 8," pesan Renzi pada pria tua yang sedang mengipas sate yang sedang dibakar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!