Pak Ibrahim tersenyum, lalu mengulurkan tangannya agar Shena duduk di kursi, "Duduklah! Bapak ingin membicarakan project bisnis yang kamu utarakan bulan lalu. Bapak harap, kamu tidak melupakan itu."
"Proyek Bisnis Join New Generations." Shena tersenyum bahagia, "Apakah itu artinya, proposal yang saya ajukan diterima?"
Shena duduk di kursi sebelah kiri, tetapi ketika sekilas lirikan matanya tak sengaja bertemu pandang dengan netra hazelnut kecoklatan. Sedetik detak jantung terasa berdesir. Netra itu milik wajah yang tak asing baginya. Nampak jelas, dia pun terkejut sama seperti dirinya.
"Oh iya, kenalkan ini Fatih. Dia akan menjadi partner dalam pengembangan proyek yang ingin kamu terapkan bagi para kaum muda. Fatih, kenalkan. Ini Shena, ketua senat sekaligus pelopor dari proyek yang akan kalian kerjakan secara bersama."
Ntah apa yang dikatakan oleh Pak Ibrahim. Shena memilih untuk diam seraya mengalihkan tatapan matanya. Gadis itu merasa udara disekitarnya semakin menipis. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain bersabar. Sesekali menjawab pertanyaan dari sang komite agar mempercepat rapat dadakan.
Setengah jam kemudian, "Saya permisi dulu, Pak. Maaf, tapi sudah ditunggu anak-anak."
"Silahkan. Jangan lupa kabari bapak perkembangan dari kerjasama kalian." Balas Pak Ibrahim, Fatih pun ikut undur diri. "Anak zaman sekarang. Sukanya selalu buru-buru."
Kampus yang luas, membuat Shena yang hafal setiap lorong dengan cepat menghilang dari pandangan Fatih yang memang sepertinya sengaja mengikutinya. Gadis itu, tidak ingin bertemu dengan pria masa lalunya. Apapun yang terjadi. Dia tidak ingin mengingat hal tidak penting dalam hidupnya.
Sementara Fatih yang kehilangan jejak Shena meninju tembok yang tidak memiliki salah apapun. Beberapa mahasiswa yang melihat itu hanya mengelus dada karena terkejut. Wajah yang asing, tetapi jas almamater yang dipakai pemuda itu sudah cukup jelas mengatakan anak dari fakultas mana.
Ceklek!
Klutak!
"Shena, ngapain ngagetin ....," tegur Naina yang langsung mengambil segelas air putih dari atas meja, lalu memberikan ke gadis yang menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan wajah ditekuk. "Minumlah!"
Shena menerima minuman itu tanpa banyak kata. Suara tegukan yang terdengar begitu keras, membuat Siti melepaskan earphones. Padahal gadis satu itu tengah mendengarkan dangdut kesukaannya. Situasi yang sepertinya panas. Tidak baik untuk bersenang-senang sendiri.
"Ini satu muka belum digosok. Lah yang baru dateng malam belum dijemur. Kalian ini, kenapa? Sini, cerita. Nanti aku nyanyiin lagu kesukaan ku, deh." ujar Siti yang seketika mendapatkan tatapan tajam dari kedua sahabatnya. Melihat keseriusan di wajah Shena dan Naina, Siti mengacungkan kedua jari membentuk peace dengan senyuman lebar.
Benar memang. Jika saat ini, Shena dan Naina dalam masalah yang tidak bisa dianggap mudah. Akan tetapi, rasanya akan semakin tertekan dengan tumpukan rasa yang tidak bisa dikeluarkan. Tiba-tiba, Shena mengulurkan tangan kanannya, Naina yang paham ikut mengulurkan tangan. Kemudian keduanya ....,
"Batu, gunting, kertas."
Siti mengerjapkan mata akan kebiasaan yang selalu mereka lakukan untuk memilih pihak pertama dalam menceritakan masalah masing-masing, hingga akhirnya Naina kalah karena mendapatkan kertas, sedangkan Shena gunting.
"Tunggu dulu. Kita harus duduk dengan benar, jangan lupa minum segelas air sebelum mulai bercerita." Siti mengingatkan seraya memberikan kaleng minuman soda yang baru saja dibukanya.
Naina terkekeh kecil, "Thanks." Gadis itu melepaskan kacamatanya, lalu menggelung rambut panjangnya menjadi satu. Penampilan yang awalnya anggun berubah menjadi preman pasar dadakan. Itu berarti, si gadis siap untuk bercerita untuk melepaskan beban hati dan pikirannya.
Shena sendiri memilih untuk memejamkan mata. Bukan tidur, tetapi gadis ini selalu ingin tenang ketika mendengarkan curhatan dari sahabatnya. Sementara Siti, duduk bersila dengan kedua tangan digunakan untuk menopang dagu.
"Kalian tahu 'kan. Jika aku selama sebulan ini bekerjasama dengan beberapa anak fakultas lain. Awalnya semua berjalan baik, bahkan sangat sempurna, tapi seminggu yang lalu mulai terjadi perselisihan. Proyek yang kami tangani jadi terbengkalai, bahkan hampir gagal. Masalahnya, aku tidak bisa mengatasi cara kelompok yang sangat buruk."
"Dua orang semaunya sendiri. Jika ada yang menegur, malah balik memberi ceramah. Jangan tatap aku seperti itu. Aku sudah usaha agar semua memiliki sikap bertanggung jawab. Apa aku kurang tegas? Sekarang berkat teguranku. Mereka justru melimpahkan semua tugas padaku."
Naina memijat pelipisnya sekali lagi, "Kepalaku hampir meledak hanya karena proyek itu menjadi berantakan. Sementara deadline hanya tinggal dua bulan lagi. Jika ini hanya tentang modal satu atau dua juta. Aku bisa mengembalikan modalnya pada pihak berwenang, tapi masalahnya ini modal diatas sepuluh juta, guy's. Aku harus apa?"
"Done?" tanya Shena membuka kelopak matanya, lalu melirik ke arah Naina.
Gadis itu mengangguk dengan pasrah seperti tidak makan selama seminggu, sedangkan Siti menghela nafas panjang. Shena tahu, saat ini Naina mengalami frustasi karena tekanan proyek, sedangkan Siti sudah emosi karena tidak terima dengan seluruh cerita yang membuat sahabatnya mengalami gangguan emosi.
"Siti, kamu mau diem atau mau melampiaskan emosimu? Aku masih sanggup bertahan untuk mendengarkan seluruh kata pedasmu." Shena menoleh ke arah Siti, tetapi sang sahabat memilih untuk diam karena masih sanggup menahan emosinya. "Ok, kurasa tekanan emosi masih diambang kewajaran."
Shena mengambil kertas kosong dan pulpen dari atas meja. Tak lupa menyingkirkan gelas yang mengganggu pemandangannya. Gadis itu menuliskan sesuatu, membuat Naina dan Siti fokus dengan apapun yang dilakukan sang sahabat.
"Bukankah seperti ini, susunan dari orang-orang di proyek mu?" tanya Shena menunjukkan beberapa kotak sesuai dengan ingatannya yang selalu memantau aktifitas dari kedua sahabatnya.
Dimana delapan orang menjadi tiga bagian. Naina yang menjadi pemimpin proyek dengan wakil seorang pemuda kacamata empat bulat. Dua mahasiswa lain menjadi team observasi dan empat anggota yang terakhir menjadi mahasiswa yang akan mengeksekusi setiap rencana yang sudah ditetapkan dan dianggap sebagai keputusan bersama.
Naina mengambil pulpen dari tangan Shena, "Awalnya, memang Bimbim yang jadi wakil, tapi si Centil merasa lebih pantas. Jadi dengan sendirinya mencabut jabatan Bimbim, jadi posisi dua orang ini berubah, sedangkan yang lain masih tetap. Hanya saja, dua anak ini menjadi toa yang memanaskan telinga."
Kini kotak sudah berubah nama dan dua lingkaran nama menjadi pusat permasalahan. Shena berpikir sejenak, "Siapa pihak yang berwenang dalam proyek ini? Bukankah kamu bilang ada surat perjanjian yang ditandatangani secara bersama-sama. Jadi, kemana surat perjanjian itu, sekarang?"
"Surat perjanjian ada di aku, dan yang berwenang pihak perusahan D'Lion. Namanya Tuan Xavier. Kenapa kamu tanya hal itu?" tanya balik Naina dengan jawabannya yang membuat Shena tersenyum tipis seraya mengerlingkan mata nakalnya.
"Kuy cabut! Kita ke rumah mu dulu." ajak Shena dengan seluruh rencana manisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Kas sie mien
semoga fatih bs diandalkan menjadi patner bekerja
2022-12-17
1
Ela Jutek
si bar bar masalah gini mah encer😏
2022-12-16
1