Tekad dari Tiara begitu menggebu-gebu dan tanpa memikirkan pekerjaannya yang masih harus tinggal di London selama seminggu lagi. Wanita itu segera berkemas dan tidak lupa memesan tiket pulang, sedangkan si pemberi pesan tersenyum penuh arti dan melaporkan pada sang bos. Jika pekerjaan sudah dilakukan sesuai perintah.
"Ay, kenapa terburu-buru? Bagaimana, jika putra kita tahu. Dia pasti akan marah, Aku tidak mau hanya karena hal ini. Justru menantu kita yang menderita.''
Anderson merengkuh pinggang istrinya seraya menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Helaian rambut yang menutupi wajah anggun Quinara, "Dan akan selalu melindungi Shena. Dia itu putra kita. Jangan ragukan itu. Lagi pula, wanita seperti Tiara patut diberi pelajaran. Jadi, boleh berikan ciuman terima kasihnya, istriku yang cantik."
''Tak mau, kita lihat apa reaksi Dan dulu. Aku tidak mau putraku meninggalkan rumah hanya karena masalah ini ... "
Cup!
'Ish, curang kamu, Ay." Quinara mendorong dada Anderson agar menjauh darinya, tapi pria itu justru mengeratkan pelukan seraya menggoda dengan meniup'i wajah wanitanya, "Ay, hentikan."
"Aku akan berhenti, tapi tidak malam ini, ayo turun. Kita sudah sampai hotel." Jawab Anderson, lalu keluar mobil terlebih dahulu setelah melepaskan tangannya, kemudian tak lupa membukakan pintu sang istri.
Keduanya berjalan menuju lobi hotel, membuat para pekerja memberikan hormat. Terlihat banyak staf yang menundukkan kepala sebagai bentuk penyambutan, bahkan pak manager sudah menunggu di depan lift khusus untuk para pemimpin dan klien penting.
Ketika pasutri itu sudah masuk ke dalam lift, barulah pak manager ikut masuk dan tak lupa menekan tombol untuk ke lantai eksklusif. Dimana satu lantai hanya diisi oleh pemilik bangunan itu, yaitu keluarga Anderson. Meski begitu, tetap saja lantai lain menjadi untuk tamu umum.
"Tuan Anderson, Tuan Muda meminta saya untuk mencarikan pekerjaan yang cocok di bagian dapur sebagai chef. Jika diizinkan, apa boleh saya jadikan kepala chef bagian pesta?" Lapor Pak Manager seraya meminta persetujuan
"Tunggu dulu, siapa yang akan bekerja menjadi chef. Dan atau orang lain?" Tanya Quinara tidak mau terburu-buru mengambil kesimpulan, jika yang melamar adalah Danish. Lihat saja nanti, sekalian saja dikirim ke tempat yang jauh.
Pak manager terlihat ragu untuk menjawabnya. Jujur saja, dari satu pihak sudah mendapatkan penekanan, sedangkan sekarang ini harus menghadapi pasutri yang terkenal dengan ketegasan, kebaikan, tapi juga bisa memberikan hukuman tanpa ada kortingan ataupun kompensasi. Keheningan dari pria berkemeja abu-abu, membuat Anderson curiga. Namun, dia tak ingin istrinya merasa khawatir.
"Satu bulan. Katakan padanya, Aku hanya bisa memberikan masa percobaan kerja. Jika mau lebih, minta temui aku secara langsung. Satu lagi, bawa semua dokumen yang harus ditandatangani hari ini bersama perusahaan Tuan William."
"Baik, Tuan. Terima kasih, silahkan. Saya akan kembali dengan segera dan membawa surat perjanjian dari pak pengacara."
Pintu lift terbuka tepat di lantai yang diinginkan. Anderson merengkuh pinggang sang istri, lalu berjalan berdampingan meninggalkan lift untuk menyusuri lorong lantai khusus. Di lantai itu hanya memiliki empat kamar. Dimana kamar paling ujung kanan menjadi kamar pasutri tertua, kamar sebelah menjadi kamar Danish, sedangkan dua kamar yang tersisa masih menjadi kamar kosong.
Mengingat saat ini, di dalam kamar tidak hanya Danish. Anderson menekan bel pintu tiga kali. Lalu, tak berselang lama, pintu dibuka dengan menampakkan wajah putra semata wayangnya. Wajah tampan yang tersenyum tipis, pria itu mempersilahkan masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Meski tangan sang mama mengusap wajah tampannya.
Ketika semua sudah masuk ke dalam, Anderson langsung menyalami William. Begitu juga dengan Quinara yang berjalan menghampiri Melati. Keempat orang itu memang sahabat sejak masa kuliah. Persahabatan yang cukup lama, tapi bukan berarti Shena dan Danish saling mengenal. Semua itu karena anak-anak memiliki rentan beda usia sekitar empat tahun kurang.
"Ada apa dengan menantuku?" Quinara duduk di tepi ranjang memandang wajah pucat Shena, "Dan, kemari kamu!"
Suara yang cukup tegas, membuat Anderson mengkode anaknya agar menghampiri mamanya. Tunggulah sebentar, kali ini ntah putra atau menantu yang akan menjadi pendengar. Cukup harus menyiapkan telinga tebal agar tidak panas.
"Ada apa, Ma? Dan, masih ngobrol sama Papa dan Daddy .... "
Lirikan mata tajam dengan bibir tersenyum melenceng ke atas. Sudah jelas, saat ini Mama Quinara tengah kesal, "Kamu berani tanya ke mama, ada apa. Really? Istrimu pingsan, dan kamu masih santai. Apa-apaan, kamu ini, Dan. Buruan panggil dokter!"
Deg!
"DANISH ANDERSON!"
Rasa tidak sabar akan sikap Danish yang terlalu santai. Sungguh menaikkan emosi seorang ibu. Keterlaluan, tapi anaknya itu harus belajar menjaga istri dengan baik. Tidak peduli berapa lama Shena tidak sadarkan diri, meski itu karena shock. Tetap saja harus segera diperiksa.
Kemarahan di mata sang mama, membuat Danish bergegas mengambil ponselnya. Lalu mendial nomor dokter pribadi mereka. Percakapan singkat, tapi wajah pria itu terlihat cemas. Apa yang terjadi, dan kenapa panggilan seperti terburu-buru di matikan?
"Ma, Aku akan keluar cari dokter lain. Dokter Mega masih terjebak di bandara." Ucap Danish menjelaskan agar keluarganya tidak khawatir.
"Aku akan telpon dokter yang merawat ku, biar dia yang periksa Shena," kata Daddy William menengahi, dan tanpa menunda-nunda mengambil ponselnya untuk menghubungi dokter yang selalu menjadi konsultan kesehatannya. Setelah berbincang beberapa saat, panggilan berakhir, "Dia akan datang lima belas menit, lagi. Kebetulan baru keluar dari rumah sakit."
Mama Quinara terlihat lebih baik setelah mendengar berita itu, tapi tatapan matanya masih sinis ke arah sang putra. Hal itu menjadikan Danish seperti patung yang tidak bisa bergerak bebas. Bukan karena takut. Hanya saja, akan lebih baik mengalah disaat situasi tidak kondusif. Sementara Anderson hanya menahan diri agar tidak ikut campur urusan ibu dan anak.
Lima belas lebih beberapa detik.
"Ka Wil, coba telpon lagi. Dimana dokternya sekarang? Awas aja kalau gak dateng," ujar Mama Quinara seraya mengulek tangan di atas kasur. Sepertinya, mama dari Danish mantan preman.
Danish saja hanya bisa melirik sekilas dengan helaan nafas panjang. Bagaimana lagi, begitu-begitu juga mama terbaik yang bisa melindungi dan mendidik anaknya dengan baik dan benar. Meski, setiap kali rasa tidak sabar menyerang. Sikap preman sang mama keluar begitu saja. Jadi jangan heran kalau dengar ceramah yang pedesnya ngalahin cabe rawit.
"Dan, apa perlu Mama yang jemput dokternya atau?" Sindir Mama Quinara, membuat Danish menepuk keningnya sendiri.
Terlalu larut dalam rasa hingga lupa harus berbuat apa. Danish memilih mencari aman dengan berjalan meninggalkan kamarnya. Ntah kemana perginya kepintaran anak itu. Belum tanya siapa nama dan bagaimana penampilan si dokter. Eh, sudah kabur keluar begitu saja. Melihat itu, William memilih mengirimkan pesan singkat agar sang menantu tidak mendapatkan masalah baru.
Triing!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
🎯™Neli SyifaE𝆯⃟🚀 ⍣⃝కꫝ🎸
mama Quinara, mertua idaman, penuh perhatian, Danish yang mendadak blank karena liat istri dadakannya yang tiba2 pingsan 😁😁
2022-12-20
2
Rindi ZieVanya ⍣⃝కꫝ 🎸
seneng nya punya mertua yang perhatian walau pun menikahnya dadakan 😁😁
2022-12-17
0
AL
owalah begitu ya ceritanya
2022-12-17
1