Meski masih siang hari, namun keadaan di rawa pemujaan tampak begitu gelap.
Wajar saja, tempat itu dipenuhi oleh banyak pohon kayu besar. Suara gemericik air sungai terdengar di setiap perjalanan menuju rawa.
Bobi terus menerus mengusap tengkuknya, dia merasa bulu kuduknya berdiri tegang. Sepi, hutan itu sangat besar dan tak pernah ada warga yang berani mendatanginya selain ki Dani, semua warga di sana tahu bahwa tempat itu sudah dijadikan rawa tempat pemujaan oleh ki Dani.
Bau amis menyeruak tertiup angin. Bobi menutup hidungnya, lelaki bertubuh gemuk itu tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
Ki Dani duduk bersimpuh di depan sebuah pohon kayu yang paling besar di hutan itu.
Konon katanya, di sanalah tempat Iblis bersemayam.
Ki Dani sujud sebanyak tiga kali ke tanah, itu dilakukan sebagai bukti kesetiaannya, dia kemudian mulai duduk dengan memberikan sesajen yang tadi dibawanya.
Sebelum memulai pemujaan, ki Dani mengiris jari tangannya hingga darah segar mengalir.
Bobi semakin takut, tubuhnya gemetar tanpa bisa dikontrol.
Dia tidak pernah datang menemani ki Dani melakukan ritual aneh itu, biasanya yang sering menemaninya adalah Raka.
Dan sekarang dia tidak tahu Raka ada di mana, terpaksa dia yang harus menemani ki Dani.
Ki Dani tampak membaca mantra-mantra aneh, terdengar seperti pemanggilan setan.
Wush...
Wush...
Angin bertiup semakin kencang, menerbangkan daun-daun kering yang tersebar di atas tanah yang lembab.
"Saya ki Dani, datang kembali menghadap. Dengan membawa sesembahan, terimalah sesembahan dari saya!" ki Dani memberikan ayam jantan berbulu hitam yang sudah disembelih, dan diletakkan di depan pohon itu.
Bruak...
Ayam yang dijadikan sebagai persembahan tiba-tiba berguling ke tanah.
Bobi yang berdiri di belakang ki Dani melotot melihat kejadian itu.
Mungkinkah sesembahannya ki Dani tidak diterima?
"Kenapa? Apa ada yang salah dengan ayam ini?" lelaki itu heran, karena tidak biasanya persembahannya ditolak.
"Kurang ajar kamu Dani, kau ingin main-main denganku? Permintaanmu begitu banyak, tapi kau hanya memberikan aku persembahan kecil itu!" terdengar suara yang tidak jelas dari mana asalnya. Suaranya menggema memenuhi hutan yang sunyi, burung-burung liar yang hinggap di ranting-ranting kayu beterbangan tak tentu arah.
"Lalu apa yang harus saya berikan?" ki Dani juga terlihat marah.
"Datang lagi besok malam, dan bawakan aku bayi yang baru lahir. Berikan itu sebagai persembahan!"
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ki?" tanya Bobi di tengah perjalanan pulang.
"Tidak perlu melakukan apapun! Apa-apaan dia. Dia pikir bisa menyuruh ku seenaknya saja, dia bahkan tidak memberikan apa yang aku minta dan sekarang malah menyuruh aku memberikannya bayi sebagai persembahan," gerutu ki Dani.
Saat di jalan, mereka berpapasan dengan kakek Joko, Aisyah, dan yang lainnya.
Ki Dani terus memperhatikan kakek dan teman-teman Aisyah. Kakek hanya menundukkan pandangannya, sama sekali tidak balas menatap ki Dani.
Sedangkan Rudi, cowok itu sangat penasaran. Dia bahkan terus melihat ke arah ki Dani, hingga Andi memukulnya dari belakang.
"Ngelihatnya biasa aja kali, Rud. Enggak usah begitu amat," tegur Andi.
"Gue cuma penasaran aja, An. Itu siapa? Kok pakaiannya kayak dukun gitu, takut ih," sahut Rudi.
Kakek yang berjalan di depan mereka langsung menjawab. "Dia adalah ki Dani, dia penganut ilmu hitam di kampung ini."
Merinding bulu kuduk Dara mendengarnya.
"Jadi dia ki Dani, Lalu lelaki di sampingnya itu siapa?" tanya Dara.
" Itu Bobi, orang suruhannya ki Dani."
****
"Mbak, apa benar ki Dani tak bisa dikalahkan?" Aisyah mulai bertanya.
"Siapa bilang dia tidak bisa dikalahkan?" mbak Ningsih balik bertanya.
"Lalu kenapa tidak ada orang yang mengatakan keberatan dengan perbuatan ki Dani di kampung ini?"
"Dia sudah seperti ketua di kampung ini Syah, semua orang harus tunduk dan patuh terhadap peraturan yang dia buat," jelas mbak Ningsih.
Dara yang tengah memotong sayuran hanya mendengarkan saja obrolan Aisyah dan mbak Ningsih.
"Apa yang harus kita lakukan untuk membuat orang di kampung ini kembali ke jalan yang benar, ya?" Aisyah memutar keras otaknya, dia mencoba mencari jalan keluarnya.
"Kamu sedang mikirin apa, Syah?" Dara yang sedang sibuk dengan kegiatannya mulai bertanya.
Prang...
Sebuah gelas yang diletakkan di atas meja dapur, tiba-tiba jatuh dan hancur berkeping-keping. Membuat mereka bertiga tersentak kaget.
Mata Aisyah tak berkedip sama sekali. Dara juga begitu, mbak Ningsih mulai merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Apa ini pertanda buruk?"
"Bukan, ini ulah makhluk halus," jawab Aisyah dengan tenang. Mungkinkah dia bisa melihat makhluk halus itu?
Dara langsung menggeser kursinya dan duduk lebih dekat dengan mbak Ningsih.
Pandangan mbak Ningsih tertuju pada gelas yang pecah tadi.
Dia tidak meragukan omongan Aisyah, mana mungkin gelas yang diletakkan di tengah-tengah meja bisa jatuh sendiri, kalau bukan ada yang menjatuhkan.
"Kamu bisa melihat makhluk itu, Syah?" mbak Ningsih menatap Aisyah tajam.
Aisyah tidak langsung memberi jawaban, mereka masih menunggu jawaban darinya.
"Aku bisa merasakannya."
Aisyah berbohong, dia tidak mengatakan yang sebenarnya, dia tidak mau mereka ketakutan jika tahu kalau Aisyah bisa melihat makhluk halus itu.
Dia sepertinya hanya memperlihatkan dirinya kepada Aisyah saja.
Makhluk itu berbadan besar, tinggi, matanya berwarna merah, dan rambutnya yang panjang. Dia berdiri tepat di belakang Dara, dan terus menatap Aisyah, makhluk itu mencoba menakut-nakuti Aisyah. Tapi Aisyah tidak peduli, dia hanya melihatnya sekilas.
Gadis itu kembali melanjutkan pekerjaannya, dan mbak Ningsih segera membersihkan gelas yang tadi pecah.
Tanpa diberitahu pun, Dara sudah bisa memastikan kalau Aisyah sebenarnya bisa melihat makhluk itu.
Banyak misteri yang belum terpecahkan di kampung yang sekarang mereka tinggali, dan keanehan-keanehan yang terjadi membuat Aisyah semakin penasaran. Ia sudah bertekad untuk mencari tahu sendiri. Tentang patung kecil di rumah bi Sumi, yang seolah-olah menyimpan banyak misteri. Dan siapa sebenarnya ki Dani, apa benar dia tidak bisa dikalahkan? Sehebat itukah ilmu sihirnya? Semua masih menjadi tanda tanya.
\*\*\*\*
Aisyah duduk termenung di tepi ranjang. Dara yang saat itu masih mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil menatapnya heran.
"Termenung aja Syah, ada yang lagi kamu pikirkan ya?" tanya Dara.
Aisyah menggeleng pelan, dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Aisyah, kapan ya kita bisa keluar dari kampung ini? Pasti teman-teman lagi pada nyariin kita," ucap Dara.
"Aku juga ingin cepat-cepat keluar dari sini, Dar. Tapi melihat warga kampung ini yang semakin bobrok aku merasa ingin membantu mereka kembali ke jalan yang benar."
"Aku tidak yakin kita bisa melakukannya, kau tahu, semua itu tergantung pada diri mereka masing-masing. Mungkin imannya sudah lemah, hingga mereka bisa dengan begitu mudah percaya kepada selain Allah," tutur Dara.
Aisyah lagi-lagi terdiam, dia sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Aaaaa!!!"
Terdengar suara jeritan dari kamar mandi.
Aisyah dan Dara saling pandang, mereka ikutan kaget.
Itu suaranya mbak Ningsih, apa yang terjadi dengan wanita itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments