Tania menggandengan tangan mungil Arsenio keluar dari unit apartemen yang disewanya selama satu tahun ke depan. Dia ditemani mbak Surti sengaja mengajak bocah kecil itu jalan-jalan sambil menikmati waktu kebersamaan mereka. Kebetulan hari itu adalah akhir pekan sehingga Tania mempunyai waktu lebih lama bersama anak tercinta.
"Arsen, Sayang. Mama perhatikan sejak dua hari lalu wajahmu terlihat senang sekali. Kalau Mama boleh tahu, kamu kenapa bisa senang begini?" tanya Tania saat mereka berjalan menuju sebuah taman kota yang lokasinya tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya.
Arsenio mendongakan kepala sembari tersenyum. "Rahasia dong, Ma. Mama enggak boleh tahu." Terkikih geli sambil melangkahkan kakinya yang mungil di terotoar
Tania menghentikan langkah dan sedikit membungkukan badan, kemudian menggelitik pinggang sang putera hingga suara kikikan ringan meluncur di bibir Arsenio. "Masih kecil udah main rahasia-rahasiaan sama Mama. Awas ya, enggak Mama buatin telur mata sapi untuk sarapan."
Tubuh mungil Arsenio menggelinjang saat jemari tangan Tania menggelitik pinggang. "Geli, Mama! Jangan gelitik lagi! Ampun, Mama."
Hati Tania menghangat melihat senyuman mengembang di sudut bibir sang putera. Sebagai seorang ibu tentu saja dia bahagia dapat menyaksikan anak tercinta tumbuh besar tanpa kekurangan apa pun.
Saat ini Tania, Arsenio serta mbak Surti telah sampai di taman. Sebuah bola karet berada di tangan mungil si bocah tampan. Tampak anak laki-laki itu begitu asyik bermain dengan bola karet warna biru kesayangannya. Melemparkan bola itu ke rumput, berlarian memutari taman hingga keringatnya bercucuran.
"Mama?" seru Arsenio seraya berhambur ke pangkuan Tania. Mbak Surti mengampit bola karet di bagian ketiak.
"Ada apa, Sayang? Capek?" Tania merentangkan kedua tangan lebar, kemudian menyambut tubuh Arsenio.
"Iya, Ma. Aku capek banget," jawab Arsenio. "Ma, aku ingin beli susu kotak boleh?" tanya bocah itu dengan wajah memelas. Bola mata berpendar terang.
Tania mengusap puncak kepala Arsenio yang basah oleh keringat. Kendati begitu, aroma khas anak-anak tetap tercium di indera penciuman wanita itu. "Boleh dong! Masa enggak boleh sih." Lantas, dia mengeluarkan satu buah susu kotak rasa cokelat dari tote bag miliknya dan menyodorkannya ke hadapan Arsenio. "Ini untuk Arsen. Ayo, lekas diminum dulu!"
Arsenio menggeleng. "Enggak mau rasa cokelat, Ma. Aku mau rasa strawberi."
"Loh, rasa cokelat dan strawberi, 'kan, sama saja. Kedua rasa itu sama-sama enak." Tania berusaha membujuk Arsenio yang tiba-tiba saja meminta susu rasa strawberi padahal sebelum mereka ke taman, bocah itulah yang memilih sendiri, tetapi sekarang dia meminta rasa lain.
"Mama, pokoknya aku ingin rasa strawberi, enggak mau rasa cokelat." Arsenio merengek dengan bibir cemberut. Kedua tangan terlipat di depan dada.
Tania menghela napas. Kalau sudah begini akan sulit baginya membujuk Arsenio. Hanya ada satu cara agar bocah itu tidak merajuk kembali. "Ya sudah, Mama akan belikan di mini market sebentar. Kebetulan di seberang sana ada yang jual." Wanita itu bangkit dari bangku taman kemudian kembali berkata, "Arsen tunggu di sini sama Mbak Surti," kata wanita itu sebelum pergi meninggkan anaknya dengan sang pengasuh.
Mengayunkan kaki meninggalkan Arsenio yang ditemani mbak Surti, Tania berjalan menjauh ke arah mini market. Lokasi mini market itu berada di seberang, lalu lintas kendaraan cukup ramai hingga membuat wanita itu harus berhati-hati saat menyebrang. Meskipun tersedia zebra cross, tetap saja dia perlu waspada karena tak jarang ada pengendara egois yang ingin menang sendiri.
"Bagaimana, enak susunya?" tanya Tania. Bocah kecil berusia lima tahun duduk di sebelah dengan satu kotak susu rasa strawberi berada di tangan.
Menganggukan kepala sebagai jawaban. "Enak, Ma. Terima kasih." Arsenio tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan gigi putih.
Setelah puas beristirahat sambil menghabiskan dua kotak susu rasa strawberi, Arsenio kembali bermain bola tapi kali ini Tania yang menemaninya. Sementara mbak Surti duduk di bangku taman, menjaga barang bawaan mereka.
"Goal! Hore, aku menang!" Arsenio melompat-lompat. Tampak bocah itu begitu bahagia karena berhasil mengalahkan sang mama. Walaupun mempunyai kecerdasan intelektual di atas rata-rata, tetapi sikap Arsenio sama seperti anak seusianya. Terkadang suka merengek dan merajuk saat Tania tak memberikan izin kepadanya.
Tania memasang wajah memelas, pura-pura kecewa sebab tak berhasil menghalau tendangan Arsenio. "Yeah! Mama kalah lagi. Kenapa kamu pintar sekali sih."
Arsenio menepuk dada menggunakan sebelah tangan. Ada rasa bangga sebab dia unggul dari Tania. "Arsenio dilawan. Tentu saja Mama akan kalah. Aku 'kan anak hebat jadi bisa mengalahkan Mama."
Bibir Tania mengerucut ke depan nyaris mengejar hidungnya yang mancung. "Iya ... iya ... Arsen emang hebat." Lantas, mereka melanjutkan kembali permainan.
Arsenio begitu semangat saat menendang bola tersebut. Dia membayangkan seolah dirinya adalah salah satu pemain bola terkenal dari club sebak bola di tanah air.
Saat bola berada dalam kendalinya, dia menghentikan sejenak kegiatannya. Berdiam diri beberapa meter di depan gawang. Bola mata bocah itu menatap lurus ke depan, otak berpikir keras mencoba menghitung antara jaraknya berdiri dengan gawang di depan sana.
Setelah memastikan hitungannya tepat sasaran, Arsenio menarik kaki ke belakang, kemudian mendorong ke depan lalu menendang bola itu dengan sangat kencang. "Hiak!" serunya dengan suara lantang.
Bola itu melesat dengan cepat mengarah ke gawang. Semakin lama semakin mendekat namun suatu kejadian tak terduga terjadi. Dari arah kanan seorang lelaki berlari kecil mengelilingi taman tersebut. Dia tidak sadar kalau di depan sana ada anak kecil tengah menendang bola sebab orang itu mengenakan headset hingga tidak mendengar apa pun di sekitarnya.
"Aduh!" pekik lelaki itu kala bola terbuat dari karet mengenai kepalanya. Tubuh lelaki itu berhenti, kemudian menoleh ke arah bocah laki-laki yang berdiri dari jarak sekitar satu meter di depan sana.
Napas Tania tercekat saat menyaksikan sendiri bagaimana tendangan Arsenio berhasil mengenai kepala seseorang. Dan lebih terkejutnya lagi korban dari sang putera adalah Alexander Vincent Pramono, sang mantan suami.
"Tania?" alis Xander naik sebelah.
Tubuh Tania membeku seketika. Degup jantung berdetak tak beraturan. Keringat dingin mulai muncul ke permukaan. Ini bukan kali pertama mereka bertemu setelah lima tahun pasca perceraian namun tetap saja dia merasa gugup ketika tanpa sengaja berpapasan dengan lelaki yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.
Arsenio melihat pemandangan langka di depan sana bergegas berhambur mendekati Tania. Nalurinya sebagai seorang anak menggerakan tubuh mungil itu, mencoba menghindari mama tercinta dari orang-orang jahat yang pernah menyakiti Tania. "Mama jangan takut, aku akan menjagamu," kata anak laki-laki itu lirih. Berdiri di depan tubuh Tania dengan gagah berani. Kedua tangan direntangkan ke samping kanan dan kiri. Kaki terbuka lebar selebar bahu serta pandangan mata tajam menatap lurus ke depan.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Riana
keluarkan paswordmu sen🤣🤣
2023-07-21
0
Sandisalbiah
kira² apa reaksi Xander melihat Tania dekat dgn ank kecil yg pernah di temuinnya di mall...
2023-07-16
0
Wirda Lubis
tendangan jitu kena si alexander
2023-07-03
0