"Zidan, bantu aku menembak mereka!" titah Arsenio kepada teman sepermainannya. Tatapan mata fokus menatap layar monitor di depan sana.
Hari ini, Arsenio mengikuti pagelaran pertandingan game online atau biasa disebut e-sport. Banyak peserta dari seluruh penjuru Nusantara mengikuti pertandingan tersebut sebab hadiah yang ditawarkan cukup menarik minat para pecinta game online.
"Iya ... iya ... kamu ke bagian Utara, sedangkan aku ke Barat. Cepat Arsen, serang mereka sebelum kesempatan itu hilang!" Zidan berseru dari bilik di sebelah Arsenio.
Bocah tampan berusia sembilan tahun mencoba membantu Arsenio memenangkan perlombaan game secara online. Ia dan Arsenio bahu membahu saling menolong satu sama lain untuk menenangkan pertandingan. Meskipun Zidan sama sekali tidak tertarik akan hadiah itu tetapi ia berusaha keras, mengerahkan kemampuannya dalam pertandingan tersebut.
"Yeah! Hore! Kita menang! Zidan, kita menang!" Arsenio melompat kegirangan sesaat setelah mereka berhasil membabat habis semua musuh yang menghadang. Kerjasama tim serta komunikasi di antara mereka membuahkan hasil. Kini harapan memenangkan uang sebesar lima juta rupiah ada di depan sana.
Arsenio tampak begitu bahagia sebab cita-citanya untuk membantu sang mama membayar uang kontrakan sebentar lagi terwujud. Begitu pun dengan Zidan. Ia turut bahagia karena usaha dan kerja kerasnya selama seharian ini membuahkan hasil. Beruntungnya mereka masih dalam tahap skorsing sehingga pihak sekolah tak melaporkan kepada orang tua karena kedua bocah itu ketahuan bolos sekolah.
Zidan yang tampak masih belum percaya bahwa timnya memenangkan pertandingan hanya melirik sekilas ke arah Arsenio, kemudian menyenderkan punggung ke sandaran kursi. "Yeah! Akhirnya kita menang!" ucap bocah kecil itu dengan suara lirih.
***
Beberapa hari kemudian, Arsenio telah kembali ke sekolah. Namun, lagi dan lagi Haikal serta Arka dan Arsya masih sering mem-bully bocah bermata hazel itu. Anisa selaku wali kelas telah memperingatkan mereka tetapi tampaknya ucapan wanita itu tak pernah sekalipun didengar oleh Haikal dan geng-nya. Mereka terus saja menghina dan menjelek-jelekan Arsenio hingga tak jarang suasana kelas kembali tegang akibat perkelahian yang tidak bisa dihindarkan.
"Haikal, kamu jahat sekali! Aku susah payah membuatnya tapi kenapa kamu malah menghancurkan gambarku?" seru Arsenio saat pelajaran menggambar berlangsung. Bocah itu tampak begitu emosi ketika gambar miliknya di corat coret Haikal hanya karena bocah tampan itu tak meminjamkan pensil warna kepada bocah berbadan tinggi.
Haikal tampak begitu emosi, lalu dia membalas perbuatan Arsenio dengan mengejeknya. Wajah bocah itu memerah dengan deru napas memburu. "Biarkan saja! Balasan itu memang pantas untuk anak pelit sepertimu. Anak yang tak jelas asal usulnya, pelit dan nakal seperti wajib diberi pelajaran."
Jemari mungil Arsenio mengepal di samping hingga memperlihatkan buku-buku tangan. Rahang bocah lelaki itu pun mengeras sempurna. "Sudah kukatakan, aku punya Papa tapi kenapa kamu selalu menghinaku!" bentaknya dengan berapi-api.
Haikal menyeringai seperti seorang penjahat saat bertemu dengan targetnya. "Kalau memang kamu punya Papa, coba kenalkan kepada kami sekarang juga. Jangan cuma ngomong doang!"
Amarah dalam diri Arsenio sudah mencapai ubun-ubun. Dengan gerakan cepat dia berlari menghampiri Haikal, lalu mendorong tubuh bocah itu hingga tersungkur ke lantai. Suasana tenang berubah ricuh tatkala suara menggelegar terdengar ke penjuru ruangan.
Saat itu Anisa sedang pergi sebentar ke toilet sehingga tidak tahu kalau suasana di ruang kelas Kelinci berubah menjadi begitu menegangkan.
"Dasar Anak Haram!" jerit Haikal histeris. Suara bocah itu bagaikan gemuruh petir di siang hari, membuat jendela ruangan bergetar dan hiasan dinding nyaris terjatuh.
Haikal bangkit tanpa memedulikan bokongnya yang terasa nyeri akibat terbentur lantai sekolah. "Rasakan ini!" Kepalan tangan bocah itu ditarik ke belakang, kemudian dengan sekuat tenaga ia lesakkan ke wajah Arsenio. Akan tetapi, perkelahian itu harus terhenti tatkala jemari tangan lembut mencekal pergelangan Haikal.
"Haikal! Kenapa kamu tidak pernah bosan membuat onar di kelas ini? Ibu sampai pusing melihat sikapmu ini!" keluh Anisa sambil mencengkeram erat pergelangan tangan Haikal.
Bocah berbadan tinggi mendongakan kepala. Tampak raut wajah ketakutan terlukis di sorot matanya. "Ehm ... a-anu, Bu."
"Ibu tidak mau dengar lagi. Pokoknya kamu harus kembali ke tempatmu sekarang juga!" titah Anisa. Lalu wanita itu menoleh ke arah Arsenio. "Kamu juga, Arsen. Duduk manis di kursimu dan lanjutkan kembali pekerjaanmu."
Jam pulang sekolah berbunyi. Arsenio dan Ayra jalan berdampingan menuju parkiran sekolah. Di sana sudah ada orang tua Ayra menunggu kedatangan mereka.
"Arsen, naiklah! Biar Budhe antarkan kamu pulang." Ibunda Ayra meminta sahabat sang anak naik ke dalam mobil. Wanita berwajah oriental selalu bersikap baik dan ramah kepada Arsenio meski secara status sosial sangat jauh berbeda.
Bocah lelaki menganggukan kepala. "Baik, Budhe." Tanpa membantah dia segera masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Ayra.
Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit, akhirnya kendaraan roda empat milik orang tua Ayra telah berhenti di depan gang masuk rumah Arsenio. Jalanan gang itu sempit sehingga mobil tak bisa masuk ke dalam.
"Budhe, terima kasih sudah mengantarkan Arsen," kata Arsenio sopan. "Ayra, aku pulang duluan. Dadah ... sampai jumpa besok lagi." Ia melambaikan tangan sebelum berjalan masuk ke dalam rumah.
"Dadah, Arsen." Gadis mungil bermata sipit membalas lambaian tangan sang sahabat.
"Iya. Salam untuk Mama-mu, ya." Ibunda Ayra tersenyum lebar. Setelah itu, ia meminta sopir melajukan kendaraan meninggalkan tempat itu.
Melangkahkan kaki mungil menuju sebuah rumah tiga petak di perumahan padat penduduk. Sebuah rumah yang selama tiga tahun ia tinggali bersama sang mama dari teriknya sinar matahari dan guyuran air hujan. Sepasang mata berbinar bahagia kala melihat pintu rumah terbuka lebar.
Berlari sekencang mungkin demi bertemu dengan mama tercinta. "Mama?" seru Arsenio sembari masuk ke dalam rumah. Ia pikir di dalam sana hanya ada Tania seorang namun rupanya salah. Di depan sana ada Tania dan Lisa, ibunda Zidan.
Lisa meraih hand bag yang tergeletak di samping tubuhnya. "Kedatanganku cuma mau memberikan itu saja, Mbak. Kamu periksa lagi sudah genap atau belum." Wanita itu bangkit lalu berpamitan kepada Tania.
"Iya, Lis. Terima kasih banyak."
Ibunda Zidan mengusap pundak Tania dengan lembut. "Tanyakan baik-baik kepada anakmu. Jangan sampai kamu marah dan mencurigainya yang tidak-tidak!"
Sepasang mata indah memandang tajam pada sosok mungil di depan sana. Dengan nada dingin Tania berkata, "Duduklah, Arsen! Ada hal penting yang ingin Mama tanyakan kepadamu."
Ditatap sedemikian tajam membuat insting Arsenio mengatakan bahwa akan terjadi bencana besar menimpa dirinya. Perlahan, ia mengayunkan kaki menuju kursi lapuk yang warnanya telah usang.
Sebelum menginterogasi Arsenio, Tania lebih dulu menghela napas panjang dan dalam kemudian mengembuskan secara perlahan. Mengingat kata-kata ibunda Zidan untuk tidak keras dan menuduh yang bukan-bukan kepada sang anak.
"Arsenio, Mama mau tanya. Kamu mendapatkan uang ini dari mana?" tanya Tania to the point.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
evvylamora
anak 5 thn udh lancar banget bully temannya 🙄🙄🙄
2023-08-11
0
Riana
dari main game online ma🥺
2023-07-21
0
Sandisalbiah
kok pengen soang ke sekolah Arsen ya... terus mau sunat abis tuh si Haikal...
2023-07-16
0