Lelaki yang ditabrak Arsenio berseru, "Hati-hati, Nak!" Refleks dia memendekap tubuh bocah itu dengan sangat erat, melindunginya agar tidak terjatuh dan membentur dinding.
Merasakan tubuhnya didekap oleh seseorang, membuat Arsenio bergeming. Di dalam pelukan pria asing, dia merasakan kehangatan, kedamaian serta ketenangan dalam waktu hampir bersamaan. Perlahan, bocah kecil itu mendongakan kepala memandangi wajah lelaki itu dengan seksama.
Papa? batin Arsenio. Akan tetapi, kalimat itu tak sanggup dia ucapkan sebab dia takut jika saat ini sedang bermimpi lalu sosok di depannya sirna begitu saja.
Ketika Arsenio merasakan gemuruh hebat di dalam dada, pria yang tengah mendekap bocah itu pun merasakan hal yang sama. Jantung serasa berhenti berdetak saat sosok mungil nan tampan sedang menatapnya dengan begitu lekat.
Pria itu membeku. Mata memicing tidak berkedip. Berkali-kali menelan saliva dengan susah payah hingga jakun sang lelaki bergerak tegang. Dia terus memandangi sosok anak laki-laki dalam dekapannya.
Lelaki asing itu sampai bingung, kenapa wajah itu terasa tak begitu asing baginya. Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Di mana? Mungkinkah anak laki-laki itu merupakan salah satu anak dari kliennya? Banyak pertanyaan tiba-tiba muncul dalam benak sang CEO.
Kalau Om ini memang Papa-ku, lalu kenapa dia tak mengenaliku? Apa mungkin Om ini sebenarnya hanya orang asing yang kebetulan lewat sini?
Tubuh lemas seketika saat tersadar kemungkinan buruk terjadi. Bisa saja lelaki di depan sana memang bukan papa kandungnya.
Mengurai pelukan hingga posisi mereka saling berhadapan. Karena tinggi badan lelaki itu mencapai 180 cm, membuat Arsenio harus mendongakan kepala. "Terima kasih Om, sudah menyelamatkanku," ucapnya dengan suara menggemaskan. Bola matanya yang indah nan jernih kembali mengerjap.
Mendengar suara anak lelaki itu, kehampaan yang dirasa selama lima tahun seakan menghilang begitu saja. Seutas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Lain kali kalau jalan hati-hati. Jangan tergesa-gesa hingga membuatmu hampir terluka!"
Pria asing berwajah setengah bule mengulurkan tangan ke depan, memberanikan diri mengusap puncak kepala Arsenio, membuat bocah kecil berusia lima tahun kembali membeku. "Kamu sendirian? Di mana orang tuamu?"
"Mama ada--"
"Tuan Xander, maaf. Anda sudah ditunggu Nyonya Miranda. Beliau meminta Tuan segera menemuinya di restoran Mama Mia Italiano." Kehadiran asisten pribadi Xander menginterupsi percakapan mereka.
Lantas, Xander menoleh ke sumber suara. Menghunuskan tatapan tajam bagaikan seekor elang yang siap menerkam mangsanya. "Kamu duluan saja, nanti aku menyusul," ucap pria itu ketus.
"Tapi Tuan, Nyonya Miranda memerintahkan saya untuk membawa Anda segera sebab di sana sudah ada--"
Telapak tangan Xander terangkat ke udara, seolah memberi isyarat kepada asistennya untuk tidak berkata apa-apa. "Diam! Aku sudah mengerti maksud perkataanmu itu," sergahnya cepat.
Xander menundukan pandangan ke bawah, dia kembali tersenyum pada bocah laki-laki itu. "Om harus pergi. Segera temui orang tuamu agar mereka tidak mencemaskanmu. Kalau kamu tersesat minta security mengantarkanmu ke bagian pusat informasi. Maaf, Om tidak bisa mengantarmu menemui orang tuamu."
Setelah mengusap puncak kepala Arsenio, Xander membalikkan badan meninggalkan bocah laki-laki itu seorang diri. Sejujurnya dia masih ingin berada di dekat Arsenio namun mengingat sikap keras kepala dan watak sang mama membuat pria bermata hazel terpaksa meninggalkan si bocah genius seorang diri. Akan banyak orang yang dirugikan apabila dia tidak bergegas kembali ke restoran saat ini juga.
Arsenio menatap kepergian Xander dengan begitu berat. Saat pria itu melangkah, dia merasa hatinya kembali kosong seolah ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. "Nama Om itu, Xander? Ehm ... baiklah, aku akan mencari tahu semua informasi tentang Om itu," gumam bocah itu lirih.
***
Malam hari pun tiba, Tania dan anak semata wayangnya telah kembali ke apartemen. Pertemuan tak terduga dengan Xander yang dialami oleh Arsenio memberikan kesan tersendiri bagi bocah kecil itu. Bayangan wajah, hangatnya sentuhan serta belaian lembut pria itu membuat Arsenio terus terbayang-bayang akan sosok Xander--lelaki berparas rupawan yang tak lain adalah papa kandungnya sendiri.
"Sayang, Mama perhatikan sejak pulang dari mall kok kamu diam saja. Apa kamu sakit, Nak?" tanya Tania seraya meletakkan piring isi ayam crispy ke atas meja. Wanita itu meletakkan lutut di lantai, kemudian mengulurkan tangan ke depan menyentuh kening Arsenio menggunakan punggung tangan untuk memastikan suhu tubuh sang putera.
"Sudahlah, Ma, hentikan! Aku tidak sedang sakit," ujar Arsenio. Jari tangan mungil itu menyingkirkan jemari tangan nan lentik milik sang mama dari keningnya. Mata hazel bocah itu menatap lekat wajah Tania yang terlihat begitu mengkhawatirkannya.
"Kalau kamu baik-baik saja, lalu kenapa sejak tadi diam. Biasanya terus berceloteh, menanyakan banyak hal hingga membuat Mama kewalahan karena tak bisa menjawab pertanyaanmu," tutur Tania.
Masih dalam posisi berhadapan, Tania kembali berkata, "Katakan pada Mama, apa yang membuatmu diam? Apa ... teman-teman sekelasmu mem-bully kamu seperti waktu di sekolahan dulu?"
Arsenio menggelengkan kepala cepat. "No, Mama! Teman-teman sekelas orangnya pada baik, mereka enggak mem-bully-ku. Malah mereka selalu mengajakku bermain bersama ketika aku malas bermain."
Tania bangkit dari posisinya saat ini. Dia menarik kursi makan di sebelah Arsenio hingga terdengar bunyi derit menggema di penjuru ruangan. "Kalau emang mereka tidak mem-bully-mu, lalu kenapa kamu diam padahal sebelum kita pergi mall, kamu terus berceloteh."
Arsenio tidak segera menjawab pertanyaan Tania, bocah itu malah menatap lekat pada wanita dewasa di sebelahnya. "Mama ... sebenarnya Papanya aku siapa? Kenapa sampai hari ini aku enggak pernah lihat foto Papa."
Seketika tubuh Tania membeku saat mendengar perkataan Arsenio. Sebelum ini, Arsenio memang beberapa kali menanyakan keberadaan sang papa. Biasanya karena terpancing oleh teman sebaya yang mem-bully dan mengatakan bahwa si bocah genius itu anak haram. Dia sendiri pernah mengatakan bahwa papa Arsenio masih hidup tapi saat ini sedang bekerja jauh.
"Sini, Mama pangku. Nanti Mama ceritain tentang Papa." Ulasan senyum teramat manis dia berikan untuk Arsenio, menyembunyikan getir lidahnya.
Arsenio menurut. Tubuh bocah laki-laki merosot ke lantai, kemudian berderap mendekati kursi Tania. Dia duduk di pangkuan Tsamara dengan menyandarkan punggungnya.
Tangan Tania mengusap rambut harum khas shampo anak-anak. "Papa Arsen adalah Papa yang hebat, baik dan sangat sayang sama kamu dan Mama." Wanita itu menggigit bibirnya yang gemetar, menahan isak tangis dan air mata yang siap meluncur di sudut mata.
"Apa Papa setampan aku, Ma?" Arsenio membalas dengan suara lirih.
"Tentu saja. Wajah Papa-mu sangat tampan dan mempunyai bola mata yang sangat indah seperti kamu, Nak. Mata hazel yang indah dan jernih."
Karena bola mata itulah, Tania jatuh cinta meski dia tahu banyak rintangan yang membentang di depan sana. Namun, dengan kekuatan cinta segala rintangan itu berhasil dilalui. Akan tetapi, tetap saja gelombang badai terus menghadang hingga membuat kapal yang dinahkodai Xander karam dan kapal tersebut porakporanda sebelum menuju pelabuhan bernama keabadian.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Riana
mamanya xander yg misahkan sepertinya krn gak setuju dapat mantu gak selevel
2023-07-21
0
Joey Joey
Bapak and anak itu bertemu
2022-12-26
3
Alya Yuni
Katanya blh retas CCTV npa gk tau mlhan tnya mamanya brari si Arsenio msih bodoh
sllu baca novel anak Genius it sllu tau e in mlhan gk tau ap ap
2022-12-22
5