Lagi dan lagi, Tania dipanggil ke sekolah untuk menghadap Aminah. Melangkah menuju ruangan kepala sekolah tanpa ditemani oleh siapa pun. Melewati sebuah lorong panjang dengan pintu di ujungnya. Di depan ruangan itu terdapat sebuah bangku kayu yang diduduki oleh seorang anak kecil.
Saat Tania sampai di depan Arsenio, wanita itu bersimpuh dan berkata, "Kali ini apa yang kamu lakukan terhadap teman sekelasmu, Nak, sampai Bu Aminah kembali memanggil Mama ke sekolah."
"Maafkan aku, Mama. Maafkan aku karena telah merepotkanmu lagi," ucap Arsenio masih menunduk. Jemari mungil itu saling meremas satu sama lain.
Menghela napas panjang seraya memejamkan mata sejenak. "Sudahlah. Nanti kita bahas lagi di rumah. Mama mau masuk dulu ke dalam. Kamu tunggulah sebentar di sini. Ingat, jangan ke mana-mana!" Arsenio menganggukan kepala sebagai jawaban.
"Selamat siang, Bu Aminah," sapa Tania ramah.
"Oh ... Bu Tania sudah datang rupanya. Mari, silakan duduk!" Aminah mempersilakan orang tua Arsenio duduk di seberangnya.
"Seperti sudah dijelaskan di telepon sebelumnya bahwa Arsenio menyembunyikan alat tulis, kotak makan bahkan sepatu milik teman sekelasnya secara bergantian. Kejadian itu berlangsung selama dua minggu berturut-turut tanpa diketahui oleh siapa pun. Padahal setiap sudut ruang kelas bahkan di depan toilet murid disediakan CCTV tetapi sayangnya alat perekam itu tak bisa merekam jejak anak Ibu saat sedang beraksi." Bu Aminah mulai menceritakan kronologi kejadian di depan Tania.
"Rupanya Arsenio melakukan sesuatu terhadap alat perekam tersebut. Putera Bu Tania ... meng-hack CCTV di kelas kelinci demi memuluskan aksinya untuk membalas kenakalan Haikal dan temannya yang lain."
Sepasang bola mata melebar dengan sempurna. "Tidak mungkin! Arsenio tidak mungkin melakukan itu semua, Bu Aminah. Dia--" Ucapan Tania mengambang di udara saat sebuah kesadaran menghantam kepalanya.
Tania Maharani rupanya lupa jika Arsenio mempunyai kepintaran di atas rata-rata anak seusianya hingga kemungkinan melakukan peretasan dan penyadapan terhadap benda elektronik bisa saja terjadi. Bagi bocah berusia lima tahun hal itu bukanlah perkara sulit selama semua fasilitas berada dalam genggaman.
"Sejujurnya, saya pun tidak percaya dengan itu semua, Bu. Namun, melihat semua bukti yang ada membuat saya mau tidak mau harus percaya bahwa Arsenio merupakan dalang di balik kejadian yang terjadi akhir-akhir ini."
"Lalu, hukuman apa yang ingin Ibu berikan kepada anak saya? Memberikan skorsing sama seperti beberapa hari lalu?" tanya Tania ragu-ragu. Sudah pasrah dengan keputusan yang diberikan oleh wanita setengah baya di seberang sana.
"Saya akan memberikan skorsing selama tiga hari. Berharap dengan memberikan hukuman itu Arsenio sadar bahwa yang dia lakukan adalah salah," tutur Aminah. Sebenarnya ia berat sekali memberikan hukuman kepada Arsenio mengingat bocah kecil itu merupakan korban bully-ing teman sekelas hingga membuatnya terpaksa melakukan semua itu. Namun, peraturan tetaplah peraturan. Apabila ada murid yang bersalah maka wajib dihukum. Lagipula, tiga hari bukanlah waktu yang lama bagi Arsenio untuk beristirahat di rumah seraya merenungi kesalahannya.
***
Usai bertemu dengan bu Aminah, Tania membawa Arsenio pulang ke rumah. Mulai besok pagi hingga tiga hari ke depan anak kesayangannya itu akan belajar di rumah sambil mengerjakan beberapa soal yang diberikan Anisa sebagai tugas selama tidak pergi ke sekolah.
Meletakkan tas ransel gambar Thomas, salah satu tokoh kartun kesayangan Arsenio di atas meja belajar lalu ia berjalan ke ranjang dan berjongkok di hadapan sang anak. "Katakan kepada Mama, apa yang membuatmu sampai tega mengambil sesuatu yang bukan merupakan hakmu. Bukankah Mama pernah bilang kalau mencuri ataupun mengambil milik orang lain adalah dosa, lalu kenapa kamu malah melakukan itu semua?"
"Maafkan aku, Ma. Aku tidak bermaksud mencuri barang yang bukan punyaku. Aku melakukan itu hanya karena kesal sebab Haikal dan teman yang lain selalu menghinaku. Mereka mengatakan kalau aku anak haram, lahir ke dunia ini tanpa punya Papa."
Arsenio mendongakan kepala secara perlahan, kemudian memberanikan diri menatap lekat iris coklat milik sang mama. "Ma, memangnya Papa ke mana sih kok sejak dulu sampai sekarang Papa tidak pernah pulang. Apa Papa memang sengaja tidak pulang karena malu punya anak nakal sepertiku?" tanyanya dengan polos.
Detik itu juga, perasaan Tania bagai disayat-sayat. Entah kenapa setiap kali Arsenio menanyakan keberadaan Xander, membuatnya merasa sesak. Teringat bagaimana ia dan lelaki keturunan setengah Amerika berpisah saat dirinya tengah berbadan dua.
"Tidak, Nak. Kamu bukan anak nakal. Kamu adalah anak baik dan juga pintar. Tapi ... Mama tidak bisa memberitahu keberadaan Papa sekarang. Mama pasti menceritakan semuanya kepadamu tapi tunggu sampai waktunya tepat ya, Sayang. Jika waktu itu tiba Mama akan cerita semua kepadamu," ucap Tania dengan mata berkaca-kaca.
Semburat kebahagiaan terlukis di wajah tampan Arsenio. Kedua sudut bibir tertarik ke atas. Bola mata berbinar bahagia saat mendengar perkataan Tania. "Sungguh? Mama tidak bohong, 'kan?" tanyanya antusias.
Tania menganggukan kepala. "Mama tidak mungkin bohong kepadamu, Sayang. Kelak, Mama akan memberitahumu siapa Papamu yang sebenarnya."
Tubuh mungil itu merosot ke bawah. Melompat tinggi seraya kedua tangan terangkat ke udara. "Hore! Asyik ... Arsenio akan tahu di mana Papa berada. Hore!" pekik bocah itu. "Arsenio punya Papa!"
Meskipun kepintaran Arsenio berada di atas rata-rata anak seusianya tetapi sikap bocah lelaki itu sama seperti yang lain.
Semoga saat kamu bertemu dengan Papamu, kamu tidak akan kecewa, Nak.
Keesokan harinya, di sebuah rumah kontrakan sederhana tampak seorang bocah kecil tengah duduk manis di depan televisi. Sesekali ia melompat dan bernyanyi mengikuti soundtrack dari kartun kesukaannya.
"Buka pintunya!" Terdengar suara ketukan keras hingga membuat Tania yang sedang menyiapkan makanan di dapur terlonjak kaget. Samar-samar mendengar suara seorang wanita yang sedang mengomel dari balik pintu.
"Tania, buka pintunya!"
Mendengar teriakan itu, Tania pun bergegas mematikan kompor dan melangkah setengah berlari menuju daun pintu. Dari suaranya saja dia sudah dapat menebak siapakah gerangan wanita yang berteriak pagi-pagi begini.
"Arsen, kembali ke kamarmu sekarang!" titah Tania sedikit meninggikan nada suaranya. Ia yakin akan terjadi perang ketiga antara dirinya dengan bu Kokom, pemilik kontrakan.
Alih-alih menuruti perintah sang mama, Arsenio malah berkata, "Jangan dibuka pintunya, Ma! Bu Kokom pasti marah-marah lagi sama seperti kemarin."
"Tidak apa-apa, Sayang. Mama bisa menghadapi Bu Kokom," kata Tania kepada anak tercinta. "Lebih baik kamu sembunyi di kamar dan jangan pernah membukanya sebelum Mama perintah!"
Tania membuka pintu. Tampak seorang wanita bertubuh ndut dengan rambut yang di roll di mana-mana berdiri angkuh seraya menghunuskan tatapan tajam ke arahnya.
"Hei kamu, Wanita S*nd*l, cepat bayar kontrakanmu!" ujar Bu Kokom tanpa basa basi.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Marianti Purba
sikokom,, mulutnya ngak ada filternya
2023-08-05
0
Riana
astaga🥺🥺
lingkungan rumah yg aduhai😟
2023-07-21
0
Issey Miyake
perempuan bodoh dan tolol .ok good bye
2023-05-07
2