Anak Genius : Antara Benci Dan Rindu
Suasana persidangan perceraian diwarnai oleh ketegangan dan keheningan yang terasa di ruang sidang. Ruangan dengan dinding-dinding yang dingin dan formal menciptakan panggung untuk pertempuran hukum yang penuh emosi. Pengacara masing-masing pihak duduk di meja mereka, bersiap untuk mempertahankan argumennya.
Di tengah ruang sidang, terdapat pengadil yang duduk di atas kursi tinggi, menatap serius ke arah para pihak yang berselisih. Matahari yang menyinari melalui jendela memberikan sentuhan cahaya ke ruangan, tetapi suasana tetap terasa tegang.
Pihak-pihak yang terlibat, baik itu pasangan yang bercerai maupun pengacara mereka, mungkin terlihat tegang dan penuh kekhawatiran. Ekspresi wajah mereka mencerminkan beban emosional yang membebani, seolah-olah ruangan itu sendiri memperbesar setiap detail dari konflik yang sedang terjadi.
“Sudah siap, Bu?” tanya pengacara Tania padanya.
Wanita itu terdiam sesaat, matanya memandang ke arah meja lalu memalingkan wajah ke sebelahnya. Tanpa sengaja bertemu pandang dengan seorang laki-laki yang menatap tajam dan jijik seakan dirinya adalah kotoran yang tak layak untuk dipandang.
“Sudah, Pak. Pak Herman, apakah ini nyata? Saya masih tidak menyangka pernikahan saya yang baru seumur jagung akan berakhir kandas seperti ini,” gumam Tania.
“Ini nyata, Bu. Hari ini Bu Tania hanya mengatakan apa yang terjadi sebenarnya lalu biarkan hakim memutuskan.”
“Apakah hakim akan percaya sementara suami yang saya percaya saja tidak mempercayainya?"
“Hidup memang seperti itu, siapa pun itu tidak ada yang bisa dipercaya selain diri sendiri.”
“Benar, tetapi saat ini sulit untuk saya menerimanya,” ucap Tania dengan mata melirik ke arah suaminya yang memalingkan wajah.
“Apa pun yang terjadi ke depannya, Bu Tania harus kuat. Saya akan mendampingi ibu selama persidangan nanti."
Tania duduk di kursi persidangan dengan mata yang memancarkan kekecewaan dan hati yang hancur. Suaranya yang terhenti sejenak mencerminkan shock yang melingkupinya ketika hakim memutuskan perceraian dengan Xander. Raut wajahnya yang sebelumnya penuh harap-harap cemas, kini berubah menjadi bayangan kekecewaan yang mendalam.
“Saya sudah tidak tahan hidup bersama wanita yang tukang selingkuh. Dia ... bermesraan dengan lelaki lain di saat suaminya sendiri sedang bekerja. Bukankah perempuan yang tidak bisa menjaga kehormatannya pantas untuk digugat cerai? Untuk itulah saya datang ke sini, menggugat cerai wanita murahan itu!" ujar Xander sinis, tanpa mengkhawatirkan harga diri Tania yang terluka oleh kata-katanya.
“Baik, saya terima pernyataan Pak Xander barusan,” ucap Hakim.
Pengumuman hakim menciptakan keheningan yang memenuhi ruangan, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Tania merasa seolah-olah tanah di bawah kakinya runtuh, dan dunia yang selama ini dia kenal terlihat runtuh bersama putusan tersebut. Mungkin ada kilas air mata yang terlihat di sudut mata Tania, namun dia berusaha menahan emosinya di hadapan semua orang. Hati yang hancur terasa seperti menggantung dalam kekosongan, menciptakan rasa kehilangan yang begitu mendalam.
“Semudah itukah hubungan yang aku bangun hancur dalam sehari dan ketukan palu saja. Setelah ini aku akan menghadapi dunia sendiri tanpa siapapun dan bantuan orang lain,” tekad Tania yang sudah lelah dengan drama dalam hidupnya.
“Pak, sebentar,” ucap Tania saat mereka mulai keluar dari ruang persidangan. Kebetulan ada Xander berbicara dengan pengacaranya saat ini.
“Terima kasih atas tuduhan dan tatapan menjijikkan kamu itu,” ucap Tania lalu memberikannya kepada Xander.
“Jangan bersikap seolah kamu adalah korban, Tania. Wanita seperti kamu gampang dalam berpura-pura. Kamu pikir aku akan mudah terbuai dengan kata-katamu. Sekalinya murahan akan tetap seperti itu.” Cincin yang tadi dipegang oleh Xander kini dilempar ke sembarang arah seakan tidak berguna baginya.
Tania berusaha untuk sabar dengan hinaan serta cacian yang ditujukan padanya. Kepalanya terasa seakan ada aliran listrik yang menyengat hingga dirinya sulit untuk berdiri tegak. Namun, kepala Tania dengan berani menatap mata Xander.
“Hinaan kamu itu tidak membuat aku merasa bersalah ataupun menjadikanku yang bersalah. Saat ini kamu masih bisa menghina dan mencaciku tapi suatu saat nanti jangan sampai hinaan itu berubah dengan bujukan untukku.” Tidak mau berlama-lama akhirnya Tania pergi dari ruang sidang ini.
“Aku tidak akan berpaling lagi padamu, j@l4n9!" seru Xander dengan rahang mengeras.
Langkah kaki Tania memelan, langkah pengacara Tania pun ikut pelan. Spontan tangannya memegang kepala dengan mata memicing. Apa yang dirasa Tania saat ini terasa berputar dan sulit untuk fokus pada satu titik.
“Ada apa, Bu?” ucap pengacara panik.
“Tidak apa,” ucap Tania berusaha untuk bersikap biasa saja.
“Apakah Bu Tania yakin? Kondisi ibu saat ini tidak memungkinkan. Dalam hukum agama Ibu tidak diperbolehkan untuk melakukan perceraian.”
“Apakah saat saya tidak yakin kondisinya akan berubah? Kata talak sudah jatuh lantas apa yang harus saya pertahankan lagi? Pertahanan orang yang tidak menghargai saya sama saja dengan masuk ke lubang yang dalam.”
“Saya berharap, Pak Xander akan sadar lalu menyesali perbuatannya."
Helaan napas berat terdengar lalu suara lembut kembali meluncur di bibir Tania. “Entahlah. Namun, satu hal yang pasti, saya akan buktikan tanpa ada dirinya saya bisa bertahan. Anak saya nantinya tidak akan mengenalnya sebagai seorang ayah!” tegasnya. Meskipun dada terasa sesak, tapi dia harus terlihat tegar di depan semua orang.
“Bu Tania keren, bisa berpikir positif dan semangat dalam menjalani hidup padahal apa yang Bu Tania alami saat ini sangatlah sulit.” Pengacara itu memuji Tania tulus sebab kebanyakan kliennya akan menangis tersedu saat sidang perceraian akan digelar, tapi tidak berlaku buat Tania Maharani. Kliennya itu justru terlihat tegar meski detik-detik pernikahannya berakhir di meja hijau.
Tania tertawa kecil. “Mau bagaimana lagi, toh semuanya sudah terjadi. Tidak ada gunanya saya larut dalam kesedihan sementara hidup harus terus berjalan."
Setelah itu, pengacara membawa Tania pergi dari pengadilan agama. Pak pengacara merasa khawatir dengan keadaan Tania yang saat ini dalam kondisi tengah berbadan dua. Pengacara Tania benar-benar menjaga perempuan itu.
“Pak, pulang saja dulu. Saya mau jalan kaki saja. Saya mau menikmati rasa sakit saya dulu,” ucap Tania.
“Bu Tania yakin? Bukankah tadi mau pingsan?”
“Saya tidak akan pingsan, saya kuat.”
“Baiklah, kalau terjadi sesuatu jangan lupa hubungi saya.”
Tania melangkah di atas trotoar dengan langkah yang terasa berat, seperti beban dunia diletakkan di pundaknya. Mata yang sebelumnya penuh harap-harap cemas kini menatap ke sembarang arah, menciptakan kesan bahwa pandangannya tenggelam dalam pikiran yang jauh. Di wajahnya terukir ekspresi hampa, dan raut kesedihan yang sulit disembunyikan.
Rasa sesak di dada Tania begitu mendalam, seolah-olah ada batu besar yang menghimpit hatinya. Udara di sekitarnya terasa berat, mencerminkan beratnya beban emosional yang dia rasakan. Meskipun jalanan ramai di sekitarnya, Tania merasa terisolasi dalam kesendirian yang mendalam.
Setiap langkah yang diambilnya menghasilkan suara yang hampir tak terdengar, menciptakan kesan bahwa keheningan mendampinginya. Mungkin kenangan-kenangan pahit dari perpisahannya merayap di setiap sudut pikirannya, menyulut rasa sakit yang sulit dijelaskan.
“Setelah anak ini lahir, aku akan berjuang sendiri. Aku tidak akan membutuhkan bantuan mantan suamiku itu. Apa pun yang terjadi ke depannya, aku harus menjalaninya sendirian tanpa bantuan orang lain,” gumam Tania dengan tangan memegang perutnya.
“Xander, keputusan masa kini akan membuatku menjadi lebih dewasa lagi nanti.” Tania mengusap kasar wajahnya sambil membuang napas panjang.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
TRIDIAH SETIOWATI
aku mampir thor...kayaknya ceritanya bagus
2023-08-01
1
Yuli Yanti
mamfir thor mudah2an cerita nya bgs
2023-07-24
0
Bu Kus
MMM...bagus ceritanya
2023-07-23
0