Menaiki motor matic milik sang mama, Arsenio tampak bahagia. Wajah sumringah disertai celotehan yang terus diucapkan sepanjang jalan menuju sekolahan. Meskipun hidup sederhana tanpa fasilitas mewah seperti teman-teman sekolahnya yang lain, tak serta merta membuat bocah berusia lima tahun merasa minder atau rendah hati sebab sedari kecil ia sudah dilatih untuk hidup prihatin tanpa pernah menengadahkan kepala ke atas.
"Ingat, Arsen, Mama tidak mau kejadian tiga hari lalu terulang lagi. Cukup sekali kamu melakukan kesalahan dan jangan pernah mengulanginya lagi, mengerti?" pesan Tania kepada anak tercinta. Akibat perkelahian yang terjadi beberapa waktu lalu, Arsenio mendapat hukuman dari kepala sekolah. Bocah tampan nan menggemaskan tidak diperbolehkan pergi ke sekolah selama tiga hari, sedangkan Haikal mendapat skorsing tujuh hari lamanya karena terbukti bersalah.
Arsenio menyahut dengan suara cukup keras sebab saat ini mereka tengah berada di atas sepeda motor yang sedang melaju dengan kecepatan 60 KM/jam. "Iya. Mama tenang saja, aku tidak akan mengulanginya 'tuk kedua kali."
Tania tersenyum lebar saat mendengar jawaban dari sang putera. "Bagus Belajarlah dengan tekun agar kelak hidupmu lebih beruntung dari Mama, Nak."
Semua orang tua di belahan dunia manapun pasti menginginkan buah cinta mereka mendapatkan kehidupan yang layak tanpa kekurangan sedikit pun. Begitu pun dengan Tania Maharani, seorang wanita muda yang harus berjuang seorang diri membesarkan akan kesayangan tanpa bantuan siapa pun. Susah payah membanting tulang demi memberikan masa depan cerah untuk anak tercinta. Ia ingin kelak di kemudian hari Arsenio tumbuh menjadi anak pintar dan membanggakan orang tua.
Ketika kendaraan roda dua berhenti di depan sekolah, seluruh mata tertuju memandang dengan tatapan yang sulit diartikan. Sebagian orang tua wali murid berbisik saat melihat Tania membantu Arsenio turun dari motor.
"Ooh ... jadi itu ibu dari si anak nakal yang sempat menghajar anaknya Jeng Sandra, toh. Ck! Tampangnya memang cantik sih tapi sayang ... murahan."
"Benar. Kalau tidak murahan mana mungkin hamil di luar nikah," sahut yang lain.
Mereka terus saja berbisik tanpa mempedulikan apakah Tania dan Arsenio mendengarnya atau tidak.
Menggandeng tangan Arsenio menuju pintu masuk sekolah. Menaiki lima anak tangga, menghampiri seorang guru wanita mengenakan jilbab warna merah muda. "Bu Anisa, saya titip Arsenio. Kalau terjadi masalah seperti tiga hari lalu, jangan sungkan untuk memberitahu saya," pinta Tania bersungguh-sungguh. Ia selalu menyapa wali kelas Arsenio setiap kali mengantarkan anak kesayangan sebelum berangkat bekerja.
"Baik, Bu Tania." Anisa tersenyum ramah meski tiga hari lalu sempat kesal karena tingkah laku Arsenio yang dinilai terlalu barbar hingga menyebabkan teman sekelasnya dirawat di klinik sekolah.
Membungkukan setengah badan, kemudian membenarkan rambut Arsenio yang sedikit berantakan karena mengenakan helm saat berkendara. "Arsen, segera masuk dan duduklah dengan manis. Patuhi gurumu dan jangan berbuat onar!" Tidak henti-hentinya Tania memperingatkan sang anak untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Mengecup puncak kepala Arsenio dan pipi anaknya dengan penuh cinta. "Jadilah orang sukses yang membanggakan Mama, Nak." Kelopak mata mulai berkaca-kaca. Bibir gemetar hebat saat mengucapkan kalimat terakhir.
"Aku pasti akan membanggakan Mama. Percayalah kepadaku, Ma," balas Arsenio memeluk dan mencium pipi Tania kemudian masuk ke dalam ruang kelas. Ia langsung duduk di kursi, di antara teman-teman lain.
***
Setelah dua minggu berlalu, dari kejadian yang menggemparkan pihak sekolah, akhirnya Haikal kembali belajar di sekolah tempat Arsenio juga bersekolah. Mendapat tiga jahitan di sudut bibir dan luka lebam akibat kena pukulan Arsenio, kini kondisi tubuh bocah berbadan besar berangsur-angsur membaik. Kendati mendapat pukulan keras tetapi tidak membuat bocah itu jera, ia malah semakin dendam akan sosok bocah kecil berwajah setengah bule.
"Hei, Anak haram! Ini tempat kami. Pindah sana, jangan ganggu kami!" bentak Haikal congkak. Berkacak pinggang seolah dia adalah penguasa di sekolah itu.
"Tapi kursi dan meja ini biasa kami gunakan saat belajar di sekolah. Bangkumu dan si kembar ada di sana. Jadi, kalianlah yang seharusnya pindah." Ayra berkata sembari menunjuk tiga meja kosong di dekat pintu masuk kelas.
"Dasar cerewet! Berisik kamu!" sembur Haikal.
"Kamu?" Ayra sudah tampak kesal karena lagi dan lagi Haikal sok berkuasa di kelas itu.
Arsenio berkata lirih, "Sudah, tidak apa-apa. Kita masih bisa duduk di kursi itu. Ayo, duduk sekarang sebelum Bu Anisa datang."
Ayra mencibir dan memutar mata dengan malas. "Sok jagoan! Dihajar Arsen malah nangis," sindir bocah kecil bermata sipit. Suara itu terdengar lirih namun tetap saja bisa didengar oleh Haikal.
"Berengsek!" umpat Haikal kesal.
Berdiri tegap, gagah berani, Haikal berseru dengan nada suara tinggi. "Dasar anak haram, tidak punya ayah! Kamu sogok berapa sahabat sipitmu itu untuk ikut membenciku!"
Arsenio menoleh dan memandang tajam kepada Haikal. Tatapannya menandakan bahwa kemarahan.
"Arsen Anak Mami! Arsen Anak Haram! Tidak punya Papa!" ledek Haikal seraya menjulurkan lidah. Kedua tangan ia tempelkan di pelipis. Dengan sengaja memancing keributan berharap saat Arsenio marah, Anisa masuk ke dalam kelas dan memergoki bocah itu sehingga sang rival dipanggil kepala sekolah.
"Oh, kasihan sekali! Arsenio tidak punya Papa!" tawa Haikal bersama kedua temannya.
Haikal mendekati Arsenio. Menyeringai seolah sedang mengejek teman sekelasnya. "Ayo, kalau berani lawan aku! Kali ini kamu pasti kalah, Arsen!" tantang bocah itu.
Tangan mungil Arsenio mengepal di samping tubuh. Dada mulai kembang kempis dan ingin sekali menghajar mulut Haikal agar menghentikan ocehannya itu. Namun, ia kembali teringat akan nasihat sang mama untuk tidak berkelahi di sekolah.
"Menyingkirlah Haikal! Aku sedang tidak ingin berkelahi denganmu." Arsenio menggenggam jemari tangan Ayra menuju satu meja lengkap dengan kursinya.
"Dasar pengecut! Penakut!" Haikal terus menghina Arsenio dengan kata-kata kasar hingga membuat semua teman sekelas memandang cengo ke arahnya.
"Dasar anak ha--"
Belum selesai Haikal berbicara, suara seseorang menginterupsi perkataan bocah itu.
"Haikal Ramadhan!" seru Anisa dengan lantang dan tegas hingga membuat sang empunya nama terkejut nyaris membuat bola matanya copot dari tempatnya.
Melangkah maju dan menasihati. "Jangan membuat ulah di sekolah jika tidak mau diskorsing lagi seperti kemari! Duduklah dengan manis dan jangan mengganggu Arsenio maupun Ayra."
Mendengkus kesal sembari menghentakkan kaki di atas lantai. "Awas kamu, Arsen!"
Jam istirahat pun berbunyi, seluruh murid sekolah berhambur keluar kelas. Ada yang pergi ke kantin, membeli makanan maupun minuman untuk mengganjal perut dan ada juga yang pergi ke taman, menyantap bekal dari orang tua mereka.
"Arsen, kita ke taman yuk! Aku bawa kue banyak buatan Mama." Gadis cantik berwajah oriental berdiri di samping meja sang sahabat.
Arsenio yang sedang memasukan alat tulis melirik sekilas, kemudian menyibukkan dirinya lagi. "Kamu pergi saja dengan teman-teman yang lain. Aku masih ada urusan penting yang ingin dikerjakan."
"Urusan apa?" tanya Ayra penasaran.
Menatap tajam kepada sang sahabat. "Kamu tidak perlu tahu. Sudah sana, pergi bersama Lulu dan Lili saja!"
"Tapi ...."
Arsenio bangkit kemudian mendorong pelan tubuh mungil Ayra. "Pergilah, Ayra. Ini rahasia dan kamu tidak boleh tahu."
Bibir Ayra ditekuk hingga maju beberapa centi ke depan. Meskipun kesal tetapi ia turuti permintaan Arsenio.
Kini, tinggalah Arsenio seorang diri di ruang kelas. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu sepasang mata hazel menangkap sebuah kamera pemantau berada di sudut ruangan persis di atas meja guru.
Tersenyum smirk dan berkata, "Permainan akan segera dimulai."
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Bu Kus
arsen anak yang pintar semoga bisa menjadi kebanggan mama tania
2023-07-23
0
Riana
👍👍👍👍cerdas kamu arsen
2023-07-21
0
Riana
anake sopo to iki🤨🤨
2023-07-21
0