Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Bab 14 ~ Pengundang Maut
Karya R.D. Villam
---
Keesokan harinya Isfan dan kedua rekannya ternyata memang tidak kembali, sehingga akhirnya Fares memang tak bisa menahan keputusan Naia untuk pergi ke kota.
Akshak tidak sebesar bekas kota-kota Sumer lainnya di selatan. Tidak ada bangunan besar seperti kuil ataupun istana. Walau demikian kota ini cukup ramai, terutama di pasar saat pagi hingga siang hari. Para pedagang datang dari pegunungan utara maupun dari dataran rendah di selatan. Konon di masa lampau kota ini ramai pula oleh para pedagang bangsa Elam yang datang dari timur. Tetapi itu sebelum para penyihir Elam membuat dinding ajaib di sepanjang Sungai Tigris, untuk menahan serbuan pasukan Akkadia ke negeri mereka.
Kota ini sudah berada dalam kekuasaan Akkadia sejak dua tahun lalu. Kebiasaan Raja Sargon dalam menguasai kota-kota Sumer adalah menyerbu dengan pasukan besar, membantai habis setiap raja, keluarga dan pasukan musuh, setelah itu pergi lagi untuk menyerang kota berikutnya dengan hanya meninggalkan sedikit prajurit untuk menjaga kota. Saat ini berbeda. Pasukan Akkadia semakin banyak yang datang ke Akshak.
Para penduduk tak berani membicarakan hal ini di tempat umum, tapi sebagian kecil orang masih cukup berani membicarakannya di beberapa tempat. Naia tampaknya tahu di mana tempat-tempat semacam itu. Fares mengikutinya. Mereka pergi ke sebuah kedai yang terdapat di sisi utara kota, yang menyempil di antara rumah-rumah penduduk yang terbuat dari batu dan tanah merah. Mereka melalui gang-gang berliku, melewati anak-anak yang sedang bermain lempar batu di jalan, dan juga beberapa wanita yang sedang menjemur pakaian.
”Terlalu kumuh untuk sebuah kedai,” celetuk Fares untuk menutupi rasa gugupnya.
Naia merapatkan kain tebal yang menutupi kepala dan seluruh tubuhnya, hingga hanya matanya yang tampak. ”Bagus untuk kita.”
”Ya, aman dari mereka.” Fares melirik belasan prajurit Akkadia yang tengah berbaris di jalan utama, di kejauhan. Ia memundurkan tubuhnya, bersembunyi di balik dinding yang gelap.
Ia mengikuti Naia menuju bangunan yang sedikit lebih besar dibanding rumah-rumah lain di sekitarnya. Jendela dan pintu kayunya terbuka lebar, dan suasananya lebih ramai. Fares beradu pandang dengan beberapa orang. Seorang pengemis duduk di depan bangunan. Pengemis itu sedang meniup seruling, mengiringi seekor ular kobra yang menari-nari di depannya. Mereka semua terlihat seperti penduduk kota biasa, tidak ada yang mencurigakan.
Namun yang tampak biasa mungkin saja menyembunyikan sesuatu.
Naia masuk tanpa ragu, lalu duduk di sudut ruangan yang gelap. Seorang pelayan datang, dan Naia membisikkan sesuatu padanya. Pelayan itu kemudian pergi.
Tak lama, seorang lelaki mendekat. Orang itu berkumis tebal dengan rambut yang sudah memutih sebagian. Ia langsung duduk di depan Fares dan Naia.
Naia berkata dengan suara pelan, ”Kaszhar, senang bertemu lagi.”
Laki-laki itu menggeleng. ”Kenapa kalian datang? Ini sangat berbahaya.”
”Aku sudah bilang padanya.” Fares melirik Naia.
”Aku tak punya pilihan, Kaszhar,” jawab Naia.
”Isfan sudah kemari,” jawab Kaszhar. ”Kenapa kalian tak menunggu dia saja?”
Naia menggeleng. ”Mereka belum kembali ke tempatku. Seharusnya tadi pagi paling lambat. Kau tahu dia dan yang lainnya pergi ke mana?”
”Menyelidiki ke selatan, mencari jalan aman ke Gerbang Sungai Tigris. Itu kata Isfan. Aku tak tahu kalau misalnya dia berubah pikiran." Kaszhar bergantian melirik Naia dan Fares. "Ya, kupikir ada baiknya juga Tuan Putri datang kemari."
Kening Naia berkerut. ”Maksudmu?”
”Mungkin saja Isfan akhirnya menemukan sesuatu, atau memutuskan sesuatu.” Kaszhar balik menatap dengan tajam. ”Tuan Putri, sekarang ini keadaannya sulit untuk diperkirakan. Kadang kita tidak tahu siapa orang yang benar-benar bisa kita percaya.”
”Isfan bisa dipercaya!” sergah Fares. ”Juga teman-teman kita yang lain!”
”Kau punya usul, Kaszhar?” tanya Naia tajam.
”Lebih baik Tuan Putri menjauh dulu ke utara,” jawab Kaszhar.
Naia menggeleng. ”Aku tetap harus tahu apa yang terjadi pada Isfan dan yang lain.”
”Kalau kau bersikeras ingin ke selatan, cobalah tetap berjalan di antara rumah-rumah penduduk. Itu lebih aman. Pergilah ke sebuah rumah makan kecil di selatan, yang sejauh ini masih aman dari mata-mata Akkadia. Akan kuberikan denahnya. Kalian bisa mencari informasi lebih banyak dari rekanku. Tapi maaf aku tak bisa ikut denganmu.”
Maka, berdasarkan denah yang digambar oleh Kaszhar, Fares dan Naia berjalan ke selatan melewati pemukiman padat penduduk yang mulai sepi. Sambil berjalan cepat di belakang Naia, Fares mendongak. Matahari sudah condong ke barat. Seekor burung berwarna cokelat dan berkepala hitam bertengger di atap salah satu rumah. Altros, si elang gunung. Matanya yang tajam beradu pandang dengan mata Fares. Naia menoleh kesal pada pemuda itu.
”Cepat! Kau mau kemalaman dan tidur di jalan?”
Fares membalas dengan seringai jenaka. ”Kalau kau mau menemani, tidak masalah.”
”Kau ...?!”
”Maaf, cuma bercanda. Aku tadi melihat elang di atap itu. Aneh, aku merasa ia mengikuti kita sejak tadi.”
Naia ikut mendongak. Saat ia bertatapan dengan sang altros, wajahnya berubah khawatir. ”Kau yakin, Fares? Dia mengikuti kita?”
”Aku belum yakin. Menurutmu ada sesuatu?”
”Altros biasa terlihat di pegunungan, dan tempat ini tak jauh dari sana. Pernah kudengar, mereka juga biasa digunakan untuk membawa pesan.”
”Sial,” Fares langsung memaki. ”Kalau aku punya panah, kubunuh dia.”
”Mungkin itu hanya elang biasa. Ayo jalan lagi.” Naia menutupi separuh wajahnya dengan kain. ”Dan coba perhatikan, Fares, apakah burung itu tetap mengikuti kita.”
Naia berjalan makin cepat. Sambil berjalan, beberapa kali Fares melirik ke atas, samping dan belakangnya. Saat kali pertama, altros itu masih terlihat, tapi di saat-saat berikutnya burung itu menghilang. Fares menarik napas lega. Kekhawatiran mereka tadi terlalu berlebihan.
Mereka berdua sampai di rumah makan tujuan mereka di selatan kota. Hampir serupa dengan kedai sebelumnya di utara, rumah makan ini juga terletak di antara pemukiman penduduk, tapi dengan jalan lebih lebar. Sayangnya suasana sudah benar-benar sepi. Pintu dan jendela rumah makan itu tertutup rapat dan tak seorang pun yang tampak di dekat situ.
Fares menggerutu. ”Matahari belum terbenam, kenapa sudah tutup?”
”Ya.” Naia membalas. Raut kekhawatiran tampak jelas di wajahnya. ”Tetapi mungkin pemiliknya ada di dalam, dan kita bisa menginap, atau mendapat informasi darinya.”
Gadis itu mengetuk pintu rumah makan.
Tak ada jawaban.
Fares mendongak, memperhatikan langit yang mulai gelap. Ia mengembuskan napasnya perlahan. ”Tampaknya kita memang harus tidur di luar.”
“Mungkin,” Naia termangu, lalu menggeleng-geleng. Dan suara pelan keluar dari mulut mungilnya, hampir tak terdengar, ”Bodoh ... bodoh ...”
Fares merinding mendengarnya. Tampaknya Naia menyesal pada sesuatu yang telah dilakukannya sendiri. Fares ingin menegur, tapi suara lain mengejutkan mereka.
”Ghaakk! Ghaakk!”
Keduanya menoleh ke belakang. Di langit yang mulai memerah seekor altros melayang dengan kedua sayap terkembang. Kali ini sudah benar-benar mencurigakan.
Fares meraih gagang gada di pinggangnya. Pandangannya menyapu ke seluruh tempat sepi di sekelilingnya—dinding-dinding rumah yang tampak dingin kecokelatan, dan sudut-sudut jalan yang senyap. Semuanya menyimpan bahaya. ”Bersiaplah, Tuan Putri. Mungkin akan ada sesuatu ....”
”Aku tahu.”
Fares tertegun mendengar balasan dari Naia yang terdengar tenang.
Suara derap langkah menggema. Awalnya tak begitu jelas, tetapi kemudian semakin keras. Mungkin dari jalan sebelah kiri, mungkin juga dari kanan. Dari mana pun, tampaknya jumlahnya cukup besar. Itu pasti pasukan Akkadia.
Mereka sudah mengetahui kehadiran Fares dan Naia di sini, berkat altros itu tampaknya. Dan mereka semakin dekat. Fares menatap Naia. Gadis itu balik menatapnya.
”Maafkan aku, Fares,” kata gadis itu lirih. ”Aku telah mengundangmu masuk ke dalam maut, sekali lagi. Aku sudah membuat keputusan yang salah lagi, sepertinya ...”
Fares tersenyum, menggeleng. ”Tidak, kita berdua sama-sama suka mengundang maut. Tetapi ya, kurasa kau memang gadis yang keras kepala.”
”Maaf.” Air mata menggenang di kelopak mata Naia. Wajah gadis itu mengeras berusaha menahan tangis, seperti biasanya. Ia menggenggam erat gagang pedangnya. ”Aku bodoh, ceroboh, keras kepala ...”
”Ya .... Tapi, itu yang membuatmu ... menarik.”
Naia tertawa—jika itu adalah tawa. Air mata mengalir pelan membasahi pipinya.
Fares mengangkat tangannya ragu, kemudian mengusap air mata di wajah gadis itu. Ia tersenyum. ”Hei, rasanya aku belum pernah melihatmu menangis. Ayolah, kita akan baik-baik saja. Kita sudah biasa menghadapi ini, kan? Tidak ada yang berbeda.”
Naia menggeleng. ”Semakin lama semakin berbeda, Fares.”
”Apa—?” Fares hendak bertanya apa maksud ucapan Naia, tetapi perhatiannya segera teralih oleh bunyi keras di dekatnya. Derap langkah terakhir terdengar paling membahana. Barisan prajurit berseragam berdiri di hadapan Fares dan Naia. Tombak mereka teracung.
”Letakkan senjata kalian!” seru seseorang yang tampaknya adalah pemimpin mereka.
Fares menoleh, sekali lagi tersenyum pada gadis di sampingnya. ”Tuan Putri, terima kasih, telah memberiku kesempatan menjadi pengawalmu. Itu kehormatan bagiku, kehormatan besar bagi keluargaku. Semoga ayahmu akhirnya mampu memaafkan kesalahan ayahku. Tetaplah di belakangku. Saat kesempatanmu nanti datang, larilah.”
”Fares ...”
”Heaaahh!”
”Tidak!” Jerit kesedihan dan ketakutan Naia tak mampu menghentikan Fares yang dengan ganasnya berlari menerjang kerumunan pasukan Akkadia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
adi_nata
apakah Naia jatuh cinta kepada Fares ?
2023-10-08
0
John Singgih
terperangkap & Fares berusaha menolong naia
2021-08-22
0
Hadi Ghorib
like 414 skses slalu
2021-05-11
0