Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Bab 2 ~ Kucing Ajaib
Karya R.D. Villam
- - -
Benda kecil lembut membasahi hidung Ramir, kemudian pipi serta telinganya. Rambut panjang kaku menggelitik hidungnya. Ramir memicing, memperhatikan makhluk yang bergerak di sekeliling wajahnya. Seekor kucing kecil berbulu hitam bergaris-garis cokelat gelap, dengan mata besar berwarna kuning, dan bertelinga panjang.
“Toulip!” Ramir berseru. “Kau mengganggu mimpi indahku!”
Kucing itu berhenti menjilat. “Mimpi indahmu?” Ia duduk di atas dada Ramir dengan gaya sok tahu dan menatap anak itu lekat-lekat. “Itu mimpi indah manusia lain, bukan mimpimu! Mimpi siapa yang kaumasuki sekarang?”
”Tidak tahu.” Ramir melirik ke luar jendela. Dari celah tirai ia melihat langit yang masih memerah. ”Kalau aku bisa masuk dan keluar semauku, betapa senangnya. Ah, tetapi tidak juga. Kalau aku ikut masuk ke dalam mimpi buruk, malah menyebalkan. Seperti tadi.”
”Jadi mimpi tadi indah atau buruk?”
”Hmm ... aku lupa. Kurasa tadi ada seorang gadis, berbaju putih, sayangnya aku lupa wajahnya. Padahal sepertinya aku pernah melihatnya.”
”Di mana?”
”Di mimpi juga. Di malam ini juga.”
“Maksudmu, kau mimpi dua kali malam ini?”
”Seingatku, saat tengah malam, kurasa, aku sempat terbangun karena mimpi buruk,” jawab Ramir ragu. ”Ada kobaran api, sesuatu terbakar. Setelah itu aku tertidur lagi, tak tahu berapa lama, lalu bermimpi kembali, mimpi buruk yang sama.”
”Itu mimpi buruk manusia lain, bukan mimpi burukmu.”
”Tetap saja jadi mimpi burukku juga!”
”Baik, jadi itu buruk. Lalu di mana indahnya?”
”Kurasa, aku bertemu seorang gadis lainnya.”
”Meooww!” Toulip mengeong keras, dengan cara aneh yang dulu selalu membuat Ramir tertawa. ”Seusiamu, Ramir, seharusnya kau memang mulai berdekatan dengan perempuan. Lebih banyak pergi ke desa, berkenalan. Jangan hanya berkeliaran di hutan.”
”Sayang sekali, aku tidak bisa mengingat wajahnya. Tetapi rasanya ada yang aneh dengan gadis ini. Mungkin rambutnya, wajahnya, atau pakaiannya. Dan air. Ya, ada air! Atau es. Dingin, mestinya, tetapi rasanya tadi menyenangkan. Aku nyaman di sana.”
Toulip terkekeh. ”Mungkin kau berpelukan dengannya, Ramir.”
”Kelihatannya begitu.”
”Kau menciumnya?” Toulip menggoda. ”Atau mungkin ...”
Ramir menggeleng cepat. ”Tidak. Rasanya tidak.”
”Manusia seusiamu wajar bermimpi seperti itu.”
”Kucing banyak omong! Tahu apa kau?”
Kucing itu menguap seolah bosan. ”Toulip memang kucing yang banyak omong, karena Toulip kucing banyak tahu. Toulip bisa bicara dengan burung, kuda, kerbau, ular, semut, kutu, cicak, dan banyak binatang lainnya. Percayalah, mereka paling suka berbicara mengenai manusia. Mereka tahu tentang manusia, yang justru manusia sendiri tidak tahu.”
”Kucing sombong antah berantah. Dengan manusia, untungnya kau hanya bisa bicara denganku. Kalau tidak, kau akan menyebarkan banyak masalah.”
”Bukan. Untungnya kau pendiam, Ramir, jika harus bicara dengan manusia lain. Jadi kau tidak akan banyak menyebarkan masalah.” Si kucing membuat cengiran lebar. ”Selain itu, Toulip bisa bicara denganmu, karena kau bisa bicara dengan Toulip."
”Ya. Kita berdua bisa membuat banyak masalah, jika semua orang tahu soal ini.”
”Termasuk kemampuan menjelajah mimpimu? Kakekmu tahu.”
”Cuma dia,” Ramir menukas. ”Justru dia yang menyuruhku menyembunyikannya dari semua orang. Katanya, kemampuan ini tidak baik buat orang lain.”
Toulip mengangguk. ”Toulip mengerti maksud kakekmu. Memasuki mimpi manusia lain sama saja dengan memasuki wilayah pribadi manusia itu. Tapi, itu tetap berkah yang khusus diberikan padamu. Bukan hanya kau, Ramir, manusia yang diberkahi kemampuan aneh. Dan kalian manusia, betapapun berakalnya, tetap belum bisa tahu sepenuhnya, apalagi langsung menilai, apakah itu baik atau tidak.”
”Kau sendiri, kemampuan bicaramu itu baik atau tidak baik?”
Kucing itu mendesah. ”Soal ini, tidak seharusnya Toulip bicara terlalu banyak denganmu. Manusia berbeda dengan makhluk lain. Tidak boleh langsung percaya pada apa pun. Kalian harus belajar, menggunakan otak atau perasaan kalian, dan mengalaminya sendiri.”
Ramir tertawa. ”Terima kasih atas pelajarannya, Guru. Sayangnya aku belum mengerti."
”Miaawr!” Toulip melompat ke jendela, bertengger di bingkainya. ”Gara-gara obrolan ini, Toulip lupa kenapa Toulip membangunkanmu. Kita ada urusan penting!”
”Sepagi ini?” Ramir kembali melirik langit di balik tubuh Toulip.
Toulip mengangguk. ”Seekor kalyx memberitahu fajar tadi, katanya ia menemukan satu sosok tubuh manusia di tepi sungai.”
Ramir tercengang. ”Mati?”
”Toulip tidak akan menganggapnya penting kalau dia sudah mati.”
”Begitu ya?”
”Ya!”
”Memangnya apa yang bisa kulakukan?” Ramir bangkit dengan enggan.
”Tentu saja menyelamatkan dia! Manusia ini sekarat, terbawa arus dan terdampar di sana. Itu kata si kalyx. Dan dia sudah meminta teman-temannya untuk menjaga manusia ini, dari ancaman binatang buas lain.”
”Menjaganya?” Ramir berdiri kemudian mengelap mukanya dengan kain basah. ”Kenapa kalyx sampai mau melakukan itu?”
Toulip tidak menjawab dan melompat ke atas bahu kanan Ramir. Mereka berdua keluar dari kamar, sampai ke ruangan yang lebih besar. Sinar matahari masuk melalui lubang angin di atas dinding-dinding gubuk yang terbuat dari lumpur sungai. Ramir melirik kamar di sebelahnya, yang sudah kosong. Sepertinya kakeknya pun sudah bangun, tetapi kini pergi entah ke mana.
Ramir berjalan cepat menuju sungai di utara. Ia menerobos hutan, naik turun bukit, dan akhirnya mendengar deru arus sungai dari balik rimbunan. Mereka menerobosnya dan tak lama tiba di tepi sungai. Namun tak terlihat sosok manusia yang dikabarkan tadi.
Ramir memandang berkeliling. ”Kau yakin di sini tempatnya?”
”Kalau ternyata salah, salahkan si kalyx, yang tidak becus memberikan informasi!”
”Mrraawwrr! Mrraawwrr!”
Suara kalyx! Terdengar sekitar sepuluh tombak di utara. Ramir menoleh. Di atas sebuah batu besar di tepi sungai berdiri seekor kucing berbulu kelabu. Matanya yang hijau menatap tajam. Untuk beberapa saat Ramir terdiam, tiba-tiba ia merasa tegang.
”Ia memanggil kita,” Toulip berbisik. ”Dia yang tadi bicara pada Toulip.”
Ramir berjalan mendekat. Begitu sampai di tepi batu besar, ia berjalan mengitarinya. Di balik batu itu, enam ekor kalyx sedang duduk. Mereka semua menatapnya tajam. Di belakang mereka terbaring seseorang yang tak sadarkan diri.
Dua buah luka besar tampak di dada dan perut orang itu. Bajunya yang berwarna hijau terkoyak, menampakkan pelindung dada yang tebal tetapi sudah terkoyak pula. Tidak tampak banyak darah, bisa terjadi karena dua hal: sudah banyak terbuang di sungai, atau lukanya sudah ditutup dan dibersihkan oleh kalyx dengan lidahnya. Seekor kalyx mengeong, seperti tahu apa yang ada di dalam benak Ramir.
Ramir berkata hati-hati, ”Kalian yang merawatnya?”
”Mestinya demikian.” Toulip yang menjawab. ”Air liur kalyx dapat membersihkan luka. Tetapi hanya untuk sementara saja. Sekarang giliranmu, Ramir.”
Ramir berjongkok, memperhatikan orang yang pingsan itu. Dia melihat rambut panjang di belakang kepalanya. Ada sebuah luka di sana. Saat itulah, tiba-tiba rambut itu seolahberkilau begitu tertimpa cahaya matahari. Ramir tertegun. Rambut perak!
Perlahan Ramir memegang dagu orang itu dan menolehkan kepalanya. Ia kini melihat wajahnya. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang halus. Seorang perempuan? Wajahnya seperti ... dia! Jantung Ramir berdetak kencang. Tangannya bergetar.
“Kau kenal dia?” Toulip berbisik lagi.
Ramir termangu. ”Aku ... tidak yakin.”
“Ini manusia perempuan itu? Yang kaulihat dalam mimpi? Yang membuatmu bermimpi indah? Toulip bisa menebak dengan mudah, kawan, begitu melihat raut aneh di wajahmu!”
”Sepertinya berbeda."
”Tadi kaubilang ada yang aneh dengan manusia perempuan di mimpimu. Sudah jelas, kan? Wajahnya yang asing dan rambutnya yang perak. Tidak mungkin ada yang lebih aneh.”
”Tetapi, wajah yang kulihat dalam mimpi sangat muda. Masih remaja, sama sepertiku. Sementara ini, kelihatannya sepuluh tahun lebih tua dariku. Ia tampak begitu ... dewasa.”
”Hei! Ini manusia asing berambut perak yang berada paling dekat dengan kita. Tak mungkin ada manusia lain seperti dia di dekat sini. Sudah pasti dia manusia yang kaumasuki mimpinya! Ingat, manusia tidak hanya bermimpi tentang masa kini, tetapi juga tentang masa lalu. Yang kau lihat dalam mimpimu adalah masa lalu manusia perempuan ini.”
”Ya, mungkin begitu.”
”Ah, ah. Apa yang Toulip rasakan kini?” Kucing itu menyeringai. ”Oho, kau kecewa rupanya? Kau kecewa karena manusia perempuan ini tidak seperti bayanganmu? Kau kecewa karena dia jauh-jauh-jauh lebih tua daripada kau?”
”Aku tidak kecewa!”
”Lalu kenapa masih berdiam diri? Dia butuh pertolonganmu. Kau seorang penyembuh!”
Ramir tersentak. Tiba-tiba ia teringat, dalam mimpinya gadis itu meminta pertolongan pada Ramir. Seolah gadis itu bisa merasakan kehadiran Ramir dalam mimpinya! Kalau benar, apakah mungkin dia bisa mengenalinya, jika nanti sudah sadar dari pingsannya?
Namun pikiran lain membuatnya ragu. "Aku baru belajar jadi penyembuh. Mana bisa kusembuhkan luka-luka sebesar ini dengan cepat? Hanya kakekku yang bisa."
”Ya sudah, bawa dia! Supaya bisa disembuhkan oleh kakekmu nanti!”
Ramir kini mengangguk. Ia membungkuk, Sekuat tenaga ia berusaha mengangkat tubuh gadis itu, menaikkan ke atas bahunya, lalu berdiri dengan susah payah.
”Hati-hati! Kau tidak sedang mengangkat karung gandum!” seru Toulip.
”Kau kira gampang?” seru Ramir kesal. ”Tubuhnya lebih besar daripada aku!”
”Awas, jangan sampai membuat luka di perutnya terbuka lagi!”
”Jika tidak membantu, jangan bicara, Toulip! Lebih baik cari kakekku.”
Toulip menggoyang kepalanya. ”Kalau itu maumu.”
”Tunggu! Jangan pergi dulu!” Ramir berdiri sambil mengatur napasnya. ”Sebelum pergi, barangkali kau bisa bertanya pada para kalyx, mengapa mereka menjaga gadis ini.”
”Baru saja, Ramir.”
”Apa kata mereka?”
”Mereka menjaganya, karena dia adalah Sang Penjaga Ilmu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
adi_nata
ketika seekor kucing lebih pintar menganalisa.
2023-10-06
0
adi_nata
Teeza adalah gadis yang dipeluk Ramir di dalam mimpi.
2023-10-06
0
adi_nata
hahaha ... mimpi apa ni ?
2023-10-06
0