Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Bab 5 ~ Misi dan Tugas
Karya R.D. Villam
- - -
“Fareees!”
Teeza menoleh kesal ke lorong gelap di belakangnya. Lorong itu lebarnya hanya sebentangan tangan dan tingginya pun hanya satu tombak. Suara langkah kaki berdebam terdengar dari balik kelokan. Seseorang sepertinya sedang berusaha berlari dengan kencang. Namun Teeza tetap tidak puas.
”Fares! Kenapa lama sekali?”
Seorang pemuda bertubuh besar muncul dari dalam gelap, meringis mempertontonkan giginya. Poni hitam yang melambai di depan wajah polosnya membuat ia tampak seperti bayi yang tidak berdosa. ”Maaf, aku tersandung sesuatu tadi. Gelap sekali di dalam sana!”
“Cepat, bawa Putri Naia,” balas Teeza tak sabar seraya mengedik ke arah gadis berpakaian serba putih yang tergeletak di atas meja batu di seberang ruangan.
Fares segera berlari ke sana. Dengan hati-hati ia merengkuh tubuh mungil sang putri dengan kedua tangan, lalu mendekapnya bagai menggendong bayi.
Teeza segera berbalik dan menaiki tangga, kembali memasuki lorong gelap. Tak berapa lama ia menoleh. ”Hati-hati, lubang di kiri. Kurasa tempatmu tersandung tadi.”
”Ya, ya. Hanya keledai yang tersandung dua kali.”
Teeza mendengus. ”Itulah kenapa aku khawatir.”
Di belakangnya Fares terkekeh.
Dalam gelap Teeza mengenali setiap benda di sekelilingnya. Dinding batu yang dingin dan lembab—di beberapa tempat sudah retak dan rontok—juga sarang laba-laba atau kotoran tikus. ”Dan jaga agar kepala besarmu tidak menyundul batu di kanan atas.”
”Oh, aku besar kepala juga sekarang?”
”Kepala besar, bodoh. Arti sebenarnya.”
”Hahaha. Hei, Teeza, boleh aku bertanya? Kau belum menjelaskan tadi, kenapa kita tidak keluar lewat pintu depan saja. Daripada gelap-gelap begini. Bau.”
”Begitu Rahzad tahu kita ada di sini, ia akan membawa pasukannya masuk melalui gerbang depan. Ingat, yang mengejar kita sekarang bukan pasukan biasa.”
”Baik, tapi bagaimana Rahzad bisa menemukan kita?”
”Karena dia Rahzad. Tidak pernah mudah lari darinya.” Teeza terus berjalan. Dengan bantuan matanya yang tajam sebenarnya ia bisa berjalan cepat tanpa henti. Namun ia tak ingin meninggalkan Fares dalam gelap.
”Ayolah, sebagai satu-satunya orang di pasukan kita yang pernah melihat Rahzad, kau bisa memberi tahu lebih banyak, seperti apa tampang tokoh favorit kita ini. Siapa tahu nanti aku mau mencari dia di pasar.” Fares tertawa pendek.
”Tidak usah repot-repot mencari. Dia yang akan menemukanmu.”
”Kata ayahku dulu, wajahnya tidak kelihatan begitu tua.”
“Umurnya seratus dua puluh tahun,” jawab Teeza mencoba sabar. ”Untuk ukuran kalian, sebenarnya dia hanya sepuluh tahun lebih tua dibanding kau.”
“Hmm? Begitu, ya? Yang jelas, karena umurmu seratus tahun dan aku dua puluh tahun, artinya kau lima kali lebih tua dariku.” Tawa Fares membahana.
Teeza tak menanggapi candaan itu.
”Tapi serius, Teeza, apakah Rahzad memang benar-benar berbahaya seperti yang dibilang semua orang?”
”Tunggu saja sampai bertemu langsung. Sebagai informasi, sedikit sekali musuhnya yang masih bisa hidup setelah melihat wajahnya. Di antara kita, hanya tinggal aku dan Putri Naia.”
”Dan Davagni.”
”Kalau dia bisa dihitung.”
“Ya. Omong-omong soal Davagni, aku tak melihatnya sejak enam bulan silam,” entah kenapa si cerewet mengalihkan pembicaraan. ”Ke mana dia, ya?”
“Tidak tahu.” Teeza mengangkat bahu. Apakah ia perlu menceritakan kehadiran makhluk batu raksasa itu tadi di kuil kepada Fares? Lebih baik tidak. Itu urusan Putri Naia.
“Benar kau tidak tahu? Kau selalu tahu lebih banyak daripada yang kauucapkan.”
“Maksudmu?”
“Tentang sinar putih dari dalam kuil tadi, misalnya. Semua teman kita hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi kau malah membentak kami supaya diam.”
“Itu kekuatan Putri Naia, sekaligus penderitaannya. Itu saja yang bisa kubilang.”
”Selalu terjadi sejak tiga bulan terakhir. Setiap bulan purnama, di dalam ruang tertutup di mana kami tak bisa melihat. Hanya kau yang tahu, Teeza. Setelah itu pasukan Akkadia selalu berdatangan gara-gara melihat sinar itu.”
Teeza berhenti melangkah. Sinar rembulan sudah tampak di ujung lorong. Sebentar lagi keduanya sampai di luar, di mana rekan-rekan mereka sudah menunggu. Teeza tahu pembicaraan tentang Naia tidak boleh tersebar luas, walaupun orang-orang itu semua anak buahnya. Ia menunggu Fares mendekat, sampai wajah pemuda itu tinggal sejengkal di hadapannya.
Teeza mengamati Naia yang masih meringkuk tak sadarkan diri dalam gendongan Fares, untuk memastikan bahwa gadis itu belum siuman, sebelum berkata, ”Apakah kau, dan juga teman-teman kita yang lain, keberatan dengan tugas kalian selama ini?”
Mata Fares membelalak. ”Pertanyaan macam apa itu? Kami semua siap mengorbankan nyawa demi Putri Naia, tak peduli seberat apa pun, atau seaneh apa pun tugas itu. Kita keluar dari Gerbang Sungai Tigris tiga bulan lalu, terus berpindah-pindah tanpa mengerti buat apa, lalu bertempur di mana-mana dan kehilangan banyak orang, tetapi kami tak pernah mundur!”
”Kita keluar bukan tanpa tujuan. Kita mencari seseorang, yang sangat penting.”
Walaupun hasilnya tak sesuai perkiraan, karena orang itu bukan yang mereka cari.
”Teeza, kami tidak bertanya mengapa kita harus melakukan ini. Kami cuma bertanya, apa sebenarnya yang terjadi pada Putri Naia. Aku tak mengerti kenapa kau malah marah.”
”Cahaya putih yang dikeluarkan Putri Naia tiap purnama telah membuatnya gampang dicari oleh musuh. Itu sebabnya ia harus terus berpindah-pindah. Namun perpindahan baru bisa dilakukan setelah purnama, dan setelah cahaya itu bersinar, supaya ia punya waktu satu bulan lagi untuk lari dan bersembunyi, menunggu sampai cahaya berikutnya datang.”
”Tapi dari mana cahaya itu datang?”
”Dari sesuatu yang dimilikinya, yang belum bisa kukatakan.”
Fares mengangguk-angguk kesal. ”Kalau memang sesuatu itu hanya membawa celaka dan penderitaan pada Putri Naia, kenapa tidak dibuang saja?”
”Tidak bisa. Itu melekat pada dirinya.”
”Sampai kapan?”
”Belum tahu.”
”Berarti itu seperti sebuah ... kutukan?”
Teeza menggeleng. ”Kutukan, atau berkah, aku belum tahu.”
”Jika memang itu tak bisa dilepaskan, mengapa Putri Naia tidak terus bersembunyi saja di tanah Elam? Walaupun Rahzad bisa mengetahui keberadaannya di sana, dia takkan bisa menembus Gerbang Sungai Tigris selama belum mendapatkan kuncinya.”
”Lalu berharap pada keberuntungan? Bagaimana jika akhirnya Rahzad mendapatkan kunci itu? Bencana apa yang akan terjadi di Elam jika dia berhasil masuk ke sana?”
Fares termenung, lalu menjawab getir, ”Akan seperti negeri kita di barat.”
”Itulah kenapa Putri Naia memutuskan kembali ke Sumeria. Dia nekat keluar dari Elam untuk mencari si pemegang kunci yang kabarnya ada di utara. Putri Naia awalnya bersikeras hendak pergi seorang diri. Dia siap mati jika gagal, dan tak ingin mengorbankan yang lain. Tetapi mana bisa aku menerimanya? Kita tak mungkin kehilangan dia! Maka aku meminta seratus prajurit, termasuk kau, untuk ikut menyeberangi sungai dan melindunginya sampai kapan pun.” Teeza berusaha menahan emosi.
”Fares," ia melanjutkan, "Jika kalian ingin menyalahkan seseorang, salahkan aku. Aku sedih melihat teman-teman kita yang akhirnya gugur dalam tugas, dan aku minta maaf karena telah melibatkan kalian dalam situasi yang semakin buruk ini. Mungkin ... seharusnya hanya aku saja yang pergi bersama Putri Naia.”
Fares terdiam mendengar penjelasan Teeza, sebelum berkata penuh hormat, ”Kapten, tak ada yang perlu dimaafkan. Kami semua merasa terhormat bisa ikut dalam tugas ini. Kami bangga bisa mengikutimu dan Putri Naia. Lagi pula, aku pengawal Tuan Putri. Ini tugasku.”
”Ini tugas kita. Misi kita.”
”Boleh kusampaikan kata-katamu pada rekan kita yang lain? Maksudku, mereka resminya anak buahmu, tetapi aku—”
”Ya, katakan saja,” Teeza menukas. ”Mereka mungkin akan lebih nyaman mendengarnya dari mulutmu. Tetapi ingat, secukupnya. Bahwa kita masih perlu berpindah-pindah, sampai Putri Naia mengatakan cukup. Mengenai sinar putih itu, kuminta tetap kau rahasiakan.”
Teeza berjalan cepat menuju pintu lorong yang benderang oleh cahaya rembulan. Langkah kaki Fares teriring di belakangnya. Baru sesaat menikmati hawa dingin di puncak gunung, Teeza segera disambut wajah-wajah gelisah sepuluh orang anak buahnya.
”Kenapa lama sekali?” Seorang dari mereka, yang berkumis tipis, mendekat.
Teeza balik bertanya, ”Bagaimana situasinya, Isfan?”
Lelaki itu menjawab, ”Sebagian pasukan mereka memutari lereng, sementara sisanya tetap memasuki kuil dari depan. Jika tidak segera turun, kita akan terkepung di sini.”
”Habik sudah siap dengan perahunya?”
”Belum ada kabar. Tetapi mestinya sudah.”
”Ahh!” Tiba-tiba terdengar erangan dari belakang.
Rupanya Naia sudah sadar, atau setengah sadar. Gadis itu meronta dalam gendongan Fares, tapi matanya masih tertutup. Fares tampak bingung, apakah harus tetap menggendongnya. Pemuda bertubuh besar itu menatap bergantian ke arah Naia dan Teeza.
Teeza mendekat, menepuk pipi sang putri. ”Naia, kau sudah sadar?”
Mata Naia perlahan terbuka, lalu mengerjap beberapa kali. Ia berhenti meronta, tapi napasnya masih memburu. ”Di mana? Di mana aku? Aku ...”
”Kau pingsan,” jawab Teeza cepat sambil melirik ke arah Fares. Pemuda itu langsung menurunkan Naia dari gendongannya. Gadis itu masih sempoyongan.
”Pingsan?” Naia terpejam, kelihatannya tidak yakin. ”Tetapi rasanya aku tadi bermimpi.”
”Kau tertidur? Bukan pingsan?” tanya Fares heran.
Naia memegangi kepalanya, seperti berusaha mengingat-ingat mimpinya.
Teeza mengangguk tak sabar. ”Sudahlah. kau kelelahan tadi. Sekarang kita harus cepat pergi. Mereka sudah dekat,” katanya seraya menoleh ke puncak bukit di sebelah timur.
Dari sana suara-suara menakutkan barion mulai terdengar lebih jelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
John Singgih
bangun dan bersiap pergi lagi
2021-08-15
0
『Zalan NinzaKu』
Aku juga punya novel lumayan bagus
Genre : Action,Fantasi,Petualang
Judul : Di panggil ke dunia lain
Jangan lupa mampir ya min
2020-08-17
0
Queenzy
baru baca. keren banget Kak Villam. 😍😍
2020-06-30
1