Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Bab 10 ~ Prajurit Akkadia
Karya R.D. Villam
---
Elanna berusaha terus mengingat-ingat, tentang masa lalunya, tentang siapa dirinya. Dua hari sejak ia sadar, ia tetap belum berhasil. Hal ini mulai membuatnya takut. Namun seperti kata Kakek, mungkin ia harus lebih banyak beristirahat, dan setelah ia pulih, ia bisa bergerak ke mana pun ia mau dan mencari tahu tentang dirinya.
Empat hari berikutnya tubuh Elanna semakin kuat. Ia sudah bisa mondar-mandir di kamarnya, dan mulai yakin bisa berjalan jauh sampai ke kota. Luka-luka di tubuhnya pun sudah hampir tidak terasa. Mungkin ini saat yang tepat untuk pergi.
Ia keluar dari kamar, menemui Ramir yang tengah berada di samping rumah. Pemuda itu sedang duduk di bawah pohon membelakanginya, sedang mengerjakan sesuatu.
”Kau sedang apa, Ramir?” Elanna menegurnya.
Ramir menoleh, sesaat tampak terkejut melihat kemunculannya, lalu tersenyum lebar. Ia memperlihatkan sebilah pisau di tangan kanannya dan batang kayu sepanjang tinggi tubuhnya di tangan kirinya. ”Aku sedang membuat tombak.”
”Tombak?” Elanna duduk di samping anak laki-laki itu. ”Buat apa?”
”Menombak ikan di sungai.”
“Oh.” Elanna mengangguk-angguk. ”Kupikir tadi untuk ...”
Ramir menoleh dan menatapnya. ”Berjaga-jaga?”
”Ya. Mungkin untuk berjaga-jaga.”
”Dari siapa?” tanya Ramir datar.
Elanna menyeringai. ”Dariku, mungkin?”
Wajah Ramir berubah gelap, dan ia meruncingkan tombak dengan pisaunya sepenuh tenaga. ”Kau akan mencelakaiku nanti? Begitu kau kembali menjadi prajurit?”
Elanna tertawa. ”Tentu saja tidak! Aku cuma bercanda.”
Ramir menatapnya lama, kemudian tersenyum. Sesaat Elanna melihat, tatapan pemuda itu kini terasa sedikit berbeda. Jauh lebih akrab.
”Kenapa, Ramir? Kenapa menatapku begitu?”
Wajah pemuda itu memerah, dan ia menunduk. ”Ah, tidak.”
Elanna mendekat. ”Menurutku, kau bisa berburu ikan lebih mudah dengan menggunakan panah.”
”Benarkah?” Ramir mengusap-usap rambutnya. ”Kupikir dengan tombak lebih mudah.”
Elanna tertegun. ”Betul, aku ... tak tahu. Kenapa aku bicara begitu, ya?”
”Mungkin kau biasa memanah.”
”Memanah?” Elanna termenung.
Ramir mengangguk. ”Aku kenal seseorang, tak jauh dari sini. Dia punya busur yang biasa ia pakai saat berburu. Mau kupinjamkan? Mungkin bisa membuatmu lebih cepat mengingat.”
”Itu bagus.” Elanna mengangguk senang. ”Kita bisa ke sana. Tetapi saat ini, bagaimana kalau kita menombak ikan dulu? Kedengarannya menarik.”
Keduanya berjalan ke arah sungai, melewati jalan setapak, menyeberangi ladang gandum dan pepohonan yang lebat, mendaki dan menuruni bukit. Perjalanan yang cukup jauh. Elanna mengira mereka hanya akan berjalan sebentar, tetapi ternyata lumayan lama. Awalnya ia takut jika nanti ia sampai lelah, tetapi anehnya, begitu sampai di sungai ia sama sekali tak merasa lelah sedikit pun . Elanna senang; ia belajar satu hal lagi tentang dirinya.
Ramir berjalan di depan, melangkah di atas bebatuan di tepi sungai, semakin jauh ke tengah. Elanna menatap sekelilingnya, ke arah batu, pepohonan, dan akhirnya ke sungai yang suaranya keras menderu. Sungai deras, mengalir dari utara ke selatan.
Apa yang bisa aku ingat dari sungai ini?
”Hei, Elanna!” seruan Ramir terdengar dari jauh. ”Mau lihat aku menombak?”
”Ya!” Elanna melepaskan pikirannya dan melompat-lompat dengan ringan di atas bebatuan. Dalam sekejap ia sudah berdiri di samping Ramir, di atas sebuah batu besar lima tombak dari tepi sungai.
Ramir menatapnya kagum. ”Wah, cepat sekali!”
Barulah Elanna tersadar, dan ia langsung menyeringai. ”Aku juga heran.”
”Seperti kalyx! Kucing itu ... tetapi ...” Ramir tiba-tiba termangu. ”Mungkin memang ...”
”Kucing hutan?” Elanna tertawa kecil mendengar ucapan Ramir. ”Bisa bercanda juga kau. Apakah mereka ada banyak di hutan ini?”
Ramir malah memandanginya dengan tatapan aneh. ”Mmm ... kau bisa lihat mereka nanti. Tetapi sebelum itu, coba lihat ini. Biasanya aku bisa menombak ikan dengan baik.”
Ia memegang erat tombak di tangan kanannya. Ujung tombak yang runcing mengarah miring ke air sungai di bawah batu tempat Ramir berdiri. Air di sana cukup tenang, tidak deras, karena terlindungi deretan bebatuan yang mengelilinginya. Itu adalah tempat singgah yang cocok bagi para ikan. Ramir menatap tajam air sungai itu. Setelah menentukan sasaran, dengan sebuah hentakan di lengannya ia melemparkan tombaknya lurus ke bawah.
Wuuutt! Tombaknya menancap ke dasar sungai.
Ramir menggeleng kecewa. ”Padahal sudah hampir kena! Kau lihat? Lari ke mana dia?”
Elanna melihatnya. Ikan hitam sepanjang lengan orang dewasa yang tadi nyaris terkena tombak Ramir, tetapi bisa menghindar di saat terakhir.
”Coba saja lagi,” kata Elanna. ”Kau hanya tidak beruntung.”
”Kau mau mencobanya?”
”Boleh?”
”Tentu saja.” Ramir menyerahkan tombaknya dengan senang hati. ”Tidak usah terburu-buru. Perhatikan gerakan mereka hendak ke mana, dan fokus pada satu—”
Belum selesai Ramir berbicara, Elanna sudah melemparkan tombaknya. Yang langsung menancap di dasar sungai.
Seekor ikan menggelepar di ujungnya.
Ramir terbelalak. ”Kau ... berhasil! Dengan sekali lempar!”
Elanna mencabut tombaknya tanpa tersenyum. Ia memperhatikan sejenak ikan yang menggelepar-gelepar di ujung tombaknya, sebelum mencabut dan memasukkan ikan itu ke dalam keranjang dari akar pepohonan yang tergantung di pinggang Ramir.
”Ah, kau keterlaluan, Elanna!” Ramir langsung merampas tombak dari tangan Elanna, kemudian melompat dari atas batu men-jauhinya. ”Kurasa sudah cukup.”
Elanna heran. ”Apa maksudmu? Aku salah mencabutnya? Atau melempar tombaknya?”
”Bukan itu!” Ramir terus berjalan ke tepian tanpa menoleh.
Gadis itu menggeleng-geleng tak mengerti. ”Hei, Ramir, maafkan aku.”
”Bukan itu!”
”Kalau begitu apa?!” seru Elanna kesal.
Kali ini Ramir menoleh. Ia sudah berdiri di tepi sungai, lima tombak dari Elanna. ”Maksudku, kemampuanmu yang keterlaluan, Elanna! Melompat seperti kucing, menombak ikan dengan mudah, berjalan jauh tanpa berkeringat—ya, maafkan aku terus memperhatikanmu sejak tadi. Dan, aku yakin kau pasti lebih hebat lagi dengan busur dan panah!”
”Maaf jika itu membuatmu kesal ...” Elanna mendesah. ”Mungkin ... karena aku seorang prajurit, sehingga aku bisa seperti itu. Itu sudah biasa, kan?"
Ramir menggeleng. ”Tidak, Elanna. Kurasa kau bukan prajurit biasa. Hah, aku memang bodoh, karena baru saja aku berharap kau adalah seorang gadis desa biasa, yang akan kagum jika melihatku menombak ikan! Padahal aku sudah tahu sebelumnya, kau tidak seperti itu!”
Elanna tertegun. ”Apa maksudmu?”
”Kau Elanna, kau adalah Sang Penjaga ...”
Elanna mengerutkan keningnya bingung. Ia merasa tak mendengar ujung akhir kata-kata Ramir, hingga ia pun bertanya, ”Apa?”
Di luar dugaannya, pemuda itu menggeleng.
”Apa?!” Elanna bertanya lebih keras.
Bibir Ramir bergetar, tampak di kejauhan. Alih-alih menjawab, pemuda itu tiba-tiba berbalik, berjalan cepat menjauhi sungai.
”Hei!” Elanna melompat tinggi, melenting dua kali di atas bebatuan, dan tiba-tiba sudah berada di depan Ramir. Ia mencengkeram bahu pemuda itu. ”Ramir, apa maksudmu tadi?”
Ramir meringis. ”Ah! Kau menyakitiku, Elanna.”
”Ma—maaf.” Elanna tersadar dan segera melepaskan cengkeramannya. ”Maaf. Aku ... aku tak akan menyakitimu. Tetapi tolong katakan, apa maksudmu tadi. Kau menyebutku apa?”
Ramir belum menjawab, ketika lalu terdengar suara seseorang di belakang Elanna.
”Ah, benar dugaanku. Di sini kalian rupanya!”
Elanna memutar tubuh. Tak jauh di depannya berdiri seorang lelaki tua: kakek Ramir. Dan di belakang kakek itu berdiri sepuluh lelaki lainnya. Orang-orang itu membawa tombak dan perisai berbentuk lingkaran bergambar kepala kerbau. Mereka berseragam warna cokelat tua, dengan pelindung dada, pelindung lengan, dan sabuk berwarna hitam. Di kepala mereka terpasang helm hitam dengan sepasang tanduk di atasnya. Pasukan Akkadia?
Elanna belum tahu apakah harus senang atau justru sebaliknya, jadi ia hanya berdiri. Para prajurit saling berpandangan sesaat begitu melihat reaksinya.
Si kakek mendekat dengan wajah berseri. Begitu tiba di hadapan Elanna, dia berkata, ”Aku baru saja sampai di rumah tadi dan kulihat kalian berdua tidak ada. Tetapi aku tahu ke mana Ramir biasanya pergi. Aku membawa kabar gembira untukmu, Nona.”
”Kau boleh memangggilku Elanna, Kakek.”
Si kakek tersenyum. ”Tetapi itu bukan nama aslimu.”
Seorang prajurit, yang tampaknya adalah komandan pasukan, berkata, ”Kapten Zylia Zarkaef, aku Letnan Cherib. Kami senang bisa bertemu anda lagi.”
”Zylia ... Zarkaef?” Elanna termangu mendengar nama itu dan berusaha mengingat-ingat.
Tetapi ia tidak ingat apa pun. Ia menoleh ke arah Ramir di sampingnya, lalu menatap si kakek tajam. ”Itukah nama asliku?”
Si kakek mengangguk. ”Di kota aku sempat bercerita pada seorang pasien, bahwa aku menemukan seseorang yang kehilangan ingatan dengan ciri-ciri seperti dirimu. Berita itu tersebar cepat dan kemarin para prajurit ini mendatangiku. Awalnya aku takut, tetapi Letnan Cherib yang baik menceritakan kejadian yang kau alami, yang membuatmu terluka. Jadi hari ini aku membawa mereka kemari untuk menjemputmu.”
”Tunggu.” Elanna mengangkat tangannya. Ia masih ragu. Diam sejenak, lalu ia bertanya, ”Bisa kau ceritakan seperti apa kejadiannya?”
Cherib mengangguk hormat. ”Sebaiknya nanti, Kapten, dalam perjalanan saja. Kita harus segera pergi ke Nappur, lalu ke Akshak. Sang panglima sudah menunggu di sana.”
Elanna belum bisa menjawab. Apakah benar ia seorang kapten dalam pasukan Akkadia?
Ya, rasanya ia bisa mengingat seseorang pernah memanggilnya dengan sebutan kapten.
Cherib berkata lagi, ”Untuk mempercepat ingatanmu, aku juga telah membawakan jubah kaptenmu. Pakailah, dan kau akan segera merasakan siapa dirimu sebenarnya.”
”Jubahku? Tetapi kupikir itu ada di—”
Belum selesai Elanna berbicara, Cherib sudah menyerahkan sebuah kain terlipat berwarna hitam kepadanya. Ragu-ragu Elanna mengambil dan mengembangkannya. Kemudian ia melingkarkan ujung jubah itu di lehernya, dan mengikat talinya. Pas sekali di tubuhnya. Jubah hitam ini pas menutup bahunya dan menjuntai panjang sampai ke betis.
Ia mengangguk. ”Baik, kalau memang begitu ... kita segera pergi.”
Elanna berjalan lima langkah, tetapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia berbalik, ke arah pemuda tanggung yang kini menatapnya dengan dingin.
Ia ingat kata-kata pemuda itu: begitu ia kembali menjadi prajurit Akkadia, maka pemuda itu memohon agar ia melupakan dirinya, kakeknya, dan juga tempat ini. Pemuda itu bahkan memohon agar ia jangan mengganggu mereka lagi.
Elanna mengerti, kini pemuda itu tidak lagi menginginkan dirinya berada di sini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
adi_nata
waktu ditemukan, Teeza memakai pakaian berwarna hijau, sedangkan seragam prajurit Akkadia berwarna coklat hitam.
dari sini saja seharusnya sudah bisa dipastikan jika dia bukan bagian dari prajurit Akkadia.
2023-10-06
0
John Singgih
identitas eleanna yang sebenarnya
2021-08-22
0
JANGAAAAAAAN ITU JEBAKAN! JANGAAAAAAN ( /QAQ)/
2020-01-10
1