Bab 10 ~ Prajurit Akkadia

Akkadia : Gerbang Sungai Tigris

Bab 10 ~ Prajurit Akkadia

Karya R.D. Villam

---

Elanna berusaha terus mengingat-ingat, tentang masa lalunya, tentang siapa dirinya. Dua hari sejak ia sadar, ia tetap belum berhasil. Hal ini mulai membuatnya takut. Namun seperti kata Kakek, mungkin ia harus lebih banyak beristirahat, dan setelah ia pulih, ia bisa bergerak ke mana pun ia mau dan mencari tahu tentang dirinya.

Empat hari berikutnya tubuh Elanna semakin kuat. Ia sudah bisa mondar-mandir di kamarnya, dan mulai yakin bisa berjalan jauh sampai ke kota. Luka-luka di tubuhnya pun sudah hampir tidak terasa. Mungkin ini saat yang tepat untuk pergi.

Ia keluar dari kamar, menemui Ramir yang tengah berada di samping rumah. Pemuda itu sedang duduk di bawah pohon membelakanginya, sedang mengerjakan sesuatu.

”Kau sedang apa, Ramir?” Elanna menegurnya.

Ramir menoleh, sesaat tampak terkejut melihat kemunculannya, lalu tersenyum lebar. Ia memperlihatkan sebilah pisau di tangan kanannya dan batang kayu sepanjang tinggi tubuhnya di tangan kirinya. ”Aku sedang membuat tombak.”

”Tombak?” Elanna duduk di samping anak laki-laki itu. ”Buat apa?”

”Menombak ikan di sungai.”

“Oh.” Elanna mengangguk-angguk. ”Kupikir tadi untuk ...”

Ramir menoleh dan menatapnya. ”Berjaga-jaga?”

”Ya. Mungkin untuk berjaga-jaga.”

”Dari siapa?” tanya Ramir datar.

Elanna menyeringai. ”Dariku, mungkin?”

Wajah Ramir berubah gelap, dan ia meruncingkan tombak dengan pisaunya sepenuh tenaga. ”Kau akan mencelakaiku nanti? Begitu kau kembali menjadi prajurit?”

Elanna tertawa. ”Tentu saja tidak! Aku cuma bercanda.”

Ramir menatapnya lama, kemudian tersenyum. Sesaat Elanna melihat, tatapan pemuda itu kini terasa sedikit berbeda. Jauh lebih akrab.

”Kenapa, Ramir? Kenapa menatapku begitu?”

Wajah pemuda itu memerah, dan ia menunduk. ”Ah, tidak.”

Elanna mendekat. ”Menurutku, kau bisa berburu ikan lebih mudah dengan menggunakan panah.”

”Benarkah?” Ramir mengusap-usap rambutnya. ”Kupikir dengan tombak lebih mudah.”

Elanna tertegun. ”Betul, aku ... tak tahu. Kenapa aku bicara begitu, ya?”

”Mungkin kau biasa memanah.”

”Memanah?” Elanna termenung.

Ramir mengangguk. ”Aku kenal seseorang, tak jauh dari sini. Dia punya busur yang biasa ia pakai saat berburu. Mau kupinjamkan? Mungkin bisa membuatmu lebih cepat mengingat.”

”Itu bagus.” Elanna mengangguk senang. ”Kita bisa ke sana. Tetapi saat ini, bagaimana kalau kita menombak ikan dulu? Kedengarannya menarik.”

Keduanya berjalan ke arah sungai, melewati jalan setapak, menyeberangi ladang gandum dan pepohonan yang lebat, mendaki dan menuruni bukit. Perjalanan yang cukup jauh. Elanna mengira mereka hanya akan berjalan sebentar, tetapi ternyata lumayan lama. Awalnya ia takut jika nanti ia sampai lelah, tetapi anehnya, begitu sampai di sungai ia sama sekali tak merasa lelah sedikit pun . Elanna senang; ia belajar satu hal lagi tentang dirinya.

Ramir berjalan di depan, melangkah di atas bebatuan di tepi sungai, semakin jauh ke tengah. Elanna menatap sekelilingnya, ke arah batu, pepohonan, dan akhirnya ke sungai yang suaranya keras menderu. Sungai deras, mengalir dari utara ke selatan.

Apa yang bisa aku ingat dari sungai ini?

”Hei, Elanna!” seruan Ramir terdengar dari jauh. ”Mau lihat aku menombak?”

”Ya!” Elanna melepaskan pikirannya dan melompat-lompat dengan ringan di atas bebatuan. Dalam sekejap ia sudah berdiri di samping Ramir, di atas sebuah batu besar lima tombak dari tepi sungai.

Ramir menatapnya kagum. ”Wah, cepat sekali!”

Barulah Elanna tersadar, dan ia langsung menyeringai. ”Aku juga heran.”

”Seperti kalyx! Kucing itu ... tetapi ...” Ramir tiba-tiba termangu. ”Mungkin memang ...”

”Kucing hutan?” Elanna tertawa kecil mendengar ucapan Ramir. ”Bisa bercanda juga kau. Apakah mereka ada banyak di hutan ini?”

Ramir malah memandanginya dengan tatapan aneh. ”Mmm ... kau bisa lihat mereka nanti. Tetapi sebelum itu, coba lihat ini. Biasanya aku bisa menombak ikan dengan baik.”

Ia memegang erat tombak di tangan kanannya. Ujung tombak yang runcing mengarah miring ke air sungai di bawah batu tempat Ramir berdiri. Air di sana cukup tenang, tidak deras, karena terlindungi deretan bebatuan yang mengelilinginya. Itu adalah tempat singgah yang cocok bagi para ikan. Ramir menatap tajam air sungai itu. Setelah menentukan sasaran, dengan sebuah hentakan di lengannya ia melemparkan tombaknya lurus ke bawah.

Wuuutt! Tombaknya menancap ke dasar sungai.

Ramir menggeleng kecewa. ”Padahal sudah hampir kena! Kau lihat? Lari ke mana dia?”

Elanna melihatnya. Ikan hitam sepanjang lengan orang dewasa yang tadi nyaris terkena tombak Ramir, tetapi bisa menghindar di saat terakhir.

”Coba saja lagi,” kata Elanna. ”Kau hanya tidak beruntung.”

”Kau mau mencobanya?”

”Boleh?”

”Tentu saja.” Ramir menyerahkan tombaknya dengan senang hati. ”Tidak usah terburu-buru. Perhatikan gerakan mereka hendak ke mana, dan fokus pada satu—”

Belum selesai Ramir berbicara, Elanna sudah melemparkan tombaknya. Yang langsung menancap di dasar sungai.

Seekor ikan menggelepar di ujungnya.

Ramir terbelalak. ”Kau ... berhasil! Dengan sekali lempar!”

Elanna mencabut tombaknya tanpa tersenyum. Ia memperhatikan sejenak ikan yang menggelepar-gelepar di ujung tombaknya, sebelum mencabut dan memasukkan ikan itu ke dalam keranjang dari akar pepohonan yang tergantung di pinggang Ramir.

”Ah, kau keterlaluan, Elanna!” Ramir langsung merampas tombak dari tangan Elanna, kemudian melompat dari atas batu men-jauhinya. ”Kurasa sudah cukup.”

Elanna heran. ”Apa maksudmu? Aku salah mencabutnya? Atau melempar tombaknya?”

”Bukan itu!” Ramir terus berjalan ke tepian tanpa menoleh.

Gadis itu menggeleng-geleng tak mengerti. ”Hei, Ramir, maafkan aku.”

”Bukan itu!”

”Kalau begitu apa?!” seru Elanna kesal.

Kali ini Ramir menoleh. Ia sudah berdiri di tepi sungai, lima tombak dari Elanna. ”Maksudku, kemampuanmu yang keterlaluan, Elanna! Melompat seperti kucing, menombak ikan dengan mudah, berjalan jauh tanpa berkeringat—ya, maafkan aku terus memperhatikanmu sejak tadi. Dan, aku yakin kau pasti lebih hebat lagi dengan busur dan panah!”

”Maaf jika itu membuatmu kesal ...” Elanna mendesah. ”Mungkin ... karena aku seorang prajurit, sehingga aku bisa seperti itu. Itu sudah biasa, kan?"

Ramir menggeleng. ”Tidak, Elanna. Kurasa kau bukan prajurit biasa. Hah, aku memang bodoh, karena baru saja aku berharap kau adalah seorang gadis desa biasa, yang akan kagum jika melihatku menombak ikan! Padahal aku sudah tahu sebelumnya, kau tidak seperti itu!”

Elanna tertegun. ”Apa maksudmu?”

”Kau Elanna, kau adalah Sang Penjaga ...”

Elanna mengerutkan keningnya bingung. Ia merasa tak mendengar ujung akhir kata-kata Ramir, hingga ia pun bertanya, ”Apa?”

Di luar dugaannya, pemuda itu menggeleng.

”Apa?!” Elanna bertanya lebih keras.

Bibir Ramir bergetar, tampak di kejauhan. Alih-alih menjawab, pemuda itu tiba-tiba berbalik, berjalan cepat menjauhi sungai.

”Hei!” Elanna melompat tinggi, melenting dua kali di atas bebatuan, dan tiba-tiba sudah berada di depan Ramir. Ia mencengkeram bahu pemuda itu. ”Ramir, apa maksudmu tadi?”

Ramir meringis. ”Ah! Kau menyakitiku, Elanna.”

”Ma—maaf.” Elanna tersadar dan segera melepaskan cengkeramannya. ”Maaf. Aku ... aku tak akan menyakitimu. Tetapi tolong katakan, apa maksudmu tadi. Kau menyebutku apa?”

Ramir belum menjawab, ketika lalu terdengar suara seseorang di belakang Elanna.

”Ah, benar dugaanku. Di sini kalian rupanya!”

Elanna memutar tubuh. Tak jauh di depannya berdiri seorang lelaki tua: kakek Ramir. Dan di belakang kakek itu berdiri sepuluh lelaki lainnya. Orang-orang itu membawa tombak dan perisai berbentuk lingkaran bergambar kepala kerbau. Mereka berseragam warna cokelat tua, dengan pelindung dada, pelindung lengan, dan sabuk berwarna hitam. Di kepala mereka terpasang helm hitam dengan sepasang tanduk di atasnya. Pasukan Akkadia?

Elanna belum tahu apakah harus senang atau justru sebaliknya, jadi ia hanya berdiri. Para prajurit saling berpandangan sesaat begitu melihat reaksinya.

Si kakek mendekat dengan wajah berseri. Begitu tiba di hadapan Elanna, dia berkata, ”Aku baru saja sampai di rumah tadi dan kulihat kalian berdua tidak ada. Tetapi aku tahu ke mana Ramir biasanya pergi. Aku membawa kabar gembira untukmu, Nona.”

”Kau boleh memangggilku Elanna, Kakek.”

Si kakek tersenyum. ”Tetapi itu bukan nama aslimu.”

Seorang prajurit, yang tampaknya adalah komandan pasukan, berkata, ”Kapten Zylia Zarkaef, aku Letnan Cherib. Kami senang bisa bertemu anda lagi.”

”Zylia ... Zarkaef?” Elanna termangu mendengar nama itu dan berusaha mengingat-ingat.

Tetapi ia tidak ingat apa pun. Ia menoleh ke arah Ramir di sampingnya, lalu menatap si kakek tajam. ”Itukah nama asliku?”

Si kakek mengangguk. ”Di kota aku sempat bercerita pada seorang pasien, bahwa aku menemukan seseorang yang kehilangan ingatan dengan ciri-ciri seperti dirimu. Berita itu tersebar cepat dan kemarin para prajurit ini mendatangiku. Awalnya aku takut, tetapi Letnan Cherib yang baik menceritakan kejadian yang kau alami, yang membuatmu terluka. Jadi hari ini aku membawa mereka kemari untuk menjemputmu.”

”Tunggu.” Elanna mengangkat tangannya. Ia masih ragu. Diam sejenak, lalu ia bertanya, ”Bisa kau ceritakan seperti apa kejadiannya?”

Cherib mengangguk hormat. ”Sebaiknya nanti, Kapten, dalam perjalanan saja. Kita harus segera pergi ke Nappur, lalu ke Akshak. Sang panglima sudah menunggu di sana.”

Elanna belum bisa menjawab. Apakah benar ia seorang kapten dalam pasukan Akkadia?

Ya, rasanya ia bisa mengingat seseorang pernah memanggilnya dengan sebutan kapten.

Cherib berkata lagi, ”Untuk mempercepat ingatanmu, aku juga telah membawakan jubah kaptenmu. Pakailah, dan kau akan segera merasakan siapa dirimu sebenarnya.”

”Jubahku? Tetapi kupikir itu ada di—”

Belum selesai Elanna berbicara, Cherib sudah menyerahkan sebuah kain terlipat berwarna hitam kepadanya. Ragu-ragu Elanna mengambil dan mengembangkannya. Kemudian ia melingkarkan ujung jubah itu di lehernya, dan mengikat talinya. Pas sekali di tubuhnya. Jubah hitam ini pas menutup bahunya dan menjuntai panjang sampai ke betis.

Ia mengangguk. ”Baik, kalau memang begitu ... kita segera pergi.”

Elanna berjalan lima langkah, tetapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia berbalik, ke arah pemuda tanggung yang kini menatapnya dengan dingin.

Ia ingat kata-kata pemuda itu: begitu ia kembali menjadi prajurit Akkadia, maka pemuda itu memohon agar ia melupakan dirinya, kakeknya, dan juga tempat ini. Pemuda itu bahkan memohon agar ia jangan mengganggu mereka lagi.

Elanna mengerti, kini pemuda itu tidak lagi menginginkan dirinya berada di sini.

Terpopuler

Comments

adi_nata

adi_nata

waktu ditemukan, Teeza memakai pakaian berwarna hijau, sedangkan seragam prajurit Akkadia berwarna coklat hitam.

dari sini saja seharusnya sudah bisa dipastikan jika dia bukan bagian dari prajurit Akkadia.

2023-10-06

0

John Singgih

John Singgih

identitas eleanna yang sebenarnya

2021-08-22

0

JANGAAAAAAAN ITU JEBAKAN! JANGAAAAAAN ( /QAQ)/

2020-01-10

1

lihat semua
Episodes
1 Prolog ~ Sejarah dan Legenda
2 Bab 1 ~ Penjelajah Mimpi
3 Bab 2 ~ Kucing Ajaib
4 Bab 3 ~ Makhluk Terkutuk
5 Bab 4 ~ Dari Kegelapan
6 Bab 5 ~ Misi dan Tugas
7 Bab 6 ~ Pemburu Malam
8 Bab 7 ~ Gada Geledek
9 Bab 8 ~ Tebing Batu
10 Bab 9 ~ Si Rambut Perak
11 Bab 10 ~ Prajurit Akkadia
12 Bab 11 ~ Sang Terpilih
13 Bab 12 ~ Kelompok Rahasia
14 Bab 13 ~ Pintu Dunia
15 Bab 14 ~ Pengundang Maut
16 Bab 15 ~ Senyuman Terakhir
17 Bab 16 ~ Permaisuri Awan
18 Bab 17 ~ Pencari Ilmu
19 Bab 18 ~ Penjaga Ilmu
20 Bab 19 ~ Penyusup
21 Bab 20 ~ Rencana Sederhana
22 Bab 21 ~ Penyelamat
23 Bab 22 ~ Anak Bodoh
24 Bab 23 ~ Pembawa Maut
25 Bab 24 ~ Jubah Putih
26 Bab 25 ~ Penyembuh
27 Bab 26 ~ Gadis Bertombak
28 Bab 27 ~ Sang Panglima
29 Bab 28 ~ Senjata Pusaka
30 Bab 29 ~ Elang Gunung
31 Bab 30 ~ Pembantaian
32 Bab 31 ~ Awal Cerita
33 Bab 32 ~ Pemegang Kunci
34 Bab 33 ~ Pegunungan Utara
35 Bab 34 ~ Pondok Kedamaian
36 Bab 35 ~ Medali Putih
37 Bab 36 ~ Kuil Ishtar
38 Bab 37 ~ Makhluk Api
39 Bab 38 ~ Pemakan Batu
40 Bab 39 ~ Pembasmi Gharoul
41 Bab 40 ~ Penjaga Kuburan
42 Bab 41 ~ Musuh Dari Utara
43 Bab 42 ~ Raja-Raja Elam
44 Bab 43 ~ Pemimpin Rakyat
45 Bab 44 ~ Taring Barion
46 Bab 45 ~ Teman Pemabuk
47 Bab 46 ~ Prajurit Terhormat
48 Bab 47 ~ Peluit Karquri
49 Bab 48 ~ Puncak Tebing
50 Bab 49 ~ Serbuan Barion
51 Bab 50 ~ Pembuka Gerbang
52 Bab 51 ~ Panglima Elam
53 Bab 52 ~ Penyergapan
54 Bab 53 ~ Menuju Pertempuran
55 Bab 54 ~ Pertempuran Berdarah
56 Bab 55 ~ Gelombang Terakhir
57 Bab 56 ~ Bergerak Maju
58 Bab 57 ~ Serangan Balik
59 Bab 58 ~ Perpecahan
60 Bab 59 ~ Penggali Dendam
61 Bab 60 ~ Sang Pembunuh
62 Bab 61 ~ Dendam Masa Lalu
63 Bab 62 ~ Pengepungan
64 Bab 63 ~ Yang Tersisa
65 Bab 64 ~ Di Ambang Kehancuran
66 Bab 65 ~ Bukit Kematian
67 Bab 66 ~ Perintah Sargon
68 Bab 67 ~ Kegagalan
69 Bab 68 ~ Pembunuh Bayaran
70 Bab 69 ~ Keinginan Raja-Raja
71 Bab 70 ~ Sandera
72 Bab 71 ~ Setelah Pembantaian
73 Bab 72 ~ Makhluk Terpilih
74 Bab 73 ~ Kubah Putih
75 Bab 74 ~ Nyanyian Malaikat
76 Bab 75 ~ Menembus Kabut
77 Bab 76 ~ Pemberontak
78 Bab 77 ~ Monster Pembunuh
79 Bab 78 ~ Persekutuan Maut
80 Bab 79 ~ Rencana Baru
81 Bab 80 ~ Syarat Pertemuan
82 Bab 81 ~ Pertaruhan Terakhir
83 Bab 82 ~ Tempat Persembunyian
84 Bab 83 ~ Pekerjaan Mengerikan
85 Bab 84 ~ Dalam Mimpi
86 Bab 85 ~ Dari Mimpi
87 Bab 86 ~ Pembuka Mimpi
88 Bab 87 ~ Peringatan
89 Bab 88 ~ Pelayan Setia
90 Bab 89 ~ Gua Gharoul
91 Bab 90 ~ Serangan Kilat
92 Bab 91 ~ Sang Dewa
93 Bab 92 ~ Musuh Favorit
94 Bab 93 ~ Semakin Dalam
95 Bab 94 ~ Sang Ratu
96 Bab 95 ~ Adik dan Kakak
97 Bab 96 ~ Pertemuan
98 Bab 97 ~ Siksaan Kabut
99 Bab 98 ~ Doa
100 Bab 99 ~ Pintu Kegelapan
101 Bab 100 ~ Melepaskan
102 Bab 101 ~ Penguasa Gua
103 Bab 102 ~ Harapan
104 Bab 103 ~ Perpisahan
105 Epilog (1) ~ Negeri Salju
106 Epilog (2) ~ Sang Pelindung
107 Epilog (3) ~ Danau Es
108 Epilog (4) ~ Dalam Cahaya
Episodes

Updated 108 Episodes

1
Prolog ~ Sejarah dan Legenda
2
Bab 1 ~ Penjelajah Mimpi
3
Bab 2 ~ Kucing Ajaib
4
Bab 3 ~ Makhluk Terkutuk
5
Bab 4 ~ Dari Kegelapan
6
Bab 5 ~ Misi dan Tugas
7
Bab 6 ~ Pemburu Malam
8
Bab 7 ~ Gada Geledek
9
Bab 8 ~ Tebing Batu
10
Bab 9 ~ Si Rambut Perak
11
Bab 10 ~ Prajurit Akkadia
12
Bab 11 ~ Sang Terpilih
13
Bab 12 ~ Kelompok Rahasia
14
Bab 13 ~ Pintu Dunia
15
Bab 14 ~ Pengundang Maut
16
Bab 15 ~ Senyuman Terakhir
17
Bab 16 ~ Permaisuri Awan
18
Bab 17 ~ Pencari Ilmu
19
Bab 18 ~ Penjaga Ilmu
20
Bab 19 ~ Penyusup
21
Bab 20 ~ Rencana Sederhana
22
Bab 21 ~ Penyelamat
23
Bab 22 ~ Anak Bodoh
24
Bab 23 ~ Pembawa Maut
25
Bab 24 ~ Jubah Putih
26
Bab 25 ~ Penyembuh
27
Bab 26 ~ Gadis Bertombak
28
Bab 27 ~ Sang Panglima
29
Bab 28 ~ Senjata Pusaka
30
Bab 29 ~ Elang Gunung
31
Bab 30 ~ Pembantaian
32
Bab 31 ~ Awal Cerita
33
Bab 32 ~ Pemegang Kunci
34
Bab 33 ~ Pegunungan Utara
35
Bab 34 ~ Pondok Kedamaian
36
Bab 35 ~ Medali Putih
37
Bab 36 ~ Kuil Ishtar
38
Bab 37 ~ Makhluk Api
39
Bab 38 ~ Pemakan Batu
40
Bab 39 ~ Pembasmi Gharoul
41
Bab 40 ~ Penjaga Kuburan
42
Bab 41 ~ Musuh Dari Utara
43
Bab 42 ~ Raja-Raja Elam
44
Bab 43 ~ Pemimpin Rakyat
45
Bab 44 ~ Taring Barion
46
Bab 45 ~ Teman Pemabuk
47
Bab 46 ~ Prajurit Terhormat
48
Bab 47 ~ Peluit Karquri
49
Bab 48 ~ Puncak Tebing
50
Bab 49 ~ Serbuan Barion
51
Bab 50 ~ Pembuka Gerbang
52
Bab 51 ~ Panglima Elam
53
Bab 52 ~ Penyergapan
54
Bab 53 ~ Menuju Pertempuran
55
Bab 54 ~ Pertempuran Berdarah
56
Bab 55 ~ Gelombang Terakhir
57
Bab 56 ~ Bergerak Maju
58
Bab 57 ~ Serangan Balik
59
Bab 58 ~ Perpecahan
60
Bab 59 ~ Penggali Dendam
61
Bab 60 ~ Sang Pembunuh
62
Bab 61 ~ Dendam Masa Lalu
63
Bab 62 ~ Pengepungan
64
Bab 63 ~ Yang Tersisa
65
Bab 64 ~ Di Ambang Kehancuran
66
Bab 65 ~ Bukit Kematian
67
Bab 66 ~ Perintah Sargon
68
Bab 67 ~ Kegagalan
69
Bab 68 ~ Pembunuh Bayaran
70
Bab 69 ~ Keinginan Raja-Raja
71
Bab 70 ~ Sandera
72
Bab 71 ~ Setelah Pembantaian
73
Bab 72 ~ Makhluk Terpilih
74
Bab 73 ~ Kubah Putih
75
Bab 74 ~ Nyanyian Malaikat
76
Bab 75 ~ Menembus Kabut
77
Bab 76 ~ Pemberontak
78
Bab 77 ~ Monster Pembunuh
79
Bab 78 ~ Persekutuan Maut
80
Bab 79 ~ Rencana Baru
81
Bab 80 ~ Syarat Pertemuan
82
Bab 81 ~ Pertaruhan Terakhir
83
Bab 82 ~ Tempat Persembunyian
84
Bab 83 ~ Pekerjaan Mengerikan
85
Bab 84 ~ Dalam Mimpi
86
Bab 85 ~ Dari Mimpi
87
Bab 86 ~ Pembuka Mimpi
88
Bab 87 ~ Peringatan
89
Bab 88 ~ Pelayan Setia
90
Bab 89 ~ Gua Gharoul
91
Bab 90 ~ Serangan Kilat
92
Bab 91 ~ Sang Dewa
93
Bab 92 ~ Musuh Favorit
94
Bab 93 ~ Semakin Dalam
95
Bab 94 ~ Sang Ratu
96
Bab 95 ~ Adik dan Kakak
97
Bab 96 ~ Pertemuan
98
Bab 97 ~ Siksaan Kabut
99
Bab 98 ~ Doa
100
Bab 99 ~ Pintu Kegelapan
101
Bab 100 ~ Melepaskan
102
Bab 101 ~ Penguasa Gua
103
Bab 102 ~ Harapan
104
Bab 103 ~ Perpisahan
105
Epilog (1) ~ Negeri Salju
106
Epilog (2) ~ Sang Pelindung
107
Epilog (3) ~ Danau Es
108
Epilog (4) ~ Dalam Cahaya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!