Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Bab 7 ~ Gada Geledek
Karya R.D. Villam
- - -
“Kurasa sebaiknya kita menunggu Teeza.”
Suara Naia terdengar cemas. Fares mengikuti arah pandangan gadis itu, ke lereng berbatu di utara yang baru saja mereka lewati dengan begitu cepatnya seolah-olah mereka sedang dikejar setan. Ya, pasukan barion memang tak ada bedanya dengan makhluk dari neraka, malah mungkin lebih berbahaya. Untungnya hewan-hewan buas itu sudah tidak terlihat.
”Tuan Putri,” Isfan, yang berdiri di samping Fares berkata, ”Kapten meminta kita terus berlari, tak usah mempedulikan apa yang terjadi di belakang.”
Fares menggeleng khawatir. ”Tetap saja, rasanya ada yang salah meninggalkan dia di belakang. Tanganku gatal! Aku ingin menghajar orang-orang Akkadia ini!”
”Kapten tahu apa yang dia lakukan. Dia baik-baik saja.”
”Tapi Tuan Putri mungkin benar,” Fares membantah. ”Bagaimana kalau kita tunggu sebentar? Kalau dia tetap belum datang, baru kita lanjutkan perjalanan.”
”Kita belum aman di sini,” Isfan menukas. ”Kapten telah bertindak cerdik dengan memancing pasukan Akkadia ke timur. Kalau kita tidak cepat bergerak, berarti kita telah menghancurkan rencananya. Tuan Putri, aku mendapat perintah untuk membawamu ke Sungai Tigris. Apakah kau memintaku mengabaikan perintah ini?”
”Tidak ...” Naia menggeleng. ”Walau aku tak menyukai perintah itu, aku percaya pada Teeza. Kita jalan terus.”
Isfan memimpin mereka memasuki celah di antara dua tebing yang menjulang tinggi. Begitu tingginya hingga menghalangi sinar rembulan masuk ke dalam celah. Sedikitnya cahaya membuat suasana tampak remang-remang. Buruknya lagi, Fares pernah mendengar, konon celah ini panjang hingga mencapai dua ratus tombak, cukup membuat ujung yang satunya di selatan tidak terlihat.
Fares berjalan tepat di belakang Naia, di tengah barisan. Tubuhnya yang besar memang membuatnya cocok menjadi pengawal. Dialah yang harus bertindak cepat jika datang ancaman tiba-tiba terhadap Naia. Tugas yang membuatnya senang dan bangga.
Namun, jika dipikir-pikir, apakah Naia benar-benar gadis yang lemah, sehingga harus dilindungi seperti itu? Fares baru benar-benar mengenal Naia enam bulan yang lalu, tetapi waktu yang singkat itu sudah cukup memberitahunya bahwa Naia adalah pemimpin sekaligus prajurit yang handal. Tubuh gadis itu memang kecil—walaupun selalu terlihat kokoh berkat pakaian berlapis yang menutupi tubuhnya—tetapi ia berani dan pandai berpedang. Bahkan mungkin Naia lebih terampil menggunakan pedang dibanding Fares.
”Fares,” bisikan Naia terdengar dari depan.
”Ya?” Fares mendekatkan wajahnya.
”Kau mendengar sesuatu yang aneh?”
Fares mendongak. Ia memperhatikan tebing tinggi di kiri dan kanannya, lalu menggeleng. ”Tidak. Aku tidak melihat ada yang aneh.”
”Maksudku apakah kau mendengar, Fares, bukan melihat,” tukas Naia. ”Kita bukan Teeza, yang bisa melihat dengan jelas di tempat gelap.”
”Oh, maaf.” Fares menajamkan pendengarannya.
Apakah ada yang mencurigakan? Ada suara tiupan, mestinya angin. Ada suara derikan, mestinya jangkrik. Ada suara desisan, mestinya ular.
Ular? Itu bukan suara ular. Itu ...
Bayangan gelap berkelebat di dinding tebing sebelah kanan, dari atas ke bawah. Hanya seperti bayangan batu biasa. Suara desisan panjangnya yang membuatnya tampak aneh. Bayangan itu bergerak semakin cepat begitu menyentuh tanah, mendekat ke arah Naia.
”Awas!” Fares segera mencabut senjata yang tergantung di pinggangnya.
Begitu terangkat, ujung senjata itu mengembang menjadi besar dengan berat berlipat-lipat. Terdengar suara udara terbelah. Ujungnya kini menyala dengan warna kemerahan yang menerangi sepanjang celah tebing, menunjukkan bentuk aslinya: sebuah bola logam dengan ukuran sebesar kepala manusia. Saat ujung senjata itu menghantam bayangan hitam, terdengar suaranya yang memekakkan telinga.
Inilah senjata kebanggaan Fares, warisan keluarga Faradan: Gada Geledek.
Korban yang terkena senjata ini selalu tewas mengenaskan dengan tubuh remuk, seperti sekarang. Begitu mati, wujud asli bayangan hitam itu pun terlihat jelas. Makhluk itu berbulu lebat warna hitam di sekujur tubuhnya. Bentuk tubuhnya hampir mirip manusia, tetapi dengan ukuran tangan yang sama panjang dengan kakinya. Kepalanya botak tak berambut, bola matanya besar berwarna hitam, dan taring-taringnya berwarna hitam pula.
”Gharoul," Naia berkata tertahan.
”Gharoul?” Fares bergumam heran. Ia belum pernah melihat makhluk ini sebelumnya. Sebagian besar orang belum pernah. Bagaimana Naia bisa tahu?
Fares teringat, ayahnya dulu pernah berkata, gharoul bukanlah monster sembarangan. Mereka adalah pembunuh yang berbahaya, yang bersedia menghisap darah makhluk lain tanpa pandang bulu: hewan ataupun manusia. Darah yang tidak disukainya mungkin hanya darah kaum mereka sendiri.
Lebih buruk lagi, mereka tidak pernah berburu sendirian.
”Gunakan gadamu, Fares!” seru Naia.
Fares memutar-mutarkan gada di atas kepalanya, membuatnya terus bersinar. Tempat itu kini terang benderang. Di dinding tebing sebelah kanan tampaklah sosok-sosok hitam merayap. Ada lebih dari sepuluh. Tidak, lebih banyak. Mungkin tiga kalinya.
”Bersiap!” Isfan mengacungkan tombak. ”Lindungi Putri Naia!”
Seluruh prajurit berdiri tegak berjajar di depan Naia. Bagai air bah gerombolan gharoul membanjiri tanah, lalu melompat menerjang mereka. Serempak para prajurit menghunjamkan tombak.
Fares berhasil meremukkan satu lagi kepala musuh. Beberapa gharoul terbantai, tetapi yang lain berhasil menerkam para prajurit yang tidak beruntung.
”Hoahh!” Jerit seorang prajurit terdengar saat sepasang taring gharoul menancap di lehernya.
Jeritan-jeritan lainnya menyusul.
Fares menggebuk makhluk-makhluk itu atau melontarkannya hingga menghantam dinding tebing. Suara menggelegar yang ditimbulkannya sahut-menyahut. Ia berhasil membunuh lagi beberapa, tetapi kemudian terhenyak menyaksikan pemandangan di sekelilingnya.
Di antara tumpukan mayat makhluk itu terbaring tubuh tiga orang rekannya. Darah mengucur deras dari leher mereka. Fares masih bisa lega begitu melihat Naia tetap berdiri tegak tanpa terluka sedikit pun, bahkan mampu bergerak dan mengayunkan pedangnya dengan lincah. Isfan dan enam rekan lainnya juga masih bertahan untuk menghadapi belasan gharoul yang tersisa.
”Tuan Putri!” Isfan berseru di sela pertarungan. ”Sebaiknya cepat ke sungai. Biar Fares menemanimu. Aku dan yang lain akan menahan monster-monster ini.”
”Omong kosong!” Naia membantah sambil mengayunkan pedangnya. ”Aku akan membantumu membereskan mereka!”
”Betul,” Fares menyahut. ”Aku takkan meninggalkan temanku bermain-main sendirian lagi di belakang. Teeza tadi sudah cukup!”
”Kita sedang tidak main-main! Lihat rekan kita yang tewas!” seru Isfan.
”Aku paham! Maksudku, gadakulah yang paling menakutkan mereka!”
”Cukup!” Naia membentak. ”Mereka datang!”
Sisa-sisa gerombolan gharoul melancarkan serangan terakhir mereka bersamaan. Sebagian merayap di tanah, sebagian lagi melompat ke atas.
Serangan dua arah membuat Fares dan rekan-rekannya kewalahan. Fares berhasil melontarkan musuh yang menyerang dari bawah, tapi tak sempat menahan serangan dari atas. Ia jatuh terjengkang, gadanya terlepas. Tubuhnya kini terhimpit seekor gharoul, dan bahu lebarnya dicengkeram kedua tangan monster itu. Taring makhluk itu kini hanya sejengkal dari lehernya.
Tangan kiri Fares mencekik leher makhluk itu, tangan kanannya berusaha mendorong dada musuhnya sekuat tenaga. Fares punya tenaga besar melebihi orang biasa, tetapi tetap belum cukup untuk menahan kekuatan makhluk itu. Taring tajamnya semakin dekat ke leher Fares.
”Grraaah!” Tiba-tiba gharoul itu menjerit kesakitan. Darah kental menetes dari dalam mulutnya yang berbau busuk.
Fares membuang muka sambil mendorong tubuh musuhnya yang kini tak bernyawa ke samping. Di balik gharoul tampak sosok gelap Naia dengan pedangnya, tersengal-sengal.
”Kau baik-baik saja, Fares?” tanya gadis itu.
”Aku—” Belum selesai Fares menjawab, sosok gelap yang lebih besar menyambar Naia, membuat gadis itu menghilang seketika dari pandangan Fares.
Terdengar suara keras saat tubuh Naia menumbuk dinding tebing. Seekor gharoul berada tepat di atas tubuhnya, siap mengoyak lehernya.
”Tidaaakkk!” Fares bangkit meraih gadanya dan lari mendekat.
Namun saat itulah terjadi hal yang menakjubkan. Dari dada Naia tiba-tiba terpancar sinar putih menyilaukan, lurus ke wajah sang gharoul.
Hanya sebentar sinar itu terpancar, tetapi sudah cukup membuat monster itu terjengkang. Di atas tanah ia berguling-guling dan menjerit kesakitan sambil memegangi wajahnya yang terbakar. Asap putih mengepul.
Lima gharoul yang masih hidup tertegun menatap Naia yang terbaring lemah. Mendadak, monster-monster itu berbalik, lari ke arah tebing dan merayap naik. Kabur. Fares tidak membuang kesempatan. Ia menghampiri gharoul terakhir yang tengah sekarat dan menghantam hancur kepalanya.
Fares berjongkok di samping Naia. Isfan dan empat rekannya yang masih hidup berlari mendekat dan berdiri di sekelilingnya, menatap penuh khawatir. Naia duduk bersandar tanpa tenaga di dinding tebing. Napasnya tersengal-sengal, darah segar mengalir dari bibirnya. Tangan kirinya terkepal di depan dada, menggenggam sesuatu.
Benda yang tadi memancarkan sinar putih.
”Tuan Putri ...” Fares hanya berani memanggil, tak berani bertanya.
Ia menebak, bagian tubuh mana di gadis itu yang terhantam telak. Pinggangnya, atau punggungnya? Fares tidak bisa tahu mana yang terluka di balik pakaian tebalnya itu, atau di balik sorbannya.
Oh, tidak. Jangan kepalanya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
adi_nata
semacam palu nya Thor kah ?
2023-10-06
0
John Singgih
sergapan gharoul di lembah
2021-08-15
0
Lebih buruk daripada barion ternyata ;;-;;
Fares sang dewa geledek!!!
2019-12-26
1