Bab 6 ~ Pemburu Malam

Akkadia : Gerbang Sungai Tigris

Bab 6 ~ Pemburu Malam

Karya R.D. Villam

- - -

”Isfan, pimpin jalan,” Teeza memberi perintah. ”Semuanya! Lari! Turun secepat yang kalian bisa. Aku menjaga di belakang. Ingat, apa pun yang terjadi, tetap lari. Jangan menoleh, jangan berhenti.”

Seluruh rekannya mengangguk. Mereka berhambur lari menuruni lereng gunung yang berbatu-batu tajam. Untungnya tak ada awan yang menutupi purnama, sehingga lereng curam di depan mereka dapat terlihat jelas. Mereka bisa mencari jalan yang aman tanpa perlu khawatir terpeleset atau terperosok ke dalam lubang. Resiko jatuh di tempat ini sangat fatal. Paling buruk adalah patah leher, dan paling ringan adalah patah kaki atau tulang rusuk.

Sambil berlari Teeza teringat masa lalunya, berpuluh-puluh tahun yang lampau sebelum ia mengabdi pada keluarga kerajaan Ebla, saat ia masih hidup bersama saudara-saudaranya dari Negeri Es. Saat ia masih terkenal dengan sebutan ’Pemburu Malam’.

Ia tak yakin apakah ada gunanya mengingat-ingat. Namun pengalaman itu ada gunanya. Julukan itu bukan tanpa alasan. Salah satunya, ia mampu berlari menuruni lereng lebih cepat dibanding siapa pun, apalagi saat malam. Walaupun saat ini ia memilih untuk tetap di belakang rekan-rekannya.

Di depannya Naia berlari dikelilingi para prajurit. Pandangan Teeza menyapu ke seluruh penjuru lereng, dari kiri ke kanan, memperhatikan setiap detil batu, semak, dan pepohonan. Busur panjang tergenggam di tangan kirinya, dan anak panah terselip di jari tangan kanannya, siap untuk diluncurkan ke arah makhluk apa pun yang tampak mencurigakan.

Sinar bulan yang benderang memang menguntungkan, tetapi sekaligus juga membahayakan. Jika Teeza bisa melihat Naia dengan jelas di bawahnya, Rahzad pun bisa melakukan hal yang sama.

Teeza menoleh ke belakang. Kuil sudah jauh di atas. Belum terlihat tanda-tanda barion, tetapi ia tidak boleh lengah. Barion adalah hewan pemangsa paling berbahaya. Mereka bisa muncul tiba-tiba dari sudut-sudut tak terduga.

Seperti sekarang. Dari sebelah kiri.

Sosok gelap mendekatinya begitu cepat bagai angin, tanpa suara sama sekali.

Hewan-hewan ini tidak lagi melolong begitu mereka menemukan mangsanya.

Sambil berlari Teeza mengarahkan busurnya, melontarkan panahnya saat makhluk yang datang itu berjarak lima tombak darinya. Anak panah mendesing. Ujung tajamnya menghantam telak tepat di dahi hewan berwarna hitam itu.

Teeza berlari melompat di atas bebatuan kala memperhatikan mayat musuh pertamanya. Barion seperti harimau yang pernah Teeza lihat di negeri timur, tapi memiliki tubuh lebih kokoh. Kulit hitamnya tebal berlapis-lapis dan berkilat apabila terkena sinar rembulan atau matahari. Kulit yang takkan mungkin tertembus senjata biasa, atau jika anak panahnya dilepaskan oleh orang biasa. Beruntung panah tadi tepat menghantam dahinya, yang tidak terlindungi oleh kulit keras tersebut.

Namun itu cuma barion kecil. Hanya pembuka jalan. Teeza tahu ini baru permulaan.

Sekitar lima belas tombak di sebelah kirinya, kini berdiri tiga ekor hewan yang sama tetapi bertubuh lebih besar. Yang lebih buruk, di atas ketiganya duduk masing-masing satu orang prajurit kerajaan, lengkap dengan tombak mereka yang berdiri tegak. Sepasang tanduk panjang di atas helm mereka teracung ke angkasa.

Barion yang berada paling tengah mendongak. Moncongnya terlihat jelas.

"Ow-ouuwgh! Ow-ouuwgh! Ow-ouuwgh!"

Teeza mengumpat. Kini mereka memanggil kawanannya.

Ia berhenti berlari dan memilih berdiri tegak di atas sebuah batu besar, menunggu. Kini ia tahu harus menyingkirkan ketiga musuhnya itu di sini, secepatnya, sebelum mereka mengetahui keberadaan Naia dan rekannya yang lain di bawah.

"Datanglah!" ia menantang.

Ketiga barion melompat dan berlari mendekatinya. Teeza melontarkan panahnya.

Anak panah itu memakan korban pertama. Barion yang ada di tengah tersungkur. Penunggangnya terlontar jauh ke depan lalu meluncur ke bebatuan dengan kepala mengarah ke bawah. Terdengar suara keras kala helm penunggang itu menghantam batu tak jauh di depan Teeza.

Teeza meraih anak panah kedua. Namun belum sempat ia mengarahkannya, sebuah tombak meluncur mendekatinya. Ia segera berjongkok, dan menggunakan kesempatannya di posisi itu. Anak panahnya melayang, menghantam dahi barion berikutnya. Penunggangnya tidak terlontar karena masih memegang erat kendali di leher hewan tunggangannya. Tetapi akibatnya tetap fatal. Kepalanya remuk terlumat tubuh barion yang menimpanya.

Tinggal satu lagi. Sialnya, mereka sudah terlalu dekat. Barion terakhir tinggal berada pada jarak dua tombak di depan Teeza, dan dari sana hewan itu bisa melompat menerkam ke arahnya.

Si penunggang mengangkat tombaknya, berseru, ”Mati kau!”

Jantung Teeza berdebar kencang. Ia akan menjadi daging cacah jika tak segera menghindar. Ia melenting ke samping. Sambil melayang ia melontarkan panah.

Keempat cakar tajam barion menghancurkan batu tempat Teeza tadi berpijak. Namun hewan buas itu tak mampu mengelak dari anak panah yang datang menancap tepat di mata kanannya. Jeritan hewan itu membahana ke seluruh penjuru lembah.

Penunggangnya menusukkan tombak ke tubuh Teeza yang mendarat di tanah. Teeza melepaskan busurnya, melompat mundur dan berguling ke kiri.

Ia berusaha menahan sakit kala bebatuan tajam menusuk bahunya. Tombak berkilat menghantam tanah di samping wajahnya. Teeza menggenggam gagang tombak itu, lalu menariknya sekuat tenaga. Tubuh si penunggang melayang di atasnya, jatuh terhempas ke belakang.

”Grouuwgh!”

Darah Teeza membeku. Sang barion menggeram di depannya, menampakkan kedua taring yang panjang dan tajam bagai belati. Anak panah yang menancap di mata hewan tersebut rupanya belum mampu membunuhnya. Teeza segera memutar tombak.

Begitu barion itu menerkam, Teeza menghunjamkan tombak tepat memasuki mulut hewan itu. ”Makan ini!”

Teeza memejam kala darah hewan itu menyembur. Sekuat tenaga ia menekan tombak, mendorong tubuh hewan itu ke samping. Ia bergeser ke kiri, melepaskan diri dari himpitan barion. Belum sempat ia memulihkan tenaga, suara langkah kaki terdengar dari belakang.

Teeza menunduk, berguling ke depan. Sebuah golok besar berkelebat di atas kepalanya. Milik si penunggang barion terakhir.

Teeza mencabut belati dari sampingnya. Ia berlari ke arah batu besar di depannya, melompat. Tubuhnya berputar di udara, ke belakang, melewati si penunggang yang terpana di bawah melihat gerakan lincahnya. Keterkejutan musuhnya hanya sesaat, karena belati Teeza datang cepat mengiris lehernya.

Tersengal, Teeza memandangi mayat musuh terakhirnya. Ia menoleh ke belakang,. Sebarisan sosok gelap tampak di atas lereng. Seratus, kurang lebih. Barion dan para prajurit kerajaan penunggangnya. Hewan buas itu tidak melolong. Mungkin memang tidak perlu lagi, begitu sudah menemukan Teeza sebagai calon mangsa mereka.

Teeza menggeleng-geleng, putus asa. Tak seorang pun mampu melawan seratus barion seorang diri. Sudah bagus ia tadi bisa membunuh empat ekor.

Ia menoleh ke kaki gunung, memperhatikan sebelas titik yang bergerak semakin jauh. Ia lega. Paling tidak seluruh rekannya menuruti perintahnya untuk tetap lari apa pun yang terjadi. Sekarang tinggal giliran Teeza untuk beradu dengan para barion, siapa yang bisa berlari lebih cepat. Siapa yang bisa lebih dulu mendekati Naia.

Ia mengambil busur, mulai berlari. Dengan lincah kedua kakinya menjejak batu-batu besar, membawa tubuhnya melenting jauh menuruni lereng. Di belakangnya gemuruh barion terdengar. Begitu banyaknya hingga suara dengusan mereka terdengar jelas.

Teeza memperkuat tolakan kakinya. Tubuhnya melayang semakin tinggi. Tetapi ... mungkin itulah kesalahannya. Saat ia ’terbang’, benda dingin dan tajam menghunjam bahu kirinya. Mengiris kulit, kemudian mengoyak dagingnya, dan akhirnya menyentuh tulangnya. Teeza menjerit. Sebuah anak panah menancap di bahu kirinya. Ia kehilangan keseimbangan saat mendarat, dan tersungkur, merasakan batu tajam menyayat pipi dan bibirnya.

Secepatnya ia berusaha berdiri. Tangan kanannya meraih panah yang menancap di belakang bahunya. Sambil menahan sakit, sekuat tenaga ia mencabut panah itu. Gemetar, Teeza memperhatikan bulu-bulu berwarna perak di bagian belakang anak panah itu, yang mirip dengan bulu-bulu pada anak panah miliknya.

Panah Rahzad?

Teeza menoleh panik ke arah gerombolan barion dan para penunggangnya yang turun mendekatinya. Tetapi Rahzad—jika benar ia yang melontarkan panah—tidak mungkin meleset. Rahzad bisa membunuhnya dengan mudah kalau dia mau.

Menahan sakit, Teeza kembali berlari. Seluruh rekannya hampir memasuki celah sempit di antara dua tebing. Sebentar lagi mereka sampai di sungai.

Tetapi, apa itu?

Teeza menajamkan penglihatan. Beberapa bayangan hitam merayap di dinding tebing yang menjulang tinggi, turun menuju Naia dan dan sekelompok kecil prajuritnya. Teeza belum yakin itu apa, tetapi kelihatannya berbahaya.

Ia langsung berseru, ”Jangan ke sana! Jangan lewat celah itu! Putari tebing ke kiri!”

Terlalu jauh. Naia dan yang lainnya takkan mampu mendengar suaranya.

Teeza mencoba berpikir jernih. Mana yang lebih berbahaya: bayangan hitam di tebing itu atau segerombolan barion di belakangnya?

Mungkin lebih baik ia memancing barion itu dulu ke tempat lain, menjauh dari Naia dan rombongannya. Ia menoleh ke kiri, ke arah perbukitan batu di timur.

Teeza pun berbelok. Sengaja ia melambatkan larinya agar para barion tetap mampu mengejarnya.

Pancingannya berhasil. Gerombolan buas dari Akkadia itu berbelok mengejarnya.

Terpopuler

Comments

Alter-Ruu

Alter-Ruu

all things need sacrifice... even in love and life

2021-09-23

1

John Singgih

John Singgih

situasi yang sulit & berbahaya

2021-08-15

0

Lia Wiliani

Lia Wiliani

434

2021-01-04

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog ~ Sejarah dan Legenda
2 Bab 1 ~ Penjelajah Mimpi
3 Bab 2 ~ Kucing Ajaib
4 Bab 3 ~ Makhluk Terkutuk
5 Bab 4 ~ Dari Kegelapan
6 Bab 5 ~ Misi dan Tugas
7 Bab 6 ~ Pemburu Malam
8 Bab 7 ~ Gada Geledek
9 Bab 8 ~ Tebing Batu
10 Bab 9 ~ Si Rambut Perak
11 Bab 10 ~ Prajurit Akkadia
12 Bab 11 ~ Sang Terpilih
13 Bab 12 ~ Kelompok Rahasia
14 Bab 13 ~ Pintu Dunia
15 Bab 14 ~ Pengundang Maut
16 Bab 15 ~ Senyuman Terakhir
17 Bab 16 ~ Permaisuri Awan
18 Bab 17 ~ Pencari Ilmu
19 Bab 18 ~ Penjaga Ilmu
20 Bab 19 ~ Penyusup
21 Bab 20 ~ Rencana Sederhana
22 Bab 21 ~ Penyelamat
23 Bab 22 ~ Anak Bodoh
24 Bab 23 ~ Pembawa Maut
25 Bab 24 ~ Jubah Putih
26 Bab 25 ~ Penyembuh
27 Bab 26 ~ Gadis Bertombak
28 Bab 27 ~ Sang Panglima
29 Bab 28 ~ Senjata Pusaka
30 Bab 29 ~ Elang Gunung
31 Bab 30 ~ Pembantaian
32 Bab 31 ~ Awal Cerita
33 Bab 32 ~ Pemegang Kunci
34 Bab 33 ~ Pegunungan Utara
35 Bab 34 ~ Pondok Kedamaian
36 Bab 35 ~ Medali Putih
37 Bab 36 ~ Kuil Ishtar
38 Bab 37 ~ Makhluk Api
39 Bab 38 ~ Pemakan Batu
40 Bab 39 ~ Pembasmi Gharoul
41 Bab 40 ~ Penjaga Kuburan
42 Bab 41 ~ Musuh Dari Utara
43 Bab 42 ~ Raja-Raja Elam
44 Bab 43 ~ Pemimpin Rakyat
45 Bab 44 ~ Taring Barion
46 Bab 45 ~ Teman Pemabuk
47 Bab 46 ~ Prajurit Terhormat
48 Bab 47 ~ Peluit Karquri
49 Bab 48 ~ Puncak Tebing
50 Bab 49 ~ Serbuan Barion
51 Bab 50 ~ Pembuka Gerbang
52 Bab 51 ~ Panglima Elam
53 Bab 52 ~ Penyergapan
54 Bab 53 ~ Menuju Pertempuran
55 Bab 54 ~ Pertempuran Berdarah
56 Bab 55 ~ Gelombang Terakhir
57 Bab 56 ~ Bergerak Maju
58 Bab 57 ~ Serangan Balik
59 Bab 58 ~ Perpecahan
60 Bab 59 ~ Penggali Dendam
61 Bab 60 ~ Sang Pembunuh
62 Bab 61 ~ Dendam Masa Lalu
63 Bab 62 ~ Pengepungan
64 Bab 63 ~ Yang Tersisa
65 Bab 64 ~ Di Ambang Kehancuran
66 Bab 65 ~ Bukit Kematian
67 Bab 66 ~ Perintah Sargon
68 Bab 67 ~ Kegagalan
69 Bab 68 ~ Pembunuh Bayaran
70 Bab 69 ~ Keinginan Raja-Raja
71 Bab 70 ~ Sandera
72 Bab 71 ~ Setelah Pembantaian
73 Bab 72 ~ Makhluk Terpilih
74 Bab 73 ~ Kubah Putih
75 Bab 74 ~ Nyanyian Malaikat
76 Bab 75 ~ Menembus Kabut
77 Bab 76 ~ Pemberontak
78 Bab 77 ~ Monster Pembunuh
79 Bab 78 ~ Persekutuan Maut
80 Bab 79 ~ Rencana Baru
81 Bab 80 ~ Syarat Pertemuan
82 Bab 81 ~ Pertaruhan Terakhir
83 Bab 82 ~ Tempat Persembunyian
84 Bab 83 ~ Pekerjaan Mengerikan
85 Bab 84 ~ Dalam Mimpi
86 Bab 85 ~ Dari Mimpi
87 Bab 86 ~ Pembuka Mimpi
88 Bab 87 ~ Peringatan
89 Bab 88 ~ Pelayan Setia
90 Bab 89 ~ Gua Gharoul
91 Bab 90 ~ Serangan Kilat
92 Bab 91 ~ Sang Dewa
93 Bab 92 ~ Musuh Favorit
94 Bab 93 ~ Semakin Dalam
95 Bab 94 ~ Sang Ratu
96 Bab 95 ~ Adik dan Kakak
97 Bab 96 ~ Pertemuan
98 Bab 97 ~ Siksaan Kabut
99 Bab 98 ~ Doa
100 Bab 99 ~ Pintu Kegelapan
101 Bab 100 ~ Melepaskan
102 Bab 101 ~ Penguasa Gua
103 Bab 102 ~ Harapan
104 Bab 103 ~ Perpisahan
105 Epilog (1) ~ Negeri Salju
106 Epilog (2) ~ Sang Pelindung
107 Epilog (3) ~ Danau Es
108 Epilog (4) ~ Dalam Cahaya
Episodes

Updated 108 Episodes

1
Prolog ~ Sejarah dan Legenda
2
Bab 1 ~ Penjelajah Mimpi
3
Bab 2 ~ Kucing Ajaib
4
Bab 3 ~ Makhluk Terkutuk
5
Bab 4 ~ Dari Kegelapan
6
Bab 5 ~ Misi dan Tugas
7
Bab 6 ~ Pemburu Malam
8
Bab 7 ~ Gada Geledek
9
Bab 8 ~ Tebing Batu
10
Bab 9 ~ Si Rambut Perak
11
Bab 10 ~ Prajurit Akkadia
12
Bab 11 ~ Sang Terpilih
13
Bab 12 ~ Kelompok Rahasia
14
Bab 13 ~ Pintu Dunia
15
Bab 14 ~ Pengundang Maut
16
Bab 15 ~ Senyuman Terakhir
17
Bab 16 ~ Permaisuri Awan
18
Bab 17 ~ Pencari Ilmu
19
Bab 18 ~ Penjaga Ilmu
20
Bab 19 ~ Penyusup
21
Bab 20 ~ Rencana Sederhana
22
Bab 21 ~ Penyelamat
23
Bab 22 ~ Anak Bodoh
24
Bab 23 ~ Pembawa Maut
25
Bab 24 ~ Jubah Putih
26
Bab 25 ~ Penyembuh
27
Bab 26 ~ Gadis Bertombak
28
Bab 27 ~ Sang Panglima
29
Bab 28 ~ Senjata Pusaka
30
Bab 29 ~ Elang Gunung
31
Bab 30 ~ Pembantaian
32
Bab 31 ~ Awal Cerita
33
Bab 32 ~ Pemegang Kunci
34
Bab 33 ~ Pegunungan Utara
35
Bab 34 ~ Pondok Kedamaian
36
Bab 35 ~ Medali Putih
37
Bab 36 ~ Kuil Ishtar
38
Bab 37 ~ Makhluk Api
39
Bab 38 ~ Pemakan Batu
40
Bab 39 ~ Pembasmi Gharoul
41
Bab 40 ~ Penjaga Kuburan
42
Bab 41 ~ Musuh Dari Utara
43
Bab 42 ~ Raja-Raja Elam
44
Bab 43 ~ Pemimpin Rakyat
45
Bab 44 ~ Taring Barion
46
Bab 45 ~ Teman Pemabuk
47
Bab 46 ~ Prajurit Terhormat
48
Bab 47 ~ Peluit Karquri
49
Bab 48 ~ Puncak Tebing
50
Bab 49 ~ Serbuan Barion
51
Bab 50 ~ Pembuka Gerbang
52
Bab 51 ~ Panglima Elam
53
Bab 52 ~ Penyergapan
54
Bab 53 ~ Menuju Pertempuran
55
Bab 54 ~ Pertempuran Berdarah
56
Bab 55 ~ Gelombang Terakhir
57
Bab 56 ~ Bergerak Maju
58
Bab 57 ~ Serangan Balik
59
Bab 58 ~ Perpecahan
60
Bab 59 ~ Penggali Dendam
61
Bab 60 ~ Sang Pembunuh
62
Bab 61 ~ Dendam Masa Lalu
63
Bab 62 ~ Pengepungan
64
Bab 63 ~ Yang Tersisa
65
Bab 64 ~ Di Ambang Kehancuran
66
Bab 65 ~ Bukit Kematian
67
Bab 66 ~ Perintah Sargon
68
Bab 67 ~ Kegagalan
69
Bab 68 ~ Pembunuh Bayaran
70
Bab 69 ~ Keinginan Raja-Raja
71
Bab 70 ~ Sandera
72
Bab 71 ~ Setelah Pembantaian
73
Bab 72 ~ Makhluk Terpilih
74
Bab 73 ~ Kubah Putih
75
Bab 74 ~ Nyanyian Malaikat
76
Bab 75 ~ Menembus Kabut
77
Bab 76 ~ Pemberontak
78
Bab 77 ~ Monster Pembunuh
79
Bab 78 ~ Persekutuan Maut
80
Bab 79 ~ Rencana Baru
81
Bab 80 ~ Syarat Pertemuan
82
Bab 81 ~ Pertaruhan Terakhir
83
Bab 82 ~ Tempat Persembunyian
84
Bab 83 ~ Pekerjaan Mengerikan
85
Bab 84 ~ Dalam Mimpi
86
Bab 85 ~ Dari Mimpi
87
Bab 86 ~ Pembuka Mimpi
88
Bab 87 ~ Peringatan
89
Bab 88 ~ Pelayan Setia
90
Bab 89 ~ Gua Gharoul
91
Bab 90 ~ Serangan Kilat
92
Bab 91 ~ Sang Dewa
93
Bab 92 ~ Musuh Favorit
94
Bab 93 ~ Semakin Dalam
95
Bab 94 ~ Sang Ratu
96
Bab 95 ~ Adik dan Kakak
97
Bab 96 ~ Pertemuan
98
Bab 97 ~ Siksaan Kabut
99
Bab 98 ~ Doa
100
Bab 99 ~ Pintu Kegelapan
101
Bab 100 ~ Melepaskan
102
Bab 101 ~ Penguasa Gua
103
Bab 102 ~ Harapan
104
Bab 103 ~ Perpisahan
105
Epilog (1) ~ Negeri Salju
106
Epilog (2) ~ Sang Pelindung
107
Epilog (3) ~ Danau Es
108
Epilog (4) ~ Dalam Cahaya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!