Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Bab 12 ~ Kelompok Rahasia
Karya R.D. Villam
---
Jarraf mempersilakan Naia dan Fares duduk mengitari bekas api unggun di tepi sungai. Habik dan lima orang lainnya ikut duduk, sementara yang lain berjaga-jaga.
Jarraf memulai pembicaraan, "Tuan Putri, Habik sudah bercerita pada kami bagaimana kalian diserang gerombolan gharoul di celah tebing.”
"Koreksi," Fares menyela. "Habik tidak ikut diserang. Ia tidak ikut bertempur.”
"Hei, aku juga tidak bilang begitu," balas Habik.
Naia langsung menatapnya tajam. “Boleh aku tahu apa saja yang kau katakan?”
Habik menarik tubuhnya, gentar dengam tatapan Naia. “Seperti Tuan Jarraf bilang, Tuan Putri, kau dan rombonganmu diserang gerombolan gharoul di celah tebing, dan dikejar pasukan barion. Tetapi kalian berhasil lari sampai ke perahuku. Itu saja.”
Naia berpaling pada Fares. “Kau yang bercerita pada Habik?"
Fares mengangguk. “Aku dan Isfan, di perahu.”
"Ada lagi yang kauceritakan?" Naia menjaga nada suaranya tetap rendah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, yaitu apakah Isfan atau Fares bercerita mengenai kehadiran Davagni semalam. Naia berharap tidak, karena walaupun makhluk tersebut selama setahun sudah menyatakan tunduk pada Naia, orang-orang Kubah Putih tetap tidak mau mempercayai Davagni dan selalu memusuhinya. Di masa lampau, merekalah yang telah menyekap makhluk tersebut selama beratus-ratus tahun, dan mereka tetap mengincarnya sampai sekarang. Jika orang-orang Kubah Putih tahu Davagni ada tadi malam, mereka pasti akan ribut.
Untungnya, Fares kelihatannya mengerti maksudnya. Ia menggeleng. "Tidak. Itu saja."
Kejujuran Fares selalu bisa diandalkan. Naia membutuhkannya sekarang. Ia pun kemudian berkata pada Jarraf, "Lanjutkan."
Jarraf mengangguk. “Tuan Putri, kami dari Kubah Putih percaya sesuatu yang lebih buruk sedang terjadi. Orang kami di barat memberi kabar ada serangan gharoul juga di sana. Gerombolan gharoul yang menyerang kalian hanyalah sebagian kecil dari kelompok mereka yang sesungguhnya.”
"Aku sudah pernah melihat gharoul sebelumnya," jawab Naia. "Makhluk itu sudah ada sejak dulu, walau hanya muncul beberapa kali dalam sejarah. Apa anehnya jika mereka muncul lagi sekarang?"
"Ada yang berbeda kali ini. Kami sudah menghitung di banyak tempat, dari berbagai informasi, dan sepertinya mereka terus bermunculan bagai tak ada habisnya. Sepertinya ada sesuatu yang mengendalikan mereka.”
"Jelaskan maksudmu, Tuan Jarraf. Tidak usah berbelit-belit.”
Jarraf menatap Naia tak berkedip. "Tak banyak yang bisa kami beri tahu. Namun yang jelas selanjutnya adalah tugasmu, Tuan Putri. Kaulah yang telah menjadi Sang Terpilih. Kaulah yang harus pergi ke utara dan membasmi mereka semua, sampai ke sarang mereka.”
Serta merta Naia meradang. “Tugasku? Itu tugas kalian! Kalian, orang-orang Kubah Putihlah yang telah bersumpah melawan seluruh makhluk kegelapan sejak berabad-abad! Keluarga Damu selama ini hanya membantu kalian. Menghancurkan mereka bukan kewajiban kami. Jangan terus memaksaku, Tuan!”
"Tuan Putri, kau tahu, sebagai Sang Terpilih kau memiliki kewajiban untuk memimpin peperangan melawan kaum kegelapan."
"Aku tidak pernah memilih untuk menjadi Sang Terpilih!" Suara Naia melengking tinggi. Orang-orang Kubah Putih menatapnya ngeri. Naia tahu mereka pasti melihat matanya yang mulai membara. Mereka tahu apa yang bisa dilakukan mata itu, jika Naia tidak bisa mengendalikan dirinya, walau sekarang tidak ada bulan purnama.
Tapi ... itu tidak benar juga. Bukankah mereka sudah memberikan medali ini untuk mengendalikan dirinya? Matanya tidak akan bisa melukai mereka.
Bagaimanapun Naia tahu ia tetap harus meredakan emosi. “Tuan Jarraf, aku berharap tetap bisa membantu. Kalian memiliki tujuan yang baik. Tetapi aku tak bisa membantu setiap saat. Aku juga punya masalah saat ini, menyangkut negeriku sendiri. Aku sudah hampir kehilangan seluruh prajurit terbaikku hanya dalam waktu tiga bulan, dan sekarang Rahzad mengejar kami. Jadi aku minta, janganlah menggangguku dulu, untuk sementara ini.”
Jarraf termangu. "Kami mengerti, Tuan Putri. Tetapi kami takut, gerombolan gharoul ini akan semakin banyak jika tidak segera dibasmi.”
"Aku percaya Kubah Putih cukup kuat untuk menahan, bahkan membasmi gerombolan gharoul ini, jika kalian memang berniat."
Jarraf terdiam lagi, lalu mengangguk. "Baiklah. Itu keputusanmu. Kau Sang Terpilih, kaulah pemimpin Kubah Putih yang sesungguhnya, walaupun kau bukan orang kami. Kami patuh padamu.”
"Terima kasih kau mau mengerti."
"Tetapi, Tuan Putri, boleh aku bertanya satu hal lagi? Apakah kau melihat Davagni akhir-akhir ini?"
Naia menatap laki-laki itu beberapa saat, lalu menggeleng. “Tidak. Kenapa?”
Jarraf memandanginyam, kemudian mengangguk-angguk. “Apakah Tuan Putri tidak curiga dia mungkin terlibat dengan gerombolan gharoul ini?”
Davagni? Ada di belakang para gharoul?
Naia terus menatap Jarraf tanpa sedikit pun mengubah ekspresi wajah. Ia menggeleng sekali lagi. "Tuan Jarraf, kalau dia yang menjadi sumber masalah semua ini, aku pasti tahu. Kau tidak usah khawatir, Davagni tak ada kaitannya di sini." Walau sebenarnya ia ragu dengan ucapannya sendiri.
Jarraf tampaknya berusaha untuk percaya. Ia tersenyum kaku. “Mudah-mudahan Davagni memang tidak terlibat, dan dia sudah benar-benar bertobat."
Orang Kubah Putih menganggap Davagni bisa bertobat? Apakah ucapan Jarraf ini bisa dipercaya? Justru Naia yang tidak bisa percaya semudah itu. Ia sudah berbohong dengan berkata tidak pernah bertemu lagi dengan Davagni, jadi tentunya ada kemungkinan Jarraf juga berbohong padanya sekarang.
"Tuan Jarraf," ia berkata, "mengenai gharoul ini, aku berjanji akan membantumu ssejauh yang kubisa. Tetapi nanti, setelah aku kembali dari negeri Elam."
"Kau mau menyeberang Gerbang Sungai Tigris sekarang?" Fareslah yang kini terkejut.
Naia menghela napasnya. "Ya, Fares. Aku tak mampu lagi melihat kematian para prajuritku yang seolah tanpa henti. Setiap kali melihat wajah-wajah mereka yang mati, aku selalu terbayang istri, anak, atau orang tua mereka, yang hidup ataupun yang sudah mati. Ini semua salahku. Jadi menurutku, lebih baik kita pulang dulu ke Elam, dan akan kupikirkan langkah selanjutku di sana. Kau, Isfan dan yang lain nanti juga bisa beristirahat.”
"Dan kau sendiri?” Fares menatapnya curiga.
"Aku belum tahu," Naia mengelak.
"Kuperingatkan, jangan pergi tanpaku.”
"Aku bilang aku belum tahu, Fares! Kita tak usah membicarakan itu. Yang penting kita bisa pulang dulu ke negeri Elam.”
"Tetapi Rahzad sudah mengirim sebagian pasukannya ke selatan untuk menghadang," kata Jarraf. "Mereka memang belum tahu di mana posisi Gerbang Sungai Tigris secara pasti, tetapi Tuan Putri tak akan bisa ke sana tanpa melewati mereka. Bersembunyilah dulu bersama kami. Kita bisa kembali ke Elam nanti, saat waktunya tepat."
“Apa kalian bisa menjamin kita bisa bersembunyi dengan aman sekarang?” Naia menggeleng. "Aku tidak yakin. Lebih cepat kita pergi dari tanah Akkadia, akan lebih baik. Berapa jauh Gerbang Sungai Tigris dari sini?”
"Sekitar tiga hari mendayung." Jarraf termangu. “Kau benar-benar hendak pergi?”
“Ya.” Naia mengangguk tegas. "Silakan jika kalian tetap mau tinggal, dan mungkin melanjutkan rencana kalian—entah apa itu—tetapi aku akan pergi sekarang. Biar kupikirkan cara untuk bisa sampai ke gerbang saat berperahu ke sana.”
“Kalau begitu kami semua akan menyertaimu,” sahut Jarraf. “Untuk melindungimu, dan memastikan kau tiba di Gerbang Sungai Tigris dengan selamat.”
“Kalian cukup terampil, tetapi tetap tak bakal mampu melawan ratusan prajurit Akkadia jika kita bertemu mereka,” tukas Naia. “Dan aku sudah belajar, pergi dengan rombongan besar hanya akan menarik perhatian banyak orang. Terima kasih atas niat baikmu, Tuan Jarraf, tetapi lebih baik kita tetap terpisah. Aku akan baik-baik saja, jangan khawatir.”
Jarraf terdiam, lalu berkata lagi, “Paling tidak, ijinkan Habik tetap ikut bersamamu.”
“Kenapa?” jawab Naia tidak senang. “Kalian tetap butuh orang untuk mengawasiku?”
“Ah, kenapa terus berpikiran buruk, Tuan Putri?” jawab Jarraf. “Habik kenal sungai ini dengan baik. Biarkan ia membantumu sampai ke selatan.”
Naia melirik ke arah Habik, lalu mengangguk kepada laki-laki tua itu. “Baik. Dia boleh ikut. Tapi kuperingatkan, aku tak mau lagi ada tindakan-tindakan aneh darinya. Jika tidak, aku tak akan segan bertindak keras. Sangat keras.”
“Kami mengerti, Tuan Putri. Percayalah, kami hanya bermaksud melindungimu.” Jarraf mengangguk hormat.
Sementara Habik tak menjawab.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
adi_nata
orang orang Kubah Suci hanya mau memanfaatkan Naia untuk kepentingan mereka sendiri.
2023-10-08
0
John Singgih
pertemuan yang panas
2021-08-22
0
Hadi Ghorib
like 426.
2021-05-11
0