Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Bab 3 ~ Makhluk Terkutuk
Karya R.D. Villam
- - -
Satu malam sebelumnya
Makhluk terkutuk itu sudah datang.
Naia memperhatikan sosok gelap yang muncul hampir tanpa suara di hadapannya. Berdiri tepat di tengah kuil, dia menjulang hingga dua kali tinggi tubuh gadis itu. Bentuk tubuhnya tidak tampak jelas, karena di antara kegelapan malam hanya ada secercah sinar rembulan yang masuk melalui lubang-lubang kecil yang melingkar di atas dinding. Namun Naia tahu dia ada di sana, berkat selintas gerakan tanduk tunggal di atas kepalanya.
Hanya ada mereka berdua di dalam kuil saat ini. Kehadiran makhluk itu biasanya selalu membuat setiap orang yang melihatnya langsung lari terbirit-birit, terutama jika mereka tidak mengenalnya. Namun Naia tidak takut. Ia lebih merasa marah, karena ia memang telah cukup lama menunggu kedatangan sang makhluk terkutuk.
Gadis itu bangkit dari kursinya di atas altar batu. Menarik napas perlahan, ia berusaha berkata tanpa menunjukkan emosi, ”Berlutut.”
Makhluk itu tidak bergerak, seolah tak mendengar. Lalu, dia berjalan satu langkah, membiarkan dirinya lebih banyak tersiram sinar rembulan. Dalam remang terlihat sorot matanya yang angkuh menantang, juga senyum tipis yang mengejek di bibirnya. Janggut runcingnya berkilat, kedua sayap di punggungnya terbentang. Dia belum mau tunduk.
“Berlutut!”
Namun, walaupun Naia telah berusaha menunjukkan kewibawaan melalui suaranya, tetap saja itu belum mampu mempengaruhi sosok tinggi besar di hadapannya. Kepala berbentuk bulat telur milik makhluk itu tetap tidak mau menunduk.
Naia menggeram. Emosi yang telah lama dipendamnya keluar. "Benar-benar makhluk bebal!"
Makhluk bebal, yang sayangnya sangat ia butuhkan.
Ia menarik kalung berantai peraknya. Medali berbentuk persegi enam menyembul dari balik kain penutup kepalanya yang melingkar hingga ke leher. Ia menggenggam benda itu dengan tangan kiri, mengarahkan sinar kemilau batu bundar di tengahnya ke mata si makhluk kelabu.
Tangan kanan Naia menunjuk lantai di depannya. "Berlutut, makhluk terkutuk! Sekarang!"
Makhluk itu memejam. Kilat di janggutnya meredup. Sayapnya terkatup. Kini dia menunduk, lalu menjatuhkan tubuh. Ekornya melingkar di antara kedua kakinya. Lututnya menghentak lantai. Kedua telapak tangan mendekap dada. Suaranya yang berat terdengar jernih,
"Makhluk terkutuk ini berlutut dengan senang hati kepada Sang Terpilih."
Bahkan dari ucapannya yang sopan ejekannya tetap terasa. Naia sudah paham. Bukan kata-kata lembut, bukan pula makian ‘terkutuk’nya. Bukan permintaan, bukan pula perintah kasar. Hanya benda di lehernya yang mampu membuat sang makhluk terkutuk takluk.
Naia memandangi makhluk itu beberapa lama, berpikir apakah harus tetap menunjukkan medalinya, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyimpan kembali benda itu.
”Dengar aku sekarang, makhluk terkutuk—”
”Tuan Putri, bahkan makhluk terkutuk ini pun memiliki nama.” Makhluk itu tersenyum tipis. ”Panggillah nama hamba, dan mari kita bicara dengan lebih beradab.”
”Bicara beradab? Denganmu?”
“Hamba percaya, Tuan Putri sebenarnya lebih suka begitu.”
”Davagni, kata-katamu selalu terucap manis, tetapi tak satu pun yang bisa dipercaya. Satu tahun sejak kau berjanji, keadaan malah semakin buruk. Sargon sudah menyiapkan pasukannya untuk menembus Gerbang Sungai Tigris, dan kau belum melakukan apa-apa!”
”Tuan Putri, itu karena pengikutmu tidak ada yang percaya kepada hamba.” Makhluk itu mencibir. ”Tentu saja, siapa yang mau percaya pada sosok yang telah melakukan banyak tindakan jahat di masa lalu? Meskipun sebenarnya semua itu bohong belaka.”
”Bohong? Setahun yang lalu kau masih bisa menyebut semua tindakan jahatmu dengan bangga.”
”Ah, Tuan Putri salah mengerti. Maksud hamba adalah, mungkin hanya Tuan Putri yang percaya pada hamba. Tetapi apa artinya itu, jika ternyata Tuan Putri diam saja, tak bisa mempengaruhi mereka untuk mau bertempur di samping hamba? Apakah Tuan Putri benar-benar membutuhkan hamba? Atau ...” Davagni tersenyum, ”mungkin hamba berharap terlalu banyak kepada Tuan Putri. Sang Terpilih? Itu kata mereka? Mungkin para tetua Kubah Putih telah salah memilih. Hmm? Tetapi, tentu saja pendapat hamba ini tidak benar. Para tetua tidak pernah salah.” Dia tertawa mengejek. ”Kalau menurut mereka begitu, hamba percaya saja, walaupun—”
”Cukup ocehanmu. Aku tak peduli pada para tetua Kubah Putih!” potong Naia. ”Aku tidak peduli pada agenda atau wasiat-wasiat mereka. Aku tidak minta dipilih! Kalau bisa, lebih baik kubuang medali ini ke dasar Sungai Tigris, dan tidak usah berurusan dengan mereka.”
”Tuan Putri juga tidak ingin berurusan lagi dengan hamba?”
”Kalau kau ... beda masalahnya! Kau telah memberi janjimu! Di depan kubur ayah dan ibuku, di depan tubuh sekarat kakakku!” seru Naia dengan bibir bergetar. ”Kau bersumpah kepada Sang Pencipta Langit dan Bumi. Tak ada alasan bagimu untuk mundur!”
”Selalu ada alasan untuk mundur.” Davagni malah tersenyum.
”Kau ...” Ingin rasanya Naia mencabut pedangnya dan menghantam kepala makhluk kurang ajar itu. Tetapi ia berusaha menahan emosi, ”Makhluk tak tahu terima kasih!”
Davagni mengangkat tangannya. ”Sabarlah, Tuan Putri, sabar .... Kapan kau bisa mengurangi sifat pemarahmu? Usiamu sudah hampir kepala dua. Atau mungkin ... memang seperti ini sifat turunan keluarga Damu? Coba hamba ingat. Ayahmu tidak, tetapi kakekmu dan kakek buyutmu dulu ... ya, ada sedikit. Dan Aria,” Makhluk itu menggeleng-geleng. ”Dia yang paling parah. Sifatnya itulah yang mengundang kematiannya.”
”Jangan bicarakan kakakku seperti itu!”
”Jangan salah mengerti, Tuan Putri. Hamba tidak pernah membenci kakakmu, walaupun dulu ia selalu memusuhi hamba.”
Naia menatap makhluk itu lekat-lekat, kemudian berkata lebih pelan, ”Aku masih tetap tak mengerti mengapa kakakku akhirnya mau menerimamu. Dan kenapa kau pun mau saja mengabdi pada kakakku. Kau adalah musuh keluarga kami selama berabad-abad.”
”Ayahmu pernah menyelamatkan hamba. Itu alasannya.”
”Ya, dan kau tak pernah berterima kasih.”
”Katakan saja ... pada akhirnya hamba belajar sesuatu.” Davagni tersenyum. ”Ada yang berkata pada hamba. Sosok yang penting, tetapi maaf kau tak perlu tahu siapa. Intinya, semua bisa berubah. Kakakmu tahu itu ketika akhirnya hamba datang untuk membalas budi. Ia menerima hamba, karena ia membutuhkan hamba untuk melawan musuh-musuhnya.”
”Tetap saja, kehadiranmu tak berguna.”
Davagni menggeleng. ”Itu karena dendam kakakmu telah membakar habis jiwanya. Ia tak mau mendengar nasihat orang lain. Bagaimana bisa ia menantang Rahzad, panglima Akkadia, hanya dengan kemampuan yang tak seberapa? Itu gila. Bodoh.”
Bodoh? Anehnya, Naia kali ini tidak tersinggung mendengarnya. Ia tahu makhluk itu benar. Ia dan kakaknya dulu terlalu bernafsu hendak membalas kematian ayah dan ibu mereka, dengan coba menyerang langsung pasukan Akkadia. Akibatnya fatal. Aria tewas, istana mereka lalu diserbu dan hancur total, dan rakyat yang selamat harus kabur dan meminta perlindungan pada bangsa Elam di balik Gerbang Sungai Tigris. Yang membuat Naia lebih sedih dan merasa bersalah adalah karena itu bukan kesalahan Aria semata, melainkan juga dirinya.
Naia memalingkan wajah, lalu kembali duduk. Selama beberapa saat termenung, lalu cepat-cepat ia berusaha menyingkirkan kenangan buruknya. Suaranya menegas. ”Davagni, aku masih ingat. Sebenarnya aku tak ingin mengungkitnya lagi, tetapi berhubung kau telah bicara lebih dulu, maka aku pun harus bicara. Kau saat itu tak mampu melindungi kami dari serangan Rahzad. Kau gagal melindungi keluarga kami. Padahal itu janjimu kepada kakakku.”
”Rahzad dibantu kaum Ishtaran, para pendeta Kuil Ishtar,” elak Davagni. ”Hamba sendirian tak mungkin bisa mengalahkan mereka.”
”Kau selalu bilang begitu, tetapi aku sama sekali tidak pernah melihat mereka.”
”Tuan Putri belum beruntung.” Davagni tersenyum mengejek.
”Mungkin. Tetapi mungkin juga mereka itu hanya karanganmu belaka.”
Davagni menatap tajam. ”Tuan Putri, untuk terakhir kali, hamba mohon, jangan mencari kambing hitam atas kesalahan yang ... kalian buat sendiri. Hamba setuju, tak ada gunanya mengungkit kesalahan lama. Marilah kita coba lihat apa yang terjadi sesudahnya.”
”Kuharap kau tidak sedang bermain-main, Davagni. Enam bulan terakhir, selama kau bersembunyi, Rahzad membawa pasukannya mengejar prajuritku yang tersisa di Sumeria. Aku tak punya kekuatan lagi selain pasukan terakhirku di Elam. Kalau Rahzad sampai berhasil menemukan kunci untuk menembus Gerbang Sungai Tigris, habislah semuanya.”
”Pertama, tentu saja hamba tak berani bermain-main dengan Tuan Putri. Para tetua Kubah Putih telah memilihmu dengan Medali Putih dan—”
”Jangan sebut mereka lagi!”
Ekspresi wajah Davagni tak berubah. Hanya matanya yang menatap semakin dalam. ”Tuan Putri, tentang itu, bahkan hamba—musuh abadi Kubah Putih—tidak membenci, dan menghormati mereka. Hamba tak tahu kenapa Tuan Putri tak menyukai mereka, karena hamba rasa Tuan Putri sudah tahu kekuatan medali itu, terhadap dirimu, dan juga terutama terhadap hamba. Apakah ada masalah lain, hingga Tuan Putri tidak menyukai medali itu?”
”Aku tak ingin membicarakan itu.”
Davagni mengangkat bahu. ”Baik, jika itu maumu. Yang kedua, ya ... terus terang, hamba punya syarat jika harus membantu orang-orang yang terus membenci hamba tanpa henti. Seperti halnya makhluk lain, hamba pun ingin hidup damai tanpa rasa benci. Hamba beruntung pernah melihat sesuatu yang tak bisa dilihat oleh manusia, dan beruntung karena masih bisa memilih. Maka, hamba meminta Tuan Putri ... untuk membersihkan nama hamba di tanah Sumeria.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
adi_nata
hati hati, iblis adalah mahkluk paling munafik dan penuh tipu daya.
2023-10-06
0
John Singgih
permintaan hamba kepada tuannya
2021-08-14
0
therasmus 1986
pemilihan dan penyusunan kata yang bagus sekali, nice job thor!!
2020-08-10
0