Bab 9 ~ Si Rambut Perak

Akkadia : Gerbang Sungai Tigris

Bab 9 ~ Si Rambut Perak

Karya R.D. Villam

---

”Ooohhh!” Gadis itu menjerit keras.

Ia baru saja tersadar, dan sakit yang menusuk bahu, dada dan perutnya adalah yang pertama kali dirasakannya. Ia mengepalkan kedua tangan, berusaha mengendalikan rasa sakit. Matanya mengabur saat ia coba mengenali keadaan di sekelilingnya, namun tak lama segalanya mulai tampak terang, berkat keberadaan jendela kecil tak jauh di samping kepalanya. Ia berada dalam sebuah kamar berdinding lumpur, terbaring di atas sebuah dipan kayu. Selimut tebal menutupinya dari leher sampai ke ujung kaki.

Tangannya bergerak di balik selimut, meraba seluruh permukaan tubuhnya. Beberapa helai kain membebat erat dada dan perut-nya, tampaknya untuk menutupi sumber rasa sakitnya. Sepotong baju tanpa lengan menutupi tubuhnya, panjang sampai ke lutut. Ia mulai mengerti. Ia terluka, dan sekarang sedang beristirahat di tempat ini.

Pandangan gadis itu bergerak ke sudut ruangan. Baju berwarna hijau yang terkoyak-koyak tergantung di sana. Juga benda lain berwarna cokelat yang sudah hancur sebagian. Sehelai kain panjang lain, yang juga berwarna hijau, masih utuh. Ia coba mengingat-ingat, apakah itu semua miliknya. Kenapa hancur seperti itu? Apa yang terjadi?

Dan kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun?

Rasa takut seketika menyelimutinya. Jantungnya berdebar keras. Gadis itu menyibakkan selimut, bangkit dari tempat tidurnya. Namun begitu kedua kakinya menjejak lantai, rasa sakit yang amat sangat langsung menusuk-nusuk kepalanya.

”Aaaahhh!” Gadis itu menjerit, kali ini lebih keras daripada sebelumnya. Kedua tangannya meremas kencang kepalanya, berusaha menghilangkan rasa sakit. Ia terpaksa menjatuhkan tubuhnya lagi ke dipan, dan memejamkan mata.

Langkah kaki terdengar dari balik dinding kamar. Gadis itu membuka mata begitu ia berhasil meredakan rasa sakit. Ia menoleh. Lelaki tua berjanggut putih berdiri di sampingnya. Tampak sangat tua, dengan kulit wajah keriput, rambut putih tanpa sehelai pun warna hitam, serta alis tebal berwarna putih pula. Lelaki itu berdiri bersandar pada tongkat kayu panjangnya.

”Nona,” Lelaki tua itu berkata. ”Tetaplah berbaring.”

Si gadis menggeleng kecil. ”Apa yang terjadi?”

”Kau pingsan.”

”Siapa kau?”

”Aku?” Si lelaki tua terkekeh. ”Aku cuma seorang penyembuh.”

”Siapa aku?”

”Siapa kau?” Kening keriput di wajah lelaki tua itu semakin berkerut. Ia tampak bingung, lalu menoleh ke belakang. “Ramir, kenapa dia bisa begini?”

Rupanya ada satu orang lagi di dalam ruangan. Seorang pemuda berjalan ragu ke depan. Ia masih muda, bertubuh kecil dan kelihatannya baru beranjak remaja. Matanya hitam, sehitam rambutnya. Tetapi wajahnya itu, di mana aku pernah melihatnya?

”Kakek,” kata pemuda itu lirih. ”Aku juga tidak tahu.”

”Kau.” Si gadis menatap pemuda itu lekat-lekat. ”Sepertinya aku mengenalmu.”

Pemuda itu tersenyum lebar. ”Benarkah?”

”Kau adikku?” tebak si gadis.

Senyuman langsung menghilang dari wajah pemuda itu. ”Bukan.”

Si lelaki tua tersenyum. ”Ramir ini yang menemukanmu di tepi sungai tadi pagi, dan membawamu kemari. Mungkin kau melihat wajahnya, jadi merasa mengenalnya.”

Si gadis menatap Ramir, menyelidik. Ia mencoba mengingat apakah benar ia tadi melihat pemuda itu di tepi sungai.

”Tetapi, benarkah ...” Si lelaki tua berkata ragu, ”... kau tak ingat siapa dirimu?”

Si gadis memejamkan matanya sejenak, sebelum menjawab dengan yakin, ”Ya.”

”Kalau begitu, tampaknya benturan di kepalamu cukup parah.” Si lelaki tua mengambil kursi yang tersandar di dinding, lalu menariknya ke samping tempat tidur. Ia duduk di sana, sementara pemuda yang bernama Ramir memilih tetap duduk di lantai. ”Mungkin terkena batu saat kau hanyut di sungai. Kau kehilangan banyak darah. Untung Ramir menemukanmu dan segera membawamu kemari. Aku sudah mengoleskan beberapa ramuan di lukamu. Maaf, karena aku harus membuka bajumu dan—”

”Kakek,” si gadis memotong. ”Terima kasih atas pertolonganmu. Tetapi saat ini, bisakah kau jelaskan dulu, siapa aku?”

”Nona, aku tidak bisa menjelaskan. Yang jelas kau tidak berasal dari Sumeria, Akkadia, atau Elam. Mungkin dari Kaukasia, jauh di utara, atau mungkin negeri lain yang lebih jauh."

”Mengapa kau berpikir begitu?”

”Warna kulitmu yang putih, juga rambutmu.”

Si gadis menarik sehelai rambut dari balik lehernya. Warna perak? Sesaat ia masih bingung. Kemudian ia melirik ke arah Ramir yang berambut hitam. Ya, memang jelas berbeda.

”Nona,” lelaki tua itu berkata lagi. ”Aku pernah berkelana ke beberapa negeri, tetapi tak pernah sampai ke Kaukasia, jadi mungkin saja aku salah. Aku pernah ke Anatolia di barat, dan di sana aku bertemu banyak orang yang berambut emas atau cokelat, dan beberapa dari mereka berasal dari Kaukasia. Tetapi tak satu pun yang berwarna perak. Terus terang, aku belum pernah melihat orang yang berambut warna perak. Jadi sekali lagi, aku tetap tak bisa menjelaskan siapa dirimu sebenarnya.”

”Lalu mengapa aku bisa berada di sini?” tanya si gadis gelisah.

Si lelaki tua menggeleng. “Itu pun aku tak paham, Nona.”

Si gadis menatapnya tajam. ”Jadi kau juga tak bisa menjelaskan, kenapa aku mendapat luka ini?”

”Kelihatannya ... itu bekas tusukan benda tajam, seperti tombak.”

”Tombak?”

”Ya, Nona. Dan ... ya, tentu saja.” Mata si lelaki tua berbinar. ”Mungkin ini bisa sedikit menjelaskan. Kau bisa melihat pelindung dada warna cokelat di sudut ruangan itu? Yang sudah hancur? Dan juga baju dan jubah hijau itu? Itu milikmu. Kelihatannya kau seorang prajurit, atau mungkin bangsawan, dengan kedudukan cukup tinggi.”

”Aku? Prajurit?” Si gadis hampir tidak percaya mendengarnya. ”Negeri apa?”

”Di tanah Sumeria ini, sekarang hanya ada kerajaan Akkadia.”

”Aku prajurit Akkadia?” Gadis itu menunjuk dadanya sendiri.

”Mungkin.” Si lelaki tua mengangguk sambil memeluk tongkatnya. ”Di Anatolia dulu, aku kenal beberapa orang Kaukasia yang bekerja sebagai prajurit bayaran. Dan kelihatannya kau sudah berada di negeri ini cukup lama. Itu menjelaskan kenapa kau bisa lancar berbahasa Sumeria.”

Si gadis mengangguk. ”Kalau begitu aku akan mencari teman-temanku di pasukan. Semoga ingatanku bisa cepat kembali setelah bertemu mereka.”

”Nona, kumohon, sembuhkan dulu luka-lukamu. Beristirahatlah di sini barang seminggu. Mudah-mudahan selama kau menunggu ingatanmu bisa pulih.”

”Terima kasih.”

”Selama kau di sini,” si kakek menoleh ke belakang, ”Ramir akan menjagamu. Besok pagi aku harus ke kota. Aku membuka praktek pengobatan di sana. Kau tak usah khawatir, Ramir sudah belajar mengenai penyembuhan. Bukan begitu, Ramir?”

”Ya, Kakek.” Ramir mengangguk, dengan wajah polosnya.

”Jangan sungkan meminta tolong pada Ramir. Ia agak pendiam, tetapi dia selalu senang bekerja. Aku akan kembali dari kota seminggu lagi. Kuharap kita masih bisa bertemu. Tetapi memang, sayangnya aku belum bisa tahu namamu.”

Si gadis tersenyum. ”Kau boleh memanggilku apa saja.”

Lelaki tua itu menerawang. ”Lima puluh tahun yang lampau, saat aku masih muda, di Anatolia aku pernah bertemu seorang gadis cantik dengan rambut berwarna emas. Ia berasal dari Kaukasia, dan rambutnya juga panjang sepertimu. Sayangnya aku hanya bisa bertemu sebentar dengannya. Namun aku masih ingat namanya sampai sekarang. Elanna.”

”Elanna ...” Si gadis mengangguk-angguk. ”Kau ingin memanggilku Elanna?”

Si kakek mengangguk senang. ”Ya. Elanna, si rambut perak.”

Maka, sejak saat itu si gadis membiarkan dirinya dipanggil dengan nama Elanna.

Malam itu ia beristirahat penuh di dalam kamar, dan begitu pula keesokan harinya. Ia hanya keluar jika hendak buang air. Saat malam, pagi dan siang Ramir datang mengantarkan makanan, minuman dan obat buatan si kakek yang harus diminumnya. Namun selama itu pula pemuda itu tak pernah berbicara sepatah kata pun.

Elanna tidak tahan berdiam diri terus-menerus. Menurutnya ia harus berbicara. Ia harus menggerakkan tubuhnya. Ia harus mencari tahu siapa dirinya. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan karena hanya ada Ramir di rumah ini, mau tidak mau ia harus berbicara dengan pemuda itu.

Menjelang petang di hari kedua, saat Ramir datang membawakan makan malam, Elanna menyapanya tanpa ragu, ”Ramir, temani aku sebentar.”

Pemuda tanggung itu tertegun. Ia meletakkan nampannya di meja, kemudian menarik bangku dan duduk di samping dipan. Mata pemuda itu menatap lantai, seperti biasa.

“Kakekmu pergi ke kota apa, Ramir?”

”Nappur.”

”Jauhkah?”

”Setengah hari berjalan kaki.”

Elanna manggut-manggut. ”Dia memang sering ke sana?”

”Seminggu dalam sebulan. Biasanya begitu.”

”Ia masih kuat bepergian, ya?” Elanna termangu, ”walau tampaknya sudah cukup tua.”

Kali ini Ramir mengangkat wajahnya. ”Dia pernah bilang, umurnya sekarang delapan puluh tahun, dan masih cukup kuat hidup dua puluh tahun lagi.”

”Begitu, ya?” Elanna tertawa kecil, senang karena Ramir kini mau melihat wajahnya. ”Kalau umurku sendiri, berapa kira-kira? Kau bisa menebak dari wajahku, Ramir?”

Ramir menatap Elanna. Wajahnya memerah. ”Kurasa, sekitar dua puluh lima tahun.”

Elanna tertawa lebih panjang. ”Kelihatannya kau yakin. Tetapi, berarti aku belum terlalu tua, kan? Itu menggembirakan. Kau sendiri? Tidak lebih tua dariku pasti.”

”Aku lima belas tahun.”

”Wah, kupikir paling tidak sudah dua puluh,” Elanna bercanda. ”Kelihatannya kau sudah cukup dewasa.”

Ramir mengusap kepalanya canggung. Wajahnya kian memerah.

Elanna senang melihat Ramir mulai bisa tersenyum. Ia pun berkata, ”Ramir, sebelum aku lupa, aku harus mengucapkan terima kasih, karena kau telah menyelamatkan nyawaku.”

”Oh ... iya. Aku ... aku juga senang bisa menyelamatkanmu.”

”Kalau kau tak keberatan, boleh aku tahu, apakah aku sempat sadar saat di tepi sungai?” tanya Elanna hati-hati.

Ramir terdiam termangu, lalu menggeleng. ”Tidak. Kau pingsan terus.”

”Oh.” Elanna mengangguk-angguk, belum melepaskan tatapannya dari pemuda tanggung itu. ”Maaf, Ramir. Mungkin terdengar aneh buatmu, tetapi hal ini selalu terpikir olehku, saat melihat wajahmu. Apakah kita berdua pernah bertemu sebelum ini? Di suatu tempat, mungkin?”

Ramir terdiam. Matanya mengerjap-ngerjap gugup, lalu kepalanya menggeleng. ”Tidak. Kita belum pernah bertemu.”

”Begitu ya?” Elanna mencoba menebak apa yang ada di dalam kepala pemuda itu. Apakah ada yang disembunyikannya? Tetapi tampaknya Ramir berkata jujur. Gadis itu pun mengangguk. ”Maaf, aku berlebihan. Sudah, lupakan saja soal itu.”

Tetapi Elanna lalu melihat sedikit kegelisahan di wajah Ramir, maka ia pun bertanya lagi, ”Kau percaya pada apa yang dikatakan kakekmu, tentang aku? Bahwa aku berasal dari Kaukasia, atau tempat lain di sekitar itu?”

Ramir mengangguk. ”Kelihatannya begitu. Menurutku, kau berasal dari sebuah negeri pegunungan, yang sangat dingin penuh dengan es, di tepi danau. Negeri yang sangat jauh.”

Kening Elanna berkerut. ”Dari mana kau tahu?”

”Eh ... aku cuma menebak.” Ramir menunduk.

”Mungkin kau benar. Ketika aku membayangkan negeriku, aku pun membayangkannya begitu. Hei, jangan-jangan kau membaca pikiranku, ya?”

”Ah, tidak. Aku cuma menebak!” Ramir menggeleng keras.

”Haha! Tidak usah takut, aku cuma bercanda.” Elanna tersenyum lebar. ”Lalu, tentang aku sebagai prajurit Akkadia, kau percaya?”

Ramir hanya mengangkat bahu. ”Mungkin.”

Elanna merasakan suasana hati yang berbeda dari suara pemuda itu. Ia pun berbisik, ”Kelihatannya kau ... tidak begitu suka.”

”Ah, tidak ...”

”Kau tidak suka prajurit Akkadia? Kau pernah melihat sesuatu yang buruk dilakukan oleh mereka?”

”Tidak!” Ramir menggeleng dengan keras dan mengangkat kedua tangannya. Ia berdiri, lalu mundur dua langkah. ”Aaku tidak berkata begitu!”

”Wah, kenapa kau jadi seperti ini?” Elanna terkejut melihat reaksi pemuda itu yang seolah melihat sesuatu yang sangat menakutkan muncul di depannya. ”Demi Tuhan, Ramir, aku tidak akan menyakitimu! Aku bersumpah, demi ... demi ...”

Ramir malah semakin menggigil di sudut ruangan, tak berani lagi menatap.

Elanna memegangi kepalanya. ”Apa tadi? Apa tadi yang kukatakan?”

”Kau bersumpah tadi ... demi ... ”

”Demi apa?” tanya Elanna bingung.

”Tuhan. Kau bilang ’Tuhan’."

”Tuhan?” Elanna membaringkan tubuhnya ke dipan, semakin bingung. Matanya menatap kosong ke langit-langit. ”Tuhan?”

”Mungkin ... mungkin itu nama dewamu,” kata Ramir ragu. ”Dewa orang Kaukasia.”

”Dewa orang Kaukasia?” Elanna memejamkan matanya, berusaha mengingat-ingat.

”Yang jelas kau bukan orang Akkad. Kau tak menyebut nama dewa orang Akkad.” Suara Ramir terdengar lebih dekat sekarang.

”Bukan?”

”Mungkin juga ...” Ramir melanjutkan, ”kau bukan prajurit Akkadia.”

Elanna membuka matanya. Ramir kini berdiri di sampingnya. Wajah pemuda itu anehnya tidak lagi ketakutan, dan malah terlihat bersemangat. Elanna langsung paham.

”Rupanya kau berharap aku bukan prajurit Akkadia, ya?”

”Ya, aku berharap begitu ...”

“Kenapa?”

Ramir terdiam.

”Bagaimana jika benar aku prajurit Akkadia?”

Elanna dan Ramir saling menatap beberapa lama.

Pemuda itu menjawab, ”Kalau akhirnya begitu, maka lupakan aku, kakekku, dan tempat ini. Tinggalkan tempat ini, dan tolong jangan ganggu kami. Aku memohon kepadamu.”

Giliran Elanna yang kini tak bisa berkata-kata.

Namun Ramir kemudian tersenyum. ”Hari sudah malam. Makanlah, dan beristirahat. Jangan kaupikirkan hal ini. Sampai waktu itu datang, selama kau belum jadi orang Akkadia, kau tetaplah tamuku.”

Saat itulah Elanna tahu, walaupun Ramir masih sangat muda, sikap dan ucapan pemuda itu jauh lebih dewasa daripada usianya. Dan kelihatannya pemuda itu juga tahu banyak hal, yang mungkin belum dikatakan seluruhnya. Sesaat Elanna merasakan sedikit ketidakadilan. Ramir punya banyak hal untuk disembunyikan, sementara ia tidak punya satu pun.

Terpopuler

Comments

John Singgih

John Singgih

hilang ingatan

2021-08-17

0

Hadi Ghorib

Hadi Ghorib

441 like

2021-05-11

0

Queenzy

Queenzy

tiap bab beda-beda. jadi harus mikir dan ingat-ingat ini kira-kira lanjutannya yang mana ya? 😁

2020-06-30

1

lihat semua
Episodes
1 Prolog ~ Sejarah dan Legenda
2 Bab 1 ~ Penjelajah Mimpi
3 Bab 2 ~ Kucing Ajaib
4 Bab 3 ~ Makhluk Terkutuk
5 Bab 4 ~ Dari Kegelapan
6 Bab 5 ~ Misi dan Tugas
7 Bab 6 ~ Pemburu Malam
8 Bab 7 ~ Gada Geledek
9 Bab 8 ~ Tebing Batu
10 Bab 9 ~ Si Rambut Perak
11 Bab 10 ~ Prajurit Akkadia
12 Bab 11 ~ Sang Terpilih
13 Bab 12 ~ Kelompok Rahasia
14 Bab 13 ~ Pintu Dunia
15 Bab 14 ~ Pengundang Maut
16 Bab 15 ~ Senyuman Terakhir
17 Bab 16 ~ Permaisuri Awan
18 Bab 17 ~ Pencari Ilmu
19 Bab 18 ~ Penjaga Ilmu
20 Bab 19 ~ Penyusup
21 Bab 20 ~ Rencana Sederhana
22 Bab 21 ~ Penyelamat
23 Bab 22 ~ Anak Bodoh
24 Bab 23 ~ Pembawa Maut
25 Bab 24 ~ Jubah Putih
26 Bab 25 ~ Penyembuh
27 Bab 26 ~ Gadis Bertombak
28 Bab 27 ~ Sang Panglima
29 Bab 28 ~ Senjata Pusaka
30 Bab 29 ~ Elang Gunung
31 Bab 30 ~ Pembantaian
32 Bab 31 ~ Awal Cerita
33 Bab 32 ~ Pemegang Kunci
34 Bab 33 ~ Pegunungan Utara
35 Bab 34 ~ Pondok Kedamaian
36 Bab 35 ~ Medali Putih
37 Bab 36 ~ Kuil Ishtar
38 Bab 37 ~ Makhluk Api
39 Bab 38 ~ Pemakan Batu
40 Bab 39 ~ Pembasmi Gharoul
41 Bab 40 ~ Penjaga Kuburan
42 Bab 41 ~ Musuh Dari Utara
43 Bab 42 ~ Raja-Raja Elam
44 Bab 43 ~ Pemimpin Rakyat
45 Bab 44 ~ Taring Barion
46 Bab 45 ~ Teman Pemabuk
47 Bab 46 ~ Prajurit Terhormat
48 Bab 47 ~ Peluit Karquri
49 Bab 48 ~ Puncak Tebing
50 Bab 49 ~ Serbuan Barion
51 Bab 50 ~ Pembuka Gerbang
52 Bab 51 ~ Panglima Elam
53 Bab 52 ~ Penyergapan
54 Bab 53 ~ Menuju Pertempuran
55 Bab 54 ~ Pertempuran Berdarah
56 Bab 55 ~ Gelombang Terakhir
57 Bab 56 ~ Bergerak Maju
58 Bab 57 ~ Serangan Balik
59 Bab 58 ~ Perpecahan
60 Bab 59 ~ Penggali Dendam
61 Bab 60 ~ Sang Pembunuh
62 Bab 61 ~ Dendam Masa Lalu
63 Bab 62 ~ Pengepungan
64 Bab 63 ~ Yang Tersisa
65 Bab 64 ~ Di Ambang Kehancuran
66 Bab 65 ~ Bukit Kematian
67 Bab 66 ~ Perintah Sargon
68 Bab 67 ~ Kegagalan
69 Bab 68 ~ Pembunuh Bayaran
70 Bab 69 ~ Keinginan Raja-Raja
71 Bab 70 ~ Sandera
72 Bab 71 ~ Setelah Pembantaian
73 Bab 72 ~ Makhluk Terpilih
74 Bab 73 ~ Kubah Putih
75 Bab 74 ~ Nyanyian Malaikat
76 Bab 75 ~ Menembus Kabut
77 Bab 76 ~ Pemberontak
78 Bab 77 ~ Monster Pembunuh
79 Bab 78 ~ Persekutuan Maut
80 Bab 79 ~ Rencana Baru
81 Bab 80 ~ Syarat Pertemuan
82 Bab 81 ~ Pertaruhan Terakhir
83 Bab 82 ~ Tempat Persembunyian
84 Bab 83 ~ Pekerjaan Mengerikan
85 Bab 84 ~ Dalam Mimpi
86 Bab 85 ~ Dari Mimpi
87 Bab 86 ~ Pembuka Mimpi
88 Bab 87 ~ Peringatan
89 Bab 88 ~ Pelayan Setia
90 Bab 89 ~ Gua Gharoul
91 Bab 90 ~ Serangan Kilat
92 Bab 91 ~ Sang Dewa
93 Bab 92 ~ Musuh Favorit
94 Bab 93 ~ Semakin Dalam
95 Bab 94 ~ Sang Ratu
96 Bab 95 ~ Adik dan Kakak
97 Bab 96 ~ Pertemuan
98 Bab 97 ~ Siksaan Kabut
99 Bab 98 ~ Doa
100 Bab 99 ~ Pintu Kegelapan
101 Bab 100 ~ Melepaskan
102 Bab 101 ~ Penguasa Gua
103 Bab 102 ~ Harapan
104 Bab 103 ~ Perpisahan
105 Epilog (1) ~ Negeri Salju
106 Epilog (2) ~ Sang Pelindung
107 Epilog (3) ~ Danau Es
108 Epilog (4) ~ Dalam Cahaya
Episodes

Updated 108 Episodes

1
Prolog ~ Sejarah dan Legenda
2
Bab 1 ~ Penjelajah Mimpi
3
Bab 2 ~ Kucing Ajaib
4
Bab 3 ~ Makhluk Terkutuk
5
Bab 4 ~ Dari Kegelapan
6
Bab 5 ~ Misi dan Tugas
7
Bab 6 ~ Pemburu Malam
8
Bab 7 ~ Gada Geledek
9
Bab 8 ~ Tebing Batu
10
Bab 9 ~ Si Rambut Perak
11
Bab 10 ~ Prajurit Akkadia
12
Bab 11 ~ Sang Terpilih
13
Bab 12 ~ Kelompok Rahasia
14
Bab 13 ~ Pintu Dunia
15
Bab 14 ~ Pengundang Maut
16
Bab 15 ~ Senyuman Terakhir
17
Bab 16 ~ Permaisuri Awan
18
Bab 17 ~ Pencari Ilmu
19
Bab 18 ~ Penjaga Ilmu
20
Bab 19 ~ Penyusup
21
Bab 20 ~ Rencana Sederhana
22
Bab 21 ~ Penyelamat
23
Bab 22 ~ Anak Bodoh
24
Bab 23 ~ Pembawa Maut
25
Bab 24 ~ Jubah Putih
26
Bab 25 ~ Penyembuh
27
Bab 26 ~ Gadis Bertombak
28
Bab 27 ~ Sang Panglima
29
Bab 28 ~ Senjata Pusaka
30
Bab 29 ~ Elang Gunung
31
Bab 30 ~ Pembantaian
32
Bab 31 ~ Awal Cerita
33
Bab 32 ~ Pemegang Kunci
34
Bab 33 ~ Pegunungan Utara
35
Bab 34 ~ Pondok Kedamaian
36
Bab 35 ~ Medali Putih
37
Bab 36 ~ Kuil Ishtar
38
Bab 37 ~ Makhluk Api
39
Bab 38 ~ Pemakan Batu
40
Bab 39 ~ Pembasmi Gharoul
41
Bab 40 ~ Penjaga Kuburan
42
Bab 41 ~ Musuh Dari Utara
43
Bab 42 ~ Raja-Raja Elam
44
Bab 43 ~ Pemimpin Rakyat
45
Bab 44 ~ Taring Barion
46
Bab 45 ~ Teman Pemabuk
47
Bab 46 ~ Prajurit Terhormat
48
Bab 47 ~ Peluit Karquri
49
Bab 48 ~ Puncak Tebing
50
Bab 49 ~ Serbuan Barion
51
Bab 50 ~ Pembuka Gerbang
52
Bab 51 ~ Panglima Elam
53
Bab 52 ~ Penyergapan
54
Bab 53 ~ Menuju Pertempuran
55
Bab 54 ~ Pertempuran Berdarah
56
Bab 55 ~ Gelombang Terakhir
57
Bab 56 ~ Bergerak Maju
58
Bab 57 ~ Serangan Balik
59
Bab 58 ~ Perpecahan
60
Bab 59 ~ Penggali Dendam
61
Bab 60 ~ Sang Pembunuh
62
Bab 61 ~ Dendam Masa Lalu
63
Bab 62 ~ Pengepungan
64
Bab 63 ~ Yang Tersisa
65
Bab 64 ~ Di Ambang Kehancuran
66
Bab 65 ~ Bukit Kematian
67
Bab 66 ~ Perintah Sargon
68
Bab 67 ~ Kegagalan
69
Bab 68 ~ Pembunuh Bayaran
70
Bab 69 ~ Keinginan Raja-Raja
71
Bab 70 ~ Sandera
72
Bab 71 ~ Setelah Pembantaian
73
Bab 72 ~ Makhluk Terpilih
74
Bab 73 ~ Kubah Putih
75
Bab 74 ~ Nyanyian Malaikat
76
Bab 75 ~ Menembus Kabut
77
Bab 76 ~ Pemberontak
78
Bab 77 ~ Monster Pembunuh
79
Bab 78 ~ Persekutuan Maut
80
Bab 79 ~ Rencana Baru
81
Bab 80 ~ Syarat Pertemuan
82
Bab 81 ~ Pertaruhan Terakhir
83
Bab 82 ~ Tempat Persembunyian
84
Bab 83 ~ Pekerjaan Mengerikan
85
Bab 84 ~ Dalam Mimpi
86
Bab 85 ~ Dari Mimpi
87
Bab 86 ~ Pembuka Mimpi
88
Bab 87 ~ Peringatan
89
Bab 88 ~ Pelayan Setia
90
Bab 89 ~ Gua Gharoul
91
Bab 90 ~ Serangan Kilat
92
Bab 91 ~ Sang Dewa
93
Bab 92 ~ Musuh Favorit
94
Bab 93 ~ Semakin Dalam
95
Bab 94 ~ Sang Ratu
96
Bab 95 ~ Adik dan Kakak
97
Bab 96 ~ Pertemuan
98
Bab 97 ~ Siksaan Kabut
99
Bab 98 ~ Doa
100
Bab 99 ~ Pintu Kegelapan
101
Bab 100 ~ Melepaskan
102
Bab 101 ~ Penguasa Gua
103
Bab 102 ~ Harapan
104
Bab 103 ~ Perpisahan
105
Epilog (1) ~ Negeri Salju
106
Epilog (2) ~ Sang Pelindung
107
Epilog (3) ~ Danau Es
108
Epilog (4) ~ Dalam Cahaya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!