Akkadia : Gerbang Sungai Tigris
Bab 9 ~ Si Rambut Perak
Karya R.D. Villam
---
”Ooohhh!” Gadis itu menjerit keras.
Ia baru saja tersadar, dan sakit yang menusuk bahu, dada dan perutnya adalah yang pertama kali dirasakannya. Ia mengepalkan kedua tangan, berusaha mengendalikan rasa sakit. Matanya mengabur saat ia coba mengenali keadaan di sekelilingnya, namun tak lama segalanya mulai tampak terang, berkat keberadaan jendela kecil tak jauh di samping kepalanya. Ia berada dalam sebuah kamar berdinding lumpur, terbaring di atas sebuah dipan kayu. Selimut tebal menutupinya dari leher sampai ke ujung kaki.
Tangannya bergerak di balik selimut, meraba seluruh permukaan tubuhnya. Beberapa helai kain membebat erat dada dan perut-nya, tampaknya untuk menutupi sumber rasa sakitnya. Sepotong baju tanpa lengan menutupi tubuhnya, panjang sampai ke lutut. Ia mulai mengerti. Ia terluka, dan sekarang sedang beristirahat di tempat ini.
Pandangan gadis itu bergerak ke sudut ruangan. Baju berwarna hijau yang terkoyak-koyak tergantung di sana. Juga benda lain berwarna cokelat yang sudah hancur sebagian. Sehelai kain panjang lain, yang juga berwarna hijau, masih utuh. Ia coba mengingat-ingat, apakah itu semua miliknya. Kenapa hancur seperti itu? Apa yang terjadi?
Dan kenapa aku tidak bisa mengingat apa pun?
Rasa takut seketika menyelimutinya. Jantungnya berdebar keras. Gadis itu menyibakkan selimut, bangkit dari tempat tidurnya. Namun begitu kedua kakinya menjejak lantai, rasa sakit yang amat sangat langsung menusuk-nusuk kepalanya.
”Aaaahhh!” Gadis itu menjerit, kali ini lebih keras daripada sebelumnya. Kedua tangannya meremas kencang kepalanya, berusaha menghilangkan rasa sakit. Ia terpaksa menjatuhkan tubuhnya lagi ke dipan, dan memejamkan mata.
Langkah kaki terdengar dari balik dinding kamar. Gadis itu membuka mata begitu ia berhasil meredakan rasa sakit. Ia menoleh. Lelaki tua berjanggut putih berdiri di sampingnya. Tampak sangat tua, dengan kulit wajah keriput, rambut putih tanpa sehelai pun warna hitam, serta alis tebal berwarna putih pula. Lelaki itu berdiri bersandar pada tongkat kayu panjangnya.
”Nona,” Lelaki tua itu berkata. ”Tetaplah berbaring.”
Si gadis menggeleng kecil. ”Apa yang terjadi?”
”Kau pingsan.”
”Siapa kau?”
”Aku?” Si lelaki tua terkekeh. ”Aku cuma seorang penyembuh.”
”Siapa aku?”
”Siapa kau?” Kening keriput di wajah lelaki tua itu semakin berkerut. Ia tampak bingung, lalu menoleh ke belakang. “Ramir, kenapa dia bisa begini?”
Rupanya ada satu orang lagi di dalam ruangan. Seorang pemuda berjalan ragu ke depan. Ia masih muda, bertubuh kecil dan kelihatannya baru beranjak remaja. Matanya hitam, sehitam rambutnya. Tetapi wajahnya itu, di mana aku pernah melihatnya?
”Kakek,” kata pemuda itu lirih. ”Aku juga tidak tahu.”
”Kau.” Si gadis menatap pemuda itu lekat-lekat. ”Sepertinya aku mengenalmu.”
Pemuda itu tersenyum lebar. ”Benarkah?”
”Kau adikku?” tebak si gadis.
Senyuman langsung menghilang dari wajah pemuda itu. ”Bukan.”
Si lelaki tua tersenyum. ”Ramir ini yang menemukanmu di tepi sungai tadi pagi, dan membawamu kemari. Mungkin kau melihat wajahnya, jadi merasa mengenalnya.”
Si gadis menatap Ramir, menyelidik. Ia mencoba mengingat apakah benar ia tadi melihat pemuda itu di tepi sungai.
”Tetapi, benarkah ...” Si lelaki tua berkata ragu, ”... kau tak ingat siapa dirimu?”
Si gadis memejamkan matanya sejenak, sebelum menjawab dengan yakin, ”Ya.”
”Kalau begitu, tampaknya benturan di kepalamu cukup parah.” Si lelaki tua mengambil kursi yang tersandar di dinding, lalu menariknya ke samping tempat tidur. Ia duduk di sana, sementara pemuda yang bernama Ramir memilih tetap duduk di lantai. ”Mungkin terkena batu saat kau hanyut di sungai. Kau kehilangan banyak darah. Untung Ramir menemukanmu dan segera membawamu kemari. Aku sudah mengoleskan beberapa ramuan di lukamu. Maaf, karena aku harus membuka bajumu dan—”
”Kakek,” si gadis memotong. ”Terima kasih atas pertolonganmu. Tetapi saat ini, bisakah kau jelaskan dulu, siapa aku?”
”Nona, aku tidak bisa menjelaskan. Yang jelas kau tidak berasal dari Sumeria, Akkadia, atau Elam. Mungkin dari Kaukasia, jauh di utara, atau mungkin negeri lain yang lebih jauh."
”Mengapa kau berpikir begitu?”
”Warna kulitmu yang putih, juga rambutmu.”
Si gadis menarik sehelai rambut dari balik lehernya. Warna perak? Sesaat ia masih bingung. Kemudian ia melirik ke arah Ramir yang berambut hitam. Ya, memang jelas berbeda.
”Nona,” lelaki tua itu berkata lagi. ”Aku pernah berkelana ke beberapa negeri, tetapi tak pernah sampai ke Kaukasia, jadi mungkin saja aku salah. Aku pernah ke Anatolia di barat, dan di sana aku bertemu banyak orang yang berambut emas atau cokelat, dan beberapa dari mereka berasal dari Kaukasia. Tetapi tak satu pun yang berwarna perak. Terus terang, aku belum pernah melihat orang yang berambut warna perak. Jadi sekali lagi, aku tetap tak bisa menjelaskan siapa dirimu sebenarnya.”
”Lalu mengapa aku bisa berada di sini?” tanya si gadis gelisah.
Si lelaki tua menggeleng. “Itu pun aku tak paham, Nona.”
Si gadis menatapnya tajam. ”Jadi kau juga tak bisa menjelaskan, kenapa aku mendapat luka ini?”
”Kelihatannya ... itu bekas tusukan benda tajam, seperti tombak.”
”Tombak?”
”Ya, Nona. Dan ... ya, tentu saja.” Mata si lelaki tua berbinar. ”Mungkin ini bisa sedikit menjelaskan. Kau bisa melihat pelindung dada warna cokelat di sudut ruangan itu? Yang sudah hancur? Dan juga baju dan jubah hijau itu? Itu milikmu. Kelihatannya kau seorang prajurit, atau mungkin bangsawan, dengan kedudukan cukup tinggi.”
”Aku? Prajurit?” Si gadis hampir tidak percaya mendengarnya. ”Negeri apa?”
”Di tanah Sumeria ini, sekarang hanya ada kerajaan Akkadia.”
”Aku prajurit Akkadia?” Gadis itu menunjuk dadanya sendiri.
”Mungkin.” Si lelaki tua mengangguk sambil memeluk tongkatnya. ”Di Anatolia dulu, aku kenal beberapa orang Kaukasia yang bekerja sebagai prajurit bayaran. Dan kelihatannya kau sudah berada di negeri ini cukup lama. Itu menjelaskan kenapa kau bisa lancar berbahasa Sumeria.”
Si gadis mengangguk. ”Kalau begitu aku akan mencari teman-temanku di pasukan. Semoga ingatanku bisa cepat kembali setelah bertemu mereka.”
”Nona, kumohon, sembuhkan dulu luka-lukamu. Beristirahatlah di sini barang seminggu. Mudah-mudahan selama kau menunggu ingatanmu bisa pulih.”
”Terima kasih.”
”Selama kau di sini,” si kakek menoleh ke belakang, ”Ramir akan menjagamu. Besok pagi aku harus ke kota. Aku membuka praktek pengobatan di sana. Kau tak usah khawatir, Ramir sudah belajar mengenai penyembuhan. Bukan begitu, Ramir?”
”Ya, Kakek.” Ramir mengangguk, dengan wajah polosnya.
”Jangan sungkan meminta tolong pada Ramir. Ia agak pendiam, tetapi dia selalu senang bekerja. Aku akan kembali dari kota seminggu lagi. Kuharap kita masih bisa bertemu. Tetapi memang, sayangnya aku belum bisa tahu namamu.”
Si gadis tersenyum. ”Kau boleh memanggilku apa saja.”
Lelaki tua itu menerawang. ”Lima puluh tahun yang lampau, saat aku masih muda, di Anatolia aku pernah bertemu seorang gadis cantik dengan rambut berwarna emas. Ia berasal dari Kaukasia, dan rambutnya juga panjang sepertimu. Sayangnya aku hanya bisa bertemu sebentar dengannya. Namun aku masih ingat namanya sampai sekarang. Elanna.”
”Elanna ...” Si gadis mengangguk-angguk. ”Kau ingin memanggilku Elanna?”
Si kakek mengangguk senang. ”Ya. Elanna, si rambut perak.”
Maka, sejak saat itu si gadis membiarkan dirinya dipanggil dengan nama Elanna.
Malam itu ia beristirahat penuh di dalam kamar, dan begitu pula keesokan harinya. Ia hanya keluar jika hendak buang air. Saat malam, pagi dan siang Ramir datang mengantarkan makanan, minuman dan obat buatan si kakek yang harus diminumnya. Namun selama itu pula pemuda itu tak pernah berbicara sepatah kata pun.
Elanna tidak tahan berdiam diri terus-menerus. Menurutnya ia harus berbicara. Ia harus menggerakkan tubuhnya. Ia harus mencari tahu siapa dirinya. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan karena hanya ada Ramir di rumah ini, mau tidak mau ia harus berbicara dengan pemuda itu.
Menjelang petang di hari kedua, saat Ramir datang membawakan makan malam, Elanna menyapanya tanpa ragu, ”Ramir, temani aku sebentar.”
Pemuda tanggung itu tertegun. Ia meletakkan nampannya di meja, kemudian menarik bangku dan duduk di samping dipan. Mata pemuda itu menatap lantai, seperti biasa.
“Kakekmu pergi ke kota apa, Ramir?”
”Nappur.”
”Jauhkah?”
”Setengah hari berjalan kaki.”
Elanna manggut-manggut. ”Dia memang sering ke sana?”
”Seminggu dalam sebulan. Biasanya begitu.”
”Ia masih kuat bepergian, ya?” Elanna termangu, ”walau tampaknya sudah cukup tua.”
Kali ini Ramir mengangkat wajahnya. ”Dia pernah bilang, umurnya sekarang delapan puluh tahun, dan masih cukup kuat hidup dua puluh tahun lagi.”
”Begitu, ya?” Elanna tertawa kecil, senang karena Ramir kini mau melihat wajahnya. ”Kalau umurku sendiri, berapa kira-kira? Kau bisa menebak dari wajahku, Ramir?”
Ramir menatap Elanna. Wajahnya memerah. ”Kurasa, sekitar dua puluh lima tahun.”
Elanna tertawa lebih panjang. ”Kelihatannya kau yakin. Tetapi, berarti aku belum terlalu tua, kan? Itu menggembirakan. Kau sendiri? Tidak lebih tua dariku pasti.”
”Aku lima belas tahun.”
”Wah, kupikir paling tidak sudah dua puluh,” Elanna bercanda. ”Kelihatannya kau sudah cukup dewasa.”
Ramir mengusap kepalanya canggung. Wajahnya kian memerah.
Elanna senang melihat Ramir mulai bisa tersenyum. Ia pun berkata, ”Ramir, sebelum aku lupa, aku harus mengucapkan terima kasih, karena kau telah menyelamatkan nyawaku.”
”Oh ... iya. Aku ... aku juga senang bisa menyelamatkanmu.”
”Kalau kau tak keberatan, boleh aku tahu, apakah aku sempat sadar saat di tepi sungai?” tanya Elanna hati-hati.
Ramir terdiam termangu, lalu menggeleng. ”Tidak. Kau pingsan terus.”
”Oh.” Elanna mengangguk-angguk, belum melepaskan tatapannya dari pemuda tanggung itu. ”Maaf, Ramir. Mungkin terdengar aneh buatmu, tetapi hal ini selalu terpikir olehku, saat melihat wajahmu. Apakah kita berdua pernah bertemu sebelum ini? Di suatu tempat, mungkin?”
Ramir terdiam. Matanya mengerjap-ngerjap gugup, lalu kepalanya menggeleng. ”Tidak. Kita belum pernah bertemu.”
”Begitu ya?” Elanna mencoba menebak apa yang ada di dalam kepala pemuda itu. Apakah ada yang disembunyikannya? Tetapi tampaknya Ramir berkata jujur. Gadis itu pun mengangguk. ”Maaf, aku berlebihan. Sudah, lupakan saja soal itu.”
Tetapi Elanna lalu melihat sedikit kegelisahan di wajah Ramir, maka ia pun bertanya lagi, ”Kau percaya pada apa yang dikatakan kakekmu, tentang aku? Bahwa aku berasal dari Kaukasia, atau tempat lain di sekitar itu?”
Ramir mengangguk. ”Kelihatannya begitu. Menurutku, kau berasal dari sebuah negeri pegunungan, yang sangat dingin penuh dengan es, di tepi danau. Negeri yang sangat jauh.”
Kening Elanna berkerut. ”Dari mana kau tahu?”
”Eh ... aku cuma menebak.” Ramir menunduk.
”Mungkin kau benar. Ketika aku membayangkan negeriku, aku pun membayangkannya begitu. Hei, jangan-jangan kau membaca pikiranku, ya?”
”Ah, tidak. Aku cuma menebak!” Ramir menggeleng keras.
”Haha! Tidak usah takut, aku cuma bercanda.” Elanna tersenyum lebar. ”Lalu, tentang aku sebagai prajurit Akkadia, kau percaya?”
Ramir hanya mengangkat bahu. ”Mungkin.”
Elanna merasakan suasana hati yang berbeda dari suara pemuda itu. Ia pun berbisik, ”Kelihatannya kau ... tidak begitu suka.”
”Ah, tidak ...”
”Kau tidak suka prajurit Akkadia? Kau pernah melihat sesuatu yang buruk dilakukan oleh mereka?”
”Tidak!” Ramir menggeleng dengan keras dan mengangkat kedua tangannya. Ia berdiri, lalu mundur dua langkah. ”Aaku tidak berkata begitu!”
”Wah, kenapa kau jadi seperti ini?” Elanna terkejut melihat reaksi pemuda itu yang seolah melihat sesuatu yang sangat menakutkan muncul di depannya. ”Demi Tuhan, Ramir, aku tidak akan menyakitimu! Aku bersumpah, demi ... demi ...”
Ramir malah semakin menggigil di sudut ruangan, tak berani lagi menatap.
Elanna memegangi kepalanya. ”Apa tadi? Apa tadi yang kukatakan?”
”Kau bersumpah tadi ... demi ... ”
”Demi apa?” tanya Elanna bingung.
”Tuhan. Kau bilang ’Tuhan’."
”Tuhan?” Elanna membaringkan tubuhnya ke dipan, semakin bingung. Matanya menatap kosong ke langit-langit. ”Tuhan?”
”Mungkin ... mungkin itu nama dewamu,” kata Ramir ragu. ”Dewa orang Kaukasia.”
”Dewa orang Kaukasia?” Elanna memejamkan matanya, berusaha mengingat-ingat.
”Yang jelas kau bukan orang Akkad. Kau tak menyebut nama dewa orang Akkad.” Suara Ramir terdengar lebih dekat sekarang.
”Bukan?”
”Mungkin juga ...” Ramir melanjutkan, ”kau bukan prajurit Akkadia.”
Elanna membuka matanya. Ramir kini berdiri di sampingnya. Wajah pemuda itu anehnya tidak lagi ketakutan, dan malah terlihat bersemangat. Elanna langsung paham.
”Rupanya kau berharap aku bukan prajurit Akkadia, ya?”
”Ya, aku berharap begitu ...”
“Kenapa?”
Ramir terdiam.
”Bagaimana jika benar aku prajurit Akkadia?”
Elanna dan Ramir saling menatap beberapa lama.
Pemuda itu menjawab, ”Kalau akhirnya begitu, maka lupakan aku, kakekku, dan tempat ini. Tinggalkan tempat ini, dan tolong jangan ganggu kami. Aku memohon kepadamu.”
Giliran Elanna yang kini tak bisa berkata-kata.
Namun Ramir kemudian tersenyum. ”Hari sudah malam. Makanlah, dan beristirahat. Jangan kaupikirkan hal ini. Sampai waktu itu datang, selama kau belum jadi orang Akkadia, kau tetaplah tamuku.”
Saat itulah Elanna tahu, walaupun Ramir masih sangat muda, sikap dan ucapan pemuda itu jauh lebih dewasa daripada usianya. Dan kelihatannya pemuda itu juga tahu banyak hal, yang mungkin belum dikatakan seluruhnya. Sesaat Elanna merasakan sedikit ketidakadilan. Ramir punya banyak hal untuk disembunyikan, sementara ia tidak punya satu pun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
John Singgih
hilang ingatan
2021-08-17
0
Hadi Ghorib
441 like
2021-05-11
0
Queenzy
tiap bab beda-beda. jadi harus mikir dan ingat-ingat ini kira-kira lanjutannya yang mana ya? 😁
2020-06-30
1