Seperti biasa Cahaya mengendarai motor matic nya berkeliling ke warung dan toko toko tempatnya menitipkan kue kuenya. Sepulang dari mengutip uang dagangan Cahaya pun singgah di toko bahan kue untuk membeli bahan bahan yang telah menipis.
Rasa lelah mendera tubuh kurus itu. Hingga sesampainya di kontrakan Cahaya langsung terduduk di kursi ruang tamu. Sekedar melepas lelah dan merilekskan tubuhnya. Sesaat mata yang tadi tertutup kini terbuka ketika, merasakan pijatan lembut di kakinya.
Binar menatap nya dengan senyuman sembari meminjat kaki Cahaya. Gadis kecilnya telah dipaksa untuk dewasa. Untuk usia sepuluh tahun seharusnya Binar bermain dengan anak seusianya. Tapi tidak dengan binar.
Binar tidak suka kumpul dengan sebayanya. Dia hanya memiliki satu atau dua teman saja. Itupun hanya di sekolah saja. Gangguan psikis yang dialaminya dua tahun lalu merubah gadis ceria ini menjadi pendiam dan tak banyak bicara. Dia hanya berbicara yang penting saja. Itupun hanya pada beberapa orang tertentu saja.
Tapi satu hal positif dari malam naas itu, Binar memiliki rasa empati yang tinggi terhadap Cahaya. Dia tidak bisa melihat air mata Cahaya. Binar juga tidak sanggup melihat Cahaya kesusahan. Tapi tangan kecilnya belum mampu untuk mengurangi kesibukan Bundanya. Itulah kenapa dia begitu sensitif melihat Cahaya yang tertidur ataupun terlihat kelelahan.
" Bunda kenapa istirahat disini , kenapa tidak di kamar saja. " Tanya Binar.
" Bunda hanya beristirahat sebentar saja, udah mau magrib juga. Nanti kebablasan kalau di kamar. " Cahaya mengusap rambut panjang Binar.
" Bunda capek banget ya ? Libur dulu jualannya. " Ucapan Binar menerbitkan senyuman di bibir Cahaya. Seperti biasa perhatian kecil Binar membangkitkan semangat nya .
" Tidak, Sayang. Jangan khawatir Bunda baik baik saja. Nanti dibawa tidur juga segar lagi. Sudahlah... Bunda mau mandi dulu. Binar ajak Biru siap siap sholat Maghrib , ya !? " Ucap Cahaya menghentikan tangan Binar yang masih memijat kakinya.
Senyuman tegar selalu Cahaya nampak kan kepada anak-anak nya. Cahaya tidak ingin membuat mereka bersedih ataupun terbebani dengan kekurangan yang Cahaya miliki. Walaupun tak selalu berhasil karena Binar anak yang sangat peka.
Magrib ini , ketiga anak beranak itu sholat Maghrib bersama dan kemudian makan bersama. Seperti itulah kegiatan rutin mereka sehari hari. Cahaya selalu berusaha untuk selalu ada di setiap moment untuk anak anak nya.
" Sepertinya Bunda memang harus libur besok. " Ucap Cahaya tiba tiba menarik eksistensi kedua anaknya.
" Kenapa, Bunda sakit ? " Tanya Binar cemas.
" Aah... tidak, hanya saja Bunda ingin istirahat . " Jawab Cahaya dengan senyuman menenangkan. Sebenarnya Cahaya memang merasa kurang enak badan. Hanya saja dia tidak ingin anaknya terlalu mencemaskan nya .
" Pasti Bunda capek bekerja kan ? Coba kita punya Ayah pasti Bunda tidak capek capek cari uang. Seperti Mamanya Zidan teman Biru. Kata Zidan, Papanya bekerja jadi Pilot untuk cari uang yang banyak untuk dia dan Mamanya. " Perkataan Biru membuat Cahaya terdiam sementara Binar menatap Biru marah .
" Biru mau ketemu monster mata merah itu lagi ? Mau lihat Bunda berdarah lagi karena dimakan monster itu. " Teriak Binar dengan mata berkaca kaca.
Cahaya terkesiap mendengar pertanyaan Binar tentang monster mata merah. Tentu saja Cahaya tahu siapa yang Binar maksud. Di malam itu Binar dan Biru melihat Ayahnya menyakiti sang Bunda dengan mata merah akibat mabuk dan amarah yang meluap.
Cuma yang membuat Cahaya terkejut ternyata Binar belum melupakan semua itu. Masih terlihat jika Binar belumlah pulih. Dan Malam ini Cahaya melihat jika selama ini Binar hanya menutupi dirinya.
Tanpa berpikir lebih lama Cahaya langsung bangkit dan memeluk Binar erat. Dan dapat dirasakannya isak tangis memilukan putri kecilnya.
" Tenang, Sayang. Tidak ada yang akan menyakiti Bunda. Monster nya telah pergi dan dia tidak akan kembali. Jangan diingat lagi ya ? . " Cahaya pun tak sanggup menahan cairan bening di matanya.
" Maafkan, Biru Bunda. Biru hanya ingin Ayah seperti Papanya Zidan . Kata Zidan Papanya baik , bukan monster. " Ucap Biru polos . Bocah tujuh tahun itu ketakutan dan merasa bersalah melihat dua orang perempuan tercintanya menangis bersama.
" Tidak apa apa , Nak. Biru tidak salah , tidak semua Ayah di dunia ini jahat. Contohnya Papa Zidan dan Abinya Arman . " Binar yang masih sesegukan mendongak menatap Cahaya.
" Tapi Binar tidak ingin Ayah. Binar tidak suka." Ucap Binar.
" Kalau gitu kita cari saja Ayah baru yang baik." Bocah naif itu belum menyerah dengan keinginan nya.
" Sudah... sudah . Berhenti membahas soal Ayah. Ayo siap siap sebentar lagi Isya. Setelah sholat susun buku dan keperluan sekolah. Habis itu kita tidur. " Cahaya pun memutus pembahasan yang sangat mengganggu pikirannya itu.
Binar pun melepaskan diri dari dekapan Cahaya dan berjalan beriringan dengan Biru menuju kamar masing masing. Sementara Cahaya menatap nanar punggung punggung kecil itu menjauh dari nya.
Ada perasaan bersalah dalam hati Cahaya. Dia merasa gagal menjadi orang tua. mungkin dia mampu menjadi ibu yang baik, tapi sebagai punggung keluarga...?? Terlalu sulit mengambil dua peran sekaligus .
Belum lagi hilang kegundahan di hati Cahaya, tiba tiba ada notifikasi pesan masuk ke ponsel nya.
"Assalamu'alaikum Cahaya... Maaf ! Kak Doni mau ketemu kamu, kenalan katanya. Apakah kamu bersedia. Sekali lagi maaf jika kamu terganggu. Aku tidak memaksa tapi tolong dipertimbangkan. Aku tunggu kabar dari kamu ya. ?"
Cahaya kembali terduduk lemas di kursinya semula. Ingin sekali dia keluar dari ketakutan yang berlebihan ini. Semua terasa menyiksa. Cahaya juga ingin memberikan sosok seorang Ayah untuk anak anaknya. Disamping masalah finansial mereka juga butuh figur pengayom itu.
Pernyataan Biru tentang keinginannya memiliki seorang Ayah membuat Cahaya terenyuh. Sementara Binar masih setia dengan ketakutan nya . Butuh sedikit usaha untuk meyakinkan Binar .
Disaat tubuhnya merasa lelah seperti ini kadang Cahaya merasa butuh tempat bersandar. Yang bisa diandalkan, dan bertanggung jawab untuknya dan anak anaknya. Manusiawi bukan ? Yah... tak banyak wanita yang sanggup untuk menjadi Ibu sekaligus Ayah . Apalagi dengan segala keterbatasan yang ada seperti Cahaya alami.
*****
Seorang wanita bercadar, duduk di sebuah Cafe outdoor sambil menikmati segelas Macha Latte Ice di depannya. Matanya selalu memandang ke arah jalan masuk berharap seseorang yang ditunggu nya muncul di sana .
Selang beberapa menit kemudian orang yang ditunggu akhirnya datang juga. Seorang wanita sebaya itu langsung tersenyum lebar ketika berjalan mendekati wanita bercadar itu.
" Maaf, Aya aku terlambat. Tadi aku singgah ke kantornya Bang Adnan dulu, ada berkas penting yang ketinggalan di rumah. Terpaksa lah aku antar dulu. " Rania yang baru datang langsung menjelaskan alasan keterlambatan nya.
" Its okey, aku juga belum lama. " Balas Cahaya dengan senyum di balik cadar nya. " Pesan dulu minumnya, aku sudah sendiri tadi. " Sambung Cahaya.
Setelah memanggil Waiters, Rania pun memesan minuman yang sama dengan Cahaya. " Selalu ikut ikutan aku. " Seloroh Cahaya.
" He... he...untuk urusan perut pilihan kamu selalu tepat. " Ucap Rania sambil mengacungkan jempol nya. " Eh... ngomong ngomong koq kamu bisa yakin secepatnya ini, Cahaya ? Jangan bilang karena nggak enak sama aku. " Tanya Rania penuh selidik.
Cahaya sedikit tersentak dengan pertanyaan Rania yang tiba tiba. Jujur Cahaya bersusah payah menetralisir degup jantungnya sedari tadi. Sejak siang tadi dia memberanikan diri menghubungi Rania untuk menyetujui pertemuannya dengan sepupu Rania itu.
" Aku ingin mencoba membuka diri, Nia . Itu alasan utamanya. Aku juga tak ingin egois karena anak anak butuh figur lain selain aku. Terutama Biru. Dia sudah mulai kritis soal figur Ayah idamannya belakangan ini. " Cahaya mengatakan apa adanya.
" Syukulah kalau itu alasannya. Kamu sudah mengambil keputusan yang benar. " Ucap Rania sambil mengusap punggung tangan Cahaya yang ada di atas meja.
" Tapi aku tak mau bertemu berdua, ya ? Aku pasti canggung nantinya. " Pinta Cahaya.
" Aku akan akan menunggu kamu di meja sebelah sana, biar kamu bisa leluasa bicara dengan Kakak ku. Tidak mungkin kan, aku jadi obat nyamuk di sini ? " Jawab Rania diplomatik.
" Baiklah... " Cahaya pun hanya bisa pasrah.
Tanpa mereka sadari, seorang pria usia empat puluh tahun yang masih sangat gagah menghampiri mereka. Hingga sebuah suara bariton mengangetkan mereka.
" Assalaamu'alaikum, maaf aku terlambat....
...****************...
Happy Reading 💕
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Zainab Ddi
semoga pertemuan nya berjalan lancar
2024-02-27
2