Pelarian Kanilaras

Senopati Barkah tersenyum puas melihat Kanilaras terluka, bersamaan dengan embusan angin Senopati Barkah melesat mendekatkan diri ke Kanilaras. Siluman ular tersebut mengeluarkan jurus totok ringkalem lagi.

Namun, jurus itu meleset. Kanilaras memiliki gerak tubuh yang cukup baik sehingga dengan mudah dia menghindar dari jurus mematikan tersebut. Gadis berambut panjang itu menyempatkan diri untuk menyerang. Ratusan jenis bunga terbang bebas di udara dan melesat membelah udara hingga menghantam tubuh Senopati Barkah.

Utusan Ratu Sanya tidak dapat menghindar lagi, tubuhnya telah tersayat dan hancur berkeping-keping terkena jurus kembang bayangan milik Kanilaras. Semua prajurit Senopati Barkah lari kocar-kacir setelah melihat tubuh junjungannya hancur menjadi ribuan potongan.

Sri Ayu tersenyum lebar melihat kemenangan Kanilaras, dia sangat bersyukur dipertemukan dengan murid mendiang Maheswari. Namun, rasa bahagia itu tidak mengalahkan rasa bersalahnya terhadap kedua orang tuanya yang telah tewas di tangan Senopati Barkah, bahkan dia juga harus kehilangan suami yang dia cintai.

“Terima kasih sudah sudi membantu kami,” ucap Sri Ayu lembut.

Kanilaras menatap Sri Ayu dan tersenyum manis sambil merapikan pakaiannya.

“Sebenarnya, Nyi Sanak mau ke mana?” Sri Ayu menelisik gadis yang berdiri di hadapannya itu.

Lagi-lagi pendekar wanita itu mengulas senyum manis dan menjawab pertanyaan putri Raja.

"Aku tidak memiliki tujuan," katanya menutupi kebenaran.

"Tapi ... dari penampilan—" Sri Ayu menahan perkataannya dan menelisik Kanilaras dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Aku seorang pengembara. Kebetulan saja lewat dan melihat keributan ini semua,” tutur Kanilaras dengan mata berbinar.

“Sepertinya Nyi Sanak seorang bangsawan,” pungkas Sri Ayu seraya menyandarkan tubuhnya di pohon.

“Maksud Tuan Putri?” Kanilaras mengernyitkan keningnya sembari bertanya.

“Aku merasa bahwa engkau seorang bangsawan dan bukan orang sembarangan,” ujarnya dengan suara lemahnya.

Kanilaras melirik sebentar dan terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata, dia bingung mau menjawab pertanyaan Sri Ayu. Di saat keheningan melanda tiba-tiba Sri Ayu meronta kesakitan, matanya memerah dan perlahan kulit mulus gadis itu melepuh bagai terbakar api. Situasi yang sangat sulit di mengerti oleh Kanilaras. Walau dalam kepanikan Kanilaras tetap berusaha mengatasi keadaan dengan ketenangan.

“Siapa pun itu, tolong bantu kami!” pekiknya sekuat tenaga.

Kanilaras melihat sekeliling lingkungan kerajaan, tidak satu pun dari mereka yang terlihat mampu membantunya, dengan sangat putus asa dia mencoba mengingat racikan obat yang pernah dia pelajari di istana dulu. Beruntungnya kerajaan Rigilah memiliki tanaman obat; sehingga Kanilaras tidak perlu susah payah pergi ke hutan untuk mencari semua bahan-bahan obat yang di perlukan saat ini.

Hanya mengandalkan ingatannya Kanilaras mencari tumbuh-tumbuhan di sekitar istana dan meraciknya dengan sangat hati-hati.

Semoga saja dugaanku benar tentang racun yang menyebar di tubuhnya, batin Kanilaras cemas.

Netranya yang berwarna coklat kehijauan itu masih menatap Sri Ayu yang masih meronta kesakitan, dengan kedua tangannya yang sibuk menumbuk semua tumbuhan obat dan beberapa kulit kayu. Setelah semuanya siap segera Kanilaras meminumkan racikan obat tersebut dan membalurkan sebagian di tubuh Sri Ayu yang terluka.

“Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Tempat tinggal tidak ada. Dan kini ... aku harus merawatnya,” gumam Kanilaras yang saat ini memapah Sri Ayu menjauh dari istananya yang telah hancur.

Kanilaras berjalan sempoyongan membawa Sri Ayu pergi dari sana mencari penginapan. Sesaat melangkahkan kakinya beberapa langkah, terdengar teriakan seseorang dari belakang.

“Tunggu Aden ...!”

Sontak Kanilaras berhenti dan menolehkan kepalanya ke sumber suara, tampak wanita paruh baya berlari tergopoh-gopoh menghampirinya.

Napas yang memburuh dan dengan suaranya yang terbata-bata wanita paru baya tersebut bertanya, “M-mau di bawa ke mana, Putri Sri Ayu?”

“Penginapan terdekat,” jawab Kanilaras dengan cepat.

“Jangan Aden! Keselamatan Ndoro Putri harus di jaga,” ucap wanita tersebut.

“Kau siapa,” tanya Kanilaras dengan sorot mata yang mengintimidasi.

“Hamba, Mbok Saum! Emban, Putri Sri Ayu sejak bayi,” pungkas Mbok Saum dengan kepala tertunduk.

Kanilaras mengangguk dan kembali melontarkan pertanyaan, “Lantas kita bawa ke mana, beliau?”

“Aden ikut hamba ke rumah Ki Demang Durma,” sahutnya lirih.

Kanilaras mengikuti langkah kaki Mbok Saum yang menuju rumah demang yang terletak lumayan jauh dari kerajaan. Putri Sri Ayu dirawat dengan baik oleh Mbok Saum dan Kanilaras diberi kamar untuk beristirahat selama tinggal di sana.

...****************...

Di pagi hari yang cerah suara burung yang berkicau merdu membangunkan Putri Sri Ayu, perlahan dia meregangkan tubuhnya dan bangkit dari ranjang menatap sekitar ruangan. Tiba-tiba sorot matanya menajam melihat keadaan kulitnya yang terbakar dan meninggalkan bekas luka yang tidak mudah disembuhkan.

“Mbok ...!" teriak Sri Ayu panik memanggil emban setianya.

Mendengar teriakan itu Mbok Saum berjalan cepat menghampiri sumber suara tersebut.

“Hamba di sini Ndoro Putri,” tutur Mbok Saum.

"Di mana pendekar wanita itu, Mbok? Dan apa yang terjadi padaku?” tanya Sri Ayu dengan mata yang berkaca-kaca.

“Aden lagi berlatih pedang di belakang, Ndoro. Kemarin ... Ndoro Putri terkena racun siluman ular dan pendekar itulah yang mengobati Ndoro Putri!” Dengan senyuman yang lebar Mbok Saum menjelaskan keadaannya kemarin.

Putri Sri Ayu turun dari ranjangnya dan berjalan menuju halaman belakang rumah Ki Demang Durma.

“Ndoro Putri perlu sesuatu?” tanya Mbok Saum yang mengekor langkah Sri Ayu.

Kepala gadis itu menggeleng kecil. Sepasang netra Sri Ayu menatap serius gerakkan Kanilaras yang sangat lincah dengan ayunan pedang yang pelan, tetapi tidak mengurangi kekuatan dari pedang tersebut.

Sri Ayu terpukau melihat kilauan pedang bulan milik Kanilaras, dalam hati gadis itu bertanya-tanya tentang pedang tersebut. Ukiran pedang itu semakin membuatnya penasaran.

Namun, dia tidak ingin membuat Kanilaras merasa tidak nyaman jika dia bertanya terlalu mendalam akan asal usul pedangnya. Pendekar wanita itu memberhentikan kegiatannya saat melihat Sri Ayu duduk di depan pintu dapur.

“Rupanya Putri sudah bangun,” sapa Kanilaras seraya memasukkan pedang bulan ke sarungnya.

Gadis muda itu mengangguk sambil menyuguhkan senyuman manis, kini Sri Ayu berjalan menghampiri Kanilaras yang duduk di atas batang kayu.

“Bagaimana keadaan Tuan Putri sekarang?” tanya Kanilaras tanpa melihat wajah Sri Ayu sedikit pun.

“Sudah baikkan, kemarin kamu belum menjawab pertanyaanku!” tuntut Sri Ayu seraya melirik Kanilaras sebentar.

“Pertanyaan yang mana Putri? Hamba lupa,” jawab Kanilaras yang kini memalingkan wajahnya.

“Apa kau keturunan bangsawan?” Tatapan Sri Ayu tidak terlepas sedikit pun dari lawan bicaranya.

Kanilaras menjawab dengan memiringkan kepala, “Iya, hamba adalah Putri dari salah satu kerajaan di tanah Jawa ini.”

“Sudah aku duga. Lalu, apa tujuanmu mengembara?” tutur Sri Ayu tanpa ragu-ragu.

“Aku mengemban amanat dari kedua orang tuaku. Aku mohon jangan tanyakan amanat apa yang aku emban sekarang!” pinta Kanilaras dengan kata-kata yang penuh penekanan.

“Aku mengerti maksudmu, apa aku boleh meminta sesuatu kepadamu?” ucapnya pelan.

“Aku tidak suka terikat oleh siapa pun!” Kanilaras menjawab dengan nada suara yang datar.

“Setelah kau membantuku, aku berjanji tidak akan menyusahkan kamu lagi,” janji Sri Ayu kepada Kanilaras.

Pendekar wanita itu menatap sekilas Putri dari Raja Tanawar. Kanilaras adalah seorang gadis yang jujur dan baik hati, walau terkadang sikap dan ucapannya kasar.

Meski Sri Ayu tidak menjelaskan maksud dari permintaannya itu, Kanilaras sudah dapat mengetahui dengan sangat jelas

bahwa Putri Raja Tanawar tersebut ingin membalas perbuatan siluman ular yang membuat seluruh keluarga beserta masyarakatnya tewas.

Kanilaras masih berpikir keras atas permohonan gadis yang kini berada di sebelahnya.

“Aku mau membantumu, asal kondisi tubuhmu sudah pulih seperti sedia kala!” Syarat yang Kanilaras ucapkan.

Sri Ayu tersenyum tipis lalu menjawab perkataan Kanilaras dengan sangat antusias, “Lima hari. Ya, cukup lima hari aku memulihkan tubuh ini!” janji yang terucap dari mulut Sri Ayu

...****************...

Di tempat lain tepatnya di dalam hutan Belikat, Ratu Sanya marah besar atas kegagalannya mendapat persembahan dan kemurkaan itu memuncak tatkala dia mendengar kematian Senopati Barkah. Orang yang selama ini dia percayai dan hanya Senopati Barkah yang mengerti dengan semua kemauan Ratu Sanya tanpa harus menjelaskan.

“Siapa dia!” teriaknya dengan mata yang mendelik.

“H-hamba tidak tahu, Ratu. Yang jelas dia telah menghabisi Senopati dengan sangat kejam," ungkap prajurit itu dengan gugupnya.

“Bodoh! Cepat cari tahu siapa dia dan carikan perjaka pengganti untukku malam ini!” Bentak Ratu Sanya, matanya yang membulat sempurna menambah keberingasannya.

Mata Ratu siluman ular tersebut memancarkan cahaya merah dan membuat benda yang dia tatap hancur berkeping-keping. Bahkan beberapa prajuritnya, dia telan hidup-hidup tidak cukup sampai di situ. Ratu Sanya merubah wujudnya menjadi ular besar, ekor ularnya itu mengibas dan meruntuhkan goa yang dia tinggali selama ini.

“Aku mau kalian cari pendekar yang telah membunuh abdi setiaku!” Suara Ratu Sanya menggema di seluruh goa.

“Akan kami laksanakan Ratu,” jawab semua prajurit dengan kompak.

Tanpa berlama-lama lagi para prajurit melaksanakan titah Ratu Sanya.

Kekacauan terjadi di beberapa desa dan itu semua ulah prajurit Ratu Sanya yang mencari perjaka untuk persembahan.

Sebagian dari prajurit tersebut mencari keberadaan Sri Ayu dan Kanilaras; Ki Demang Durma mengambil langkah seribu memberitahu kabar tentang pencarian para prajurit siluman ular yang mencari Kanilaras dan Putri Sri Ayu.

“Sebaiknya Ndoro Putri dan Aden pergi dari sini!” saran Demang Durma, sepasang bola matanya melirik ke sana kemari.

“Menangnya ada apa Ki Demang?” tanya Kanilaras dengan kedua alisnya terangkat.

“Siluman itu datang lagi, Aden!” ujar Ki Demang Durma dengan terus-terusan menggosok tengkuknya, "cepat tinggalkan rumah ini, Ndoro!" usir Ki Demang Durma.

Belum selesai berbincang kelompok prajurit Ratu Sanya telah datang di depan rumah Ki Demang Durma, situasi tersebut membuat Mbok Saum dan Ki Demang Durma panik. Mereka berdua tidak ingin Putri Sri Ayu dan Kanilaras tewas di tangan para siluman ular tersebut.

“Cepat pergi dari sini Aden dan bawalah Ndoro Putri bersamamu!” usul Mbok Saum, tercetak jelas kekhawatiran di wajah Mbok Saum.

Di luar sana terdengar suara dobrakan pintu dan beberapa barang yang hancur karena pukulan dari prajurit Ratu Sanya.

“Mereka telah melarikan diri Kang,” pekik salah satu prajurit.

“Kejar mereka!” perintah dari pemimpin prajurit.

Kanilaras dan Sri Ayu dikejar sampai memasuki hutan larangan, di dalam hutan Kanilaras memutuskan untuk bersembunyi di balik semak-semak belukar.

“Jangan bersuara!” Jari Kanilaras menempel di bibir memberi isyarat pada Sri Ayu.

Terpopuler

Comments

@ᵃˢʳʏ ᵛᵃʳᴍᴇʟʟᴏᴡ🐬

@ᵃˢʳʏ ᵛᵃʳᴍᴇʟʟᴏᴡ🐬

sllu ajj ad penganggu ,kapan slesain.a penderitaan laras

2023-04-01

0

Yuna DR¹

Yuna DR¹

dasar ada juga siluman ular pengaggu,aku bunuh kamu nanti

2023-03-31

1

Ⓝ︎Ⓞ︎Ⓔ︎Ⓡ︎ʰⁱᵃᵗᵘˢ

Ⓝ︎Ⓞ︎Ⓔ︎Ⓡ︎ʰⁱᵃᵗᵘˢ

suer sih kanilaras emang keren, ceritanya juga keren.

2023-03-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!