Di Ujung Maut

Setelah hanyut dan terombang-ambing terbawa arus sungai, tubuh Kanilaras tersangkut di batang kayu di tengah sungai kali Brantas. Seorang wanita paru baya yang sedang melintas di pinggir sungai tersebut melihat tubuh Kanilaras yang bergerak karena arus sungai.

Tubuh Kanilaras terangkat tinggi dari sungai dan terbang menepi mendekati wanita paru baya yang tengah menyandarkan tubuhnya di batu besar yang terletak di tepi sungai.

Maheswari—nama wanita paru baya tersebut. Maheswari adalah perawan tua yang di asingkan oleh orang tuanya, peristiwa itu terjadi karena adik tiri Maheswari.

Saudari tirinya haus akan kekuasaan dan kasih sayang ayah mereka, dia juga tidak rela jika Maheswari mendapatkan warisan walau hanya seringgit saja.

“Anak manis,” ucapnya lirih seraya tersenyum lebar.

Dibawanya Kanilaras ke gubuk tempatnya berlindung selama ini dan tempat tinggal Maheswari tidak begitu jauh dari sungai tersebut. Warna kulit Kanilaras kini telah membiru.

Racun tombak merah telah menyebar ke seluruh tubuh Kanilaras, melihat hal tersebut membuat Maheswari sedikit panik. Segera dia membalurkan ramuan di luka Kanilaras.

Perlahan Maheswari memasukkan jarinya ke luka Kanilaras. Ditekan jarinya sekuat tenaga sampai luka Kanilaras mengeluarkan darah dan cairan berwarna hijau.

Akibat pengobatan Maheswari tubuh Kanilaras bergetar hebat dan dia memuntahkan dara segar dari mulutnya. Setelah berhasil mengeluarkan racun, wanita paru baya tersebut mengucapkan mantra dengan telapak tangan menyentuh luka Kanilaras. Telapak tangan Maheswari mengeluarkan asap dan tidak lama kemudian luka Kanilaras merapat secara perlahan-lahan.

“Rupanya kau terkena racun tombak merah,” ujar Maheswari lirih.

Racun tombak merah terkenal dengan keganasannya, siapa pun yang terkena racun tersebut akan langsung tewas di tempat. Beruntung Kanilaras memiliki tubuh yang sangat kuat sehingga dia mampu bertahan sampai bertemu dengan Maheswari; orang yang membantunya dari maut.

***

Kanilaras mengerjap-ngerjap matanya, dengan penglihatan yang sedikit kabur dia menelisik gubuk tua milik Maheswari. Sudah dua hari satu malam gadis itu tak sadarkan diri.

Setelah penglihatannya kembali normal Kanilaras menatap rembulan yang mengeluarkan sinar kekuningan dari cela-cela pepohonan sekitar, terdengar menggema suara raungan serigala di penjuru hutan dan tangan Kanilaras meraba-raba lengannya yang terkena tombak merah.

Kenapa lukaku tidak ada? Aku sangat ingat, pada saat itu aku terluka. Batin Kanilaras, bola matanya bergulir menatap lengan kirinya yang tampak biasa-biasa.

Jelaga hitam milik Kanilaras kembali menelisik ke seluruh gubuk, "Di mana aku?"

“Kau ada di gubukku, anak manis ...,” sahut Maheswari dari luar.

“Siapa kau dan ... di mana pedangku?” tanya Kanilaras dengan mata melotot.

Maheswari tersenyum sambil menyodorkan ramuan yang ditampung dalam batok kelapa, gadis berbulu mata lentik itu menatap curiga Maheswari.

“Minumlah, jangan takut! Aku tidak akan meracuni mu,” ucapnya sambil menyuguhkan senyuman yang menyimpan banyak misteri.

Siapa dia? Apa aku harus meminum ramuan yang dia berikan? gumam Kanilaras dengan alis yang bertaut.

Maheswari paham akan kecurigaan Kanilaras, karena dia pernah dalam posisi gadis itu yang hidup sendirian di dunia ini.

Penuh percaya diri Maheswari menenggak sedikit ramuan yang dia buat tadi.

"Lihat, aku baik-baik saja bukan!" ucap Maheswari sambil meraih pedang Kanilaras yang tergantung di belakang lemari.

Tanpa tanya lagi, Kanilaras menyesap tandas ramuan tersebut. Walau tubuhnya masih lemah Kanilaras bangun dari tempat tidurnya dan berusaha duduk menghadap Maheswari yang masih berdiri di depan pintu.

“Jangan terlalu banyak bergerak!” titah Maheswari seraya melirik gadis yang dia selamatkan.

Dengan suara yang lemah Kanilaras menjawab, “Siapakah gerangan nyi sanak? Dan ... kenapa nyi sanak menyelamatkanku?”

Maheswari menyunggingkan senyuman tipis dan mengembalikan Pedang Bulan ke tangan Kanilaras, “Siapa aku itu tidak penting. Sesama manusia harus saling membantu.”

“Siapa Aden sebenarnya? Kenapa bisa terkena racun tombak merah?” imbuh Maheswari yang memberondong Kanilaras dengan beberapa pertanyaan.

Aden adalah sebutan kepada seorang pengembara.

“Aku seorang pengembara biasa," tuturnya sambil memaling rambutnya, "Waktu itu aku tengah beristirahat di hutan dan secara tiba-tiba aku diserang gerombolan perampok," tambah Kanilaras dengan tangan yang mengepal.

“Dari kerajaan mana Aden berasal?” Maheswari kembali melontarkan pertanyaan.

Gadis itu terpaku menatap wanita paru baya tersebut.

"Kenapa Nyai menanyakan hal itu? Apa aku terlihat bagai utusan kerajaan?” Kanilaras balik bertanya pada wanita yang telah menyelematkannya.

Lagi-lagi Maheswari mengulas senyum, "Pakaian yang kau kenakan dan ... pedang yang kau bawa!” sergah Maheswari seraya menatap penuh Kanilaras.

Pertanyaan wanita itu membuat Kanilaras tertegun sejenak dan tanpa perintah isi kepalanya mengingat kejadian beberapa minggu lalu. Saat Raja Gendra menyerang kerajaan—tempat tinggalnya, tanpa sadar air mata Kanilaras menetes.

“Kenapa kau menangis?” Maheswari mendekati Kanilaras dan tangan kanannya mengelus kepala gadis itu dengan lembut.

Gadis muda tersebut menatap Maheswari dengan tatapan mata yang sendu. Dia menceritakan sedikit tentang kehidupannya, tetapi dia tidak memberitahu identitas aslinya. Kanilaras hanya bercerita tentang kedua orang tuanya yang tewas dibunuh oleh Raja Gendra.

Mendengar cerita Kanilaras, Maheswari menawarkan diri untuk menjadi gurunya dan berniat menurunkan semua ilmu kanuragan yang dia kuasai kepada gadis yang baru dia kenal.

"Apa Nyai sungguh-sungguh?" ujar Kanilaras dengan mata yang membulat menatap wanita paru baya tersebut.

Wanita paru baya tersebut hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara sepatah kata apa pun.

“Apa Nyai yakin mengangkatku sebagai murid?” tanya Kanilaras antusias.

“Firasatku mengatakan bahwa kau orang yang baik. Dan aku yakin ... kau akan menjadi pendekar yang bijaksana dalam segala urusan,” tuturnya dengan suara berat.

"Tapi, pantaskah diri ini menjadi murid anda?"

"Tentu saja. Kau tidak boleh ragu!" pungkas Maheswari, anggukkan kepala Maheswari membuat Kanilaras percaya akan kemampuannya.

Keesokan harinya, di bawa bukit berbatu Maheswari memerintahkan Kanilaras untuk bergelantungan di pohon layaknya kelelawar. Selama bertapa Kanilaras di larang makan dan minum, dia harus menyelesaikan tapa kalong tersebut sesuatu dengan aturan yang ditegaskan oleh gurunya—Maheswari.

“Kau harus tetap konsentrasi dan lebih kuatkan cengkeraman kakimu!” titah Maheswari yang berada di bawah pohon—tempat Kanilaras melakukan tapa kalong.

Iya, tapa kalong dilakukan untuk mendapatkan ilmu meringankan tubuh dan tapa kalong ini dilakukan oleh sebagian pendekar ternama; termasuk Maheswari yang kini menjadi guru Kanilaras

Sehari sudah Kanilaras melewati tapa ini, perutnya terasa melilit hebat, akibat tidak makan sejak pagi dan lagi tenggorokannya sangat memperihatinkan kondisi Kanilaras saat ini.

Sampai kapan aku melakukan tapa ini? gerutu Kanilaras dalam hatinya.

Pertanyaan yang terlontar dalam hati Kanilaras dapat didengar jelas oleh sang guru.

Tanpa tedeng aling-aling Maheswari menjawab dan menyindir batin Kanilaras.

"Sampai kau bisa tenang dan menguasai tubuhmu." Jawaban dari pertanyaan yang terlontar dari bibir tipis Maheswari.

Sontak Kanilaras terperanjat mendengar gurunya berkata demikian.

Dari mana dia tahu aku mengucapkan itu?

Belum sempat melanjutkan perkataannya Maheswari sudah menimpali lagi kalimatnya.

"Mau sampai kapan hatimu menggerutu, huh?" tukasnya dengan sorot matanya yang mematikan.

Walau Kanilaras merapatkan matanya, dia dapat merasakan aura kemarahan dari sang guru. Kembali gadis itu memusatkan pikirannya dan menenangkan hati yang selalu berkata-kata tidak jelas, ketika dia sudah hampir menguasai dirinya daun telinga yang kecil itu mendengar gesekkan daun yang tertiup angin.

Kanilaras kembali tidak fokus dan berulang kali dia menggerakkan kepalanya, angin yang menggulung kecil menabrak daun telinga Kanilaras dan masuk menelusuri rongga-rongga telinga.

Terdengar suara seorang pria tua, "Kau dan pedang itu milikku!" Sontak Kanilaras membuka kedua matanya dan menelisik daerah sekitar.

Terpopuler

Comments

Yuna DR¹

Yuna DR¹

untung dia di selamatkan oleh orang yang hebat ramuan dan baik juga

2023-03-31

1

Ⓝ︎Ⓞ︎Ⓔ︎Ⓡ︎ʰⁱᵃᵗᵘˢ

Ⓝ︎Ⓞ︎Ⓔ︎Ⓡ︎ʰⁱᵃᵗᵘˢ

konsentrasi Laras, konsentrasi

2023-03-31

1

༺T͢aᷞ͢nᷝ͢nᷪ͢eᷟ͢a͢༻㊍㊍

༺T͢aᷞ͢nᷝ͢nᷪ͢eᷟ͢a͢༻㊍㊍

syukur ada yg membantumu laras & bs berguru sama maheswari

2023-03-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!