"Kau ...!"
"Apa kau mengenalku nenek tua?" Faiz memandang nenek tersebut dengan tatapan tajam.
"Berhati-hatilah!" ucap Faiz lagi.
"Kau yang harus berhati-hati." Tidak ingin banyak bicara lagi nenek tersebut langsung melenggang pergi.
Sementara di rumah sakit sana Karmila sudah merengek ingin pulang.
"Kak kata dokter Kak Mila harus tinggal di rumah sakit barang beberapa hari."
"Aku mau pulang Dek." Karmila mencoba melepaskan selang infus di tangannya.
"Nggak boleh Kak. Suhu tubuh Kak Karmila masih panas." Qori menyingkirkan tangan Karmila yang yang hendak melepaskan selang infus.
Namun, Karmila menghempaskan tangan Qori hingga jarum infus di tangannya terlepas dengan kasar mengakibatkan lengan Karmila mengeluarkan darah.
"Aku mau pulang! Aku tidak mau di sini!" Karmila tampak mengamuk.
"Bik, tangan Kak Karmila berdarah," teriak Qori hingga sang bibi yang tadinya berada di luar langsung masuk ke dalam ruang rawat Karmila.
Melihat Karmila mengamuk sang bibi pun memanggil suaminya.
"Pak tolong panggilan dokter!" pinta bibi pada suaminya.
Paman dari Karmila mengangguk lalu berlari dengan tergopoh-gopoh menemui dokter.
"Dok keponakanku melepas paksa selang infus dan lengannya berdarah," lapornya.
Dokter pun dengan tergesa-gesa berjalan ke arah kamar rawat Karmila.
"Ada apa ini? Tenanglah!" Dokter mendekati Karmila dan mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Saya mau pulang Dok, hari ini suami saya dikuburkan. Saya ingin melihat dia disemayamkan," ujar Karmila sambil menangis.
Dokter menatap pada ketiga orang yang menunggui Karmila. Yaitu, pada paman dan bibi Karmila serta Qori seolah ingin protes bahwa mengapa mereka tidak berkata jujur tadi bahwa pasien baru saja kehilangan suaminya.
"Bagaimana dokter, apakah boleh?" tanya Karmila lagi. Menatap dokter dan keluarga secara bergantian.
"Boleh asalkan kau mau rawat jalan," jawab sang dokter.
"Maksudnya Dok?"
"Bu Karmila harus mau menjalani pengobatan di rumah dan tetap diinfus sampai benar-benar pulih. Nanti kami akan menugaskan salah seorang perawat yang akan merawat Bu Karmila. Setelah keadaan ibu sudah lumayan membaik bisa kontrol kembali ke rumah sakit sesuai jadwal yang akan kami berikan."
"Bukankah saya sudah baik-baik saja Dok? Kalau hanya demam nanti bisa sembuh asalkan dokter memberi saya obat."
"Tapi Anda dalam keadaan hamil dan kandungan Anda lemah. Anda juga kekurangan cairan. Lalai sedikit saja bisa keguguran. Kalau Anda memaksa akan keluar dari rumah sakit dan tidak menerima penawaran dari kami tidak masalah, tetapi kalau ada apa-apa nanti pihak rumah sakit tidak akan bertanggung jawab karena Anda dianggap pulang paksa," jelas dokter.
"Saya benar-benar hamil Dok?" Karmila masih belum mempercayai tentang berita kehamilannya dari keluarga. Dia pikir adik dan bibinya berbohong karena ingin menghibur sekaligus ingin agar Karmila tidak stres lagi memikirkan Faiz.
"Sus ambil hasil USG nya!" perintah suster pada perawat yang tadi masuk bersama dirinya dan sekarang tampak mengobati tangan Karmila yang berdarah.
"Baik Dok." Perawat tersebut langsung mengambil lembaran hasil USG.
"Ini Dok."
Suster meraih kertas tersebut dari uluran tangan perawat kemudian memberikan pada Karmila.
"Anda bisa lihat sendiri di gambar itu. Janin itu mulai tumbuh di rahim Ibu Karmila."
Karmila membaca lembaran hasil USG dengan teliti. Wajahnya terlihat kaget sebab tahu apa yang dikatakan dokter benar adanya.
Karmila menitikkan air mata sedih bercampur haru. Sedih karena bayinya akan terlahir tanpa seorang ayah dan terharu sebab Faiz masih meninggalkan kenangan terakhir untuknya. Ya dengan kehadiran buah hatinya nanti, Karmila akan selalu mengingat bahwa dirinya pernah mencintai dan dicintai oleh seorang pria yang bernama Faiz.
"Baiklah Dok saya setuju untuk melakukan rawat jalan." Akhirnya Karmila menyetujui saran dokter sebab tidak mau terjadi apa-apa pada janin yang dirinya kandung.
"Baiklah kalau begitu akan kami urus dulu. Sus siapkan semua yang dibutuhkan!"
"Baik Dok."
Beberapa saat setelah mengurus semuanya Karmila dan keluarga pulang kembali ke rumah Karmila.
Dokter menugaskan seorang perawat untuk mengurusi semua pengobatan di rumah Karmila dan setelah beres perawat itu hanya perlu mengunjungi dan mengontrol kesehatan Karmila pada waktu tertentu saja. Jika sudah memungkinkan, Karmila bisa langsung mengontrol kesehatannya ke rumah sakit kembali.
Beberapa saat kemudian mereka semua sudah sampai di rumah Karmila. Bibi, paman, dan Qori juga Karmila sendiri bingung sebab di rumah tersebut sudah terlihat sepi.
"Kenapa sepi begini? Apa penguburan Bang Faiz sudah selesai?" tanya Karmila dengan tatapan mata yang terlihat sendu.
"Nggak tahu juga Kak. Mungkin di daerah sini beda sama di kampung kita. Kalau di kampung saat penguburan selesai masih banyak tetangga dan keluarga yang bantu-bantu memasak untuk acara tahlilan," sambung Qori.
"Mungkin besok tahlilannya Qori. Untuk hari ini mungkin cukup tahlilan di pemakaman saja. Besok malam baru ada tahlilan," ujar bibi menyambung pembicaraan keduanya.
"Ya mungkin memang seperti itu." Sang paman ikut nimbrung. "Apalagi sepertinya di sini baru saja turun hujan lebat, jadi orang-orang pasti sudah pada pulang," imbuhnya.
"Iya benar, tanah di sini memang terlihat basah."
Mereka semua mengangguk dan langsung turun dari mobil tatkala mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di depan rumah.
"Ibu mana?" tanya Karmila lagi saat menyadari Bu Lela juga tidak ada di sana.
"Mungkin ada di rumah tetangga kali, sebab kalau berdiam di sini kesepian karena hanya seorang diri."
"Mungkin."
Qori menuntun Karmila sampai di kamarnya, bau kembang bercampur kemenyan masih mengusik hidung mereka sehingga membuat Qori terlihat meringis.
"Kak pindah kamar saja ya?" saran Qori. Melihat kamar tersebut gadis itu mengingat saat tadi pagi Faiz terbujur kaku di atas ranjang yang sama, bahkan sprei yang menutup ranjang itu masih sprei yang sama dengan yang menjadi alas tubuh Faiz tadi pagi.
"Kemana sih mertua kakak? Daripada main ke tetangga kan mendingan nyuci nih sprei," protes Qori.
Sementara Qori mendumel Karmila tidak berpikiran panjang lagi. Dia langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Baginya tak mengapa dia tidur di ranjang yang sama dengan tempat jenasah Faiz tadi. Bahkan saat ini wanita ini sangat merindukan bau tubuh suaminya. Andai saja Karmila masih bisa memeluknya, dia pasti akan memeluk tubuh Faiz meskipun sudah menjadi mayat.
"Pelan-pelan Bu." Suster membantu Karmila berbaring. Membenahi infus Karmila agar posisinya pas.
"Ibu Karmila makan dulu ya. Setelah itu baru minum obat," suruh perawat yang kini duduk di sampingnya.
"Baik Sus." Karmila menurut saja dan makan menu yang diberikan rumah sakit tadi yang belum sempat ia konsumsi.
Belum sempat Karmila menyelesaikan makannya, matanya menangkap sesosok pria yang melintas di depan pintu.
Karmila tampak kaget.
"Bang Faiz?"
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments