Bila hati mulai terpaut, kadang masa lalu tidak ada lagi artinya, sebab yang menjadi tolak ukur saat ini adalah bagaimana menata hidup bersama yang lebih baik hingga menuai hasil yang baik pula di masa yang akan datang.
(Ammar Hisyam)
💮💮💮
Ammar masih diam membeku di tempat. Dalam hatinya, ia merutuki lidahnya yang keceplosan membawa masa lalu Ulfi yang menurut kakek Hasan maupun ayah Rasyid sudah tenggelam dalam 'pergaulan bebas'.
Padahal, tak sekalipun Ammar ingin mengungkit masalah itu, bahkan jika memang masa lalu Ulfi terlampau bebas ia akan tetap menerimanya.
Glek
Pria itu berusaha menelan salivanya yang seolah tertahan di tengah kerongkongannya. Sungguh tatapan Ulfi padanya saat ini membuat pria itu bagai anak kecil yang ketahun berbuat salah oleh ibunya.
"Maaf, bukan itu maksud saya," cicit Ammar pada akhirnya setelah berusaha merangkai kata yang cukup panjang dalam benaknya.
"Asal ustadz tahu, saya memang hidup dalam pergaulan bebas tapi bukan berarti saya tidak mampu menjaga diri saya sendiri, hah, terserah ustadz sajalah mau menilai saya seperti apa, intinya hanya itu yang bisa saya katakan," ungkap Ulfi lalu beranjak dari tempat tidur dan pergi meninggalkan Ammar.
"Astaghfirullah, ini mulut kenapa sampai bilang itu sih, padahal maksud saya tidak seperti itu," lirih Ammar lalu mengusap kasar wajahnya.
"Eh, tunggu dulu, apa Ulfi sudah sholat yah? Astaghfirullah ampuni hamba yang lalai mengingatkan Ulfi untuk sholat ya Allah," ucap Ammar lalu menunduk lesu, ia yakin saat ini Ulfi pasti kembali ke asramanya.
💮💮💮
Ulfi kini berjalan memuju asramanya. Jujur ia merasa tersinggung dengan ucapan pria yang kini berstatus suaminya itu.
"Memangnya dia pikir dulu aku sering lihat yang kayak gitu apa? Dasar ustadz killer, dia belum tahu aja kalau mataku ini masih suci meski mulutku sudah tidak suci lagi karena pernah menenggak minuman haram," gerutu Ulfi terus berjalan.
Ia tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang karena melihat gadis berkerudung merah yang mengomel sendiri sambil berjalan.
"Assalamu 'alaikum," ucap Ulfi saat memasuki kamarnya lalu berbaring di atas tempat tidurnya.
"Wa'alaikum salam, Ulfi bagaimana keadaanmu? Tadi kamu pulang ke rumah kakek Hasan yah?" tanya Ira yang datang menghampiri Ulfi.
"Udah baikan, Iya," jawabnya singkat.
"Kamu kenapa? Kok mukanya di tekuk begitu?" Ira menangkap gelagat aneh dari teman tetangga tempat tidurnya kali ini.
Ulfi membuang napas pelan, "tidak apa-apa kok," jawabnya, " oh iya Ira, kamu punya buku tata cara sholat tidak? Aku mau pelajari, karena lupa cara dan bacaan sholat, aku tidak pernah sholat sendiri selama ini kecuali sholat berjamaah, itupun pas tinggal disini," lanjutnya dengan suara pelan.
"Ada kok, tunggu yah," ucap Ira lalu beranjak membuka lemarinya dan mengambil sebuah buku saku bertuliskan tata cara sholat.
"Nih, ambillah, semoga kamu bisa segera menghafalkan semuanya," lanjut Ira sembari menyodorkan buku saku itu kepada Ulfi.
"Makasih yah Ir." Ulfi mulai membuka buku itu mulai dari halaman awal.
"Ulfi, kamu mau nggak dengar saran dari aku biar kamu lebih mudah menghafal?" tanya Ika yang kini duduk di samping Ulfi.
"Oh yah? Apa itu?"
"Berwudhulah setiap kali kamu akan belajar ataupun menghafal, jika tubuh dan jiwa bersih maka ilmu akan lebih mudah masuk," tukas Ika.
"Hmm, gitu yah?" tanya Ulfi dan Ika mengangguk.
Meski kepalanya masih sedikit pusing, Ulfi tetap pergi untuk mengambil air wudhu sore itu.
Dan kini ia mulai membaca buku tersebut dengan seksama, sesekali ia menutup mata untuk menghafalkan doa yang menggunakan huruf latin. Meski Ulfi sudah menghafal huruf hijaiyah berserta tanda bacanya, namun ia belum begitu lancar untuk membaca Al-Qur'an atau pun hadits dan doa yang menggunakan huruf hijaiyah.
💮💮💮
Hari terus berganti, tidak terasa tiga hari telah berlalu semenjak Ulfi pergi dari rumah Ammar, selama itu pula Ulfi tidak menampakkan batang hidungnya. Di tambah selama tiga hari pula Ammar tidak memiliki jadwal mengajar di kelas Ulfi, sehingga dalam tiga hari itu Ammar tidak pernah bertemu dengani Ulfi.
Seperti sore ini, Ammar benar-benar di buat gelisah dengan sikap Ulfi yang seolah menghilang meski pada kenyataannya gadis itu tetap stand by di asramanya sesuai dengan informasi yang di berikan oleh ustadzah Fauziah selaku pembina asrama.
Jika boleh jujur, Ammar mulai merindukan gadis yang baru empat hari ia nikahi itu. Meski sikap Ulfi ketus dan tampak begitu jelas bahwa dia belum bisa menerima pernikahannya, namun itu tak lantas membuat perasaan Ammar berubah. Justru sebaliknya, perasaannya kian hari kian mekar bagai bunga di musim semi.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu sontak membuat Ammar sadar dari lamunannya. Dengan langkah malas, ia berjalan membuka pintu.
"Assalamu 'alaikum, om," sapa Firdaus.
"Wa'alaikum salam, ada apa Daus?"
"Tadi ummi titip pesan ke om supaya om ikut makan malam bersama di rumah malam ini, kebetulan kakek juga sudah di sana," ujar Firdaus.
"Apa kamu sudah mau pergi sekarang?" tanya Ammar.
"Iya om, saya juga baru mau pergi karena baru dapat izin dari pembina asrama," jawab Firdaus.
"Ya sudah, kita berangkat sama-sama," usul Ammar kemudian ia masuk ke dalam rumah dan mengambil ponselnya lalu mengunci pintu rumahnya.
"Ayo," ajak Ammar.
"Om tidak naik motor?" tanya Firdaus sambil melirik ke arah sebuah motor besar yang terparkir di teras rumahnya dengan begitu gagah.
"Helee, kita jalan kaki saja, sekalian olah raga, toh rumahmu juga dekat," jawab Ammar sambil merangkul pundak remaja laki-laki yang lebih pendek 2 cm darinya.
Mereka pun mulai berjalan bersama.
"Om, selamat atas pernikahan om, maaf ucapannya telat," ucap Firdaus.
"Iya terima kasih," ucap Ammar tersenyum sembari melepas rangkulannya. "Oh iya tahu darimana kamu?"
"Dari ummi, tapi kenapa mendadak om, perasaan dari kemarin om bilang sedang tidak punya calon, eh pagi itu tiba-tiba nikah, sama santriwati pondok ini lagi, apakah..." Firdaus mulai menerka-nerka.
"Husss, berhenti menerka-nerka, yang jelas alasan kami menikah karena kebaikan dan bukan untuk menutupi sebuah rahasia," ujar Ammar cepat.
Mendengar jawaban Ammar, Firdaus mengangguk paham.
"Oh iya istri om mana? Harusnya dibawa juga biar bisa ketemu sama ummi," tukas Firdaus.
"Dia lagi belajar di asrama, kan kamu tahu sendiri kalau dia itu santriwati disini," jawab Ammar. "Oh iya, tolong rahasiakan ini dari teman-temanmu," lanjutnya.
"Siap om," sahut Firdaus.
Kini mereka berjalan melewati kawasan santri putri, hingga mata Ammar tertuju pada seorang gadis berkerudung merah yang sedang duduk di bawah pohon ketapang sambil memegang buku.
"Alhamdulillah, akhirnya aku menemukanmu," batin Ammar, dan disaat yang sama rupanya Firdaus juga sedang melihat ke arah Ulfi.
Merasa tidak nyaman karena istrinya di tatap oleh pria lain, Ammar akhirnya menyuruh Firdaus agar pulang lebih dulu karena ia memiliki sedikit urusan mendadak.
Setelah keperian Firdaus, Ammar berusaha memanggil istrinya pelan, sayangnya Ulfi sama sekali tidak mendengarnya. Tidak mungkin juga ia berteriak memanggilnya di tempat seperti ini, yang ada bukannya Ulfi yang datang, tapi malah seluruh santriwati di asrama itu yang datang.
"Duh, gimana cara manggilnya yah?" Ammar tampak berpikir keras di tempatnya.
"Assalamu 'alaikum ustadz," ucap sessorang dari belakang Ammar membuat pria itu berbalik ke arah sumber suara.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Kenapa gak di samperin aja sih..
2024-01-18
1
meE😊😊
ksian daus jtuh cinta ma istri om y sndri
2023-01-24
1
teti kurniawati
toppo
2022-12-15
2