Bagaikan sebuah gendang yang di tabu, jantung Ulfi berdetak lebih cepat saat ia merasa keningnya akan di kecup.
"Iiih ustadz mau ngapain?" Ulfi membuka matanya dengan cepat dengan mata yang membulat ke arah Ammar saat wajah Ammar berada tidak jauh dari wajahnya saat ini.
Ammar yang ketahuan hampir mengecup kening Ulfi sedikit salah tingkah lalu kembali mengangkat wajahnya, tak lupa ia menarik sebuah sarung yang berada tepat di samping kepala Ulfi.
"Memangnya kamu pikir saya mau ngapain?" tanya Ammar.
"Mau mencium kening Ulfi kan?" ucapnya dengan wajah kesal.
"Eh sok tahu kamu, saya mau ngambil ini tadi," ujar Ammar berkilah sambil memperlihatkan sarung di tangannya yang tadinya sempat ia ambil di samping kepala Ulfi.
"Apa? masa sih, perasaan tadi jelas banget bayangannya ingin mencium keningku, duh malu banget aku," batin Ulfi, ia merutuki kebodohannya yang terlalu percaya diri, meski sesungguhnya dugaan Ulfi benar.
"Eh, be-benar kok, tadi saya rasa memang begitu" jawabnya dengan suara yang semakin mengecil karena malu namun tak ingin mengakui.
Ammar sedikit menarik ujung bibirnya saat melihat wajah Ulfi yang memerah karena merasa malu.
"Karena kamu sudah sadar, sekarang kamu makan dulu biar nggak sakit lagi," ucap Ammar sembari mengambil sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk di atas nakas.
"Bukan karena nggak makan yang bikin saya sakit, tapi hukuman dari ustadz, heran deh kok yah ada suami yang tega menghukum istrinya kayak gitu," protes Ulfi sembari memanyunkan bibirnya hingga membuatnya tampak menggemaskan di mata Ammar.
"Ya salah siapa nggak ngerjain tugas?" tanya Ammar menahan senyumnya.
"Yaa mana sempat saya buatnya, kan semalam saya di luar."
"Ya salah siapa hobi kabur, hah?"
"Ish, tau ah," ucapnya ketus, "iss, kesal banget deh ngomong sama ustadz killer ini," lanjutnya berbicara pelan.
"Apa kamu bilang?" tanya Ammar saat mendengar Ulfi sedikit berbicara namun tak terdengar jelas di indra pendengarannya.
"Nggak, sini biar saya makan sendiri," ujar Ulfi ketus hendak mengambil piring berisi makanan dari tangan Ammar, namun pria itu lebih cepat menahannya.
"Kamu sakit, jadi biar saya yang suapin kamu," ujar Ammar lembut.
"Nggak usah sok peduli deh ustadz, sini!"
"Kamu masih sakit Ulfi, jadi biarkan saya menyuapi kamu."
Ulfi membuang napas kasar sejenak merasa dongkol dengan pria yang berada di sampingnya saat ini.
"Ya udah, kalau ustadz tetap bersikeras, mending saya tidak usah makan sekalian." Ulfi memalingkan wajahnya dari Ammar, pria itu hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sikap istri kecilnya itu.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu membuat Ammar langsung meletakkan kembali piring di atas nakas lalu beranjak membuka pintu.
"Assalamu 'alaikum nak, bagaimana keadaannya Ulfi?" tanya Ibu Hana yang datang ingin melihat keadaan putrinya.
"Wa'alaikum salam, Alhamdulillah Ulfi sudah baikan bu, ini baru mau makan," jawab Ammar sembari mempersilahkan sang ibu mertua masuk.
"Ibu suapin Ulfi dong," rengek Ulfi begitu manja, sangat berbeda saat ia berbicara dengan Ammar.
Ibu Hana sejenak menoleh ke arah menantunya yang kini hanya tersenyum kikuk ke arah sang ibu mertua.
"Ya sudah, mumpung ibu masih disini, jadi ibu akan menyuapi kamu," ujar ibu Hana, seketika membuat senyuman Ulfi terbit di wajah cantiknya.
Tak ingin mengganggu suasana, Ammar memilih pamit untuk keluar sebentar.
"Ulfi, tadi ibu dengar cara bicara kamu ketus banget sama suami kamu sendiri, nggak baik gitu sayang," ucap ibu Hana begitu lembut sembari menyuapi makanan ke mulut Ulfi yang kini dalam keadaan duduk sembari menyenderkan punggungnya di kepala ranjang.
"Ya mau gimana lagi bu, Ulfi kesel sama dia, lagipula Ulfi juga belum bisa menerima pernikahan ini, Ulfi belum siap bu," jawab Ulfi.
"Suka tidak suka, siap tidak siap, semua sudah terjadi sayang, mau tunggu sampai kapan pun kalau kamu selalu bilang tidak siap yah kamu tidak akan pernah siap, cobalah untuk membuka hati dan menerima kehadiran suami kamu, menerima keadaan kamu sekarang." Ulfi hanya diam menyimak perkataan ibunya.
"Lagipula ibu lihat suami kamu itu sholeh, tampan, sabar lagi, susah loh dapat suami paket lengkap kayak dia, kalaupun ada belum tentu orangnya mau," lanjut ibu Hana memuji menantunya.
"Ih, ibu kok malah muji dia sih, Ulfi dan dia itu nikah karena perjodohan, nikahnya juga dadakan. Sama seperti Ulfi, pasti dia juga belum memiliki perasaan sama Ulfi," terangnya.
"Nah karena itu, nasib dia sama kayak kamu, tapi dia memperlakukan kamu dengan baik kan, tutur bicaranya juga lembut."
"Iya bu, tapi itu cuma berlaku saat cuma kami berdua, saat di sekolah dia itu galak, bahkan tadi dia menghukum Ulfi, ihhhh kesel deh."
Ibu Hana menggeleng pelan, "sayang, asal kamu tahu yah, karakter asli seseorang itu baru terlihat saat ia di rumah bersama keluarganya, lagi pula dia tidak mungkin menghukum jika kamu tidak bersalah."
"Ih, ibu kok malah belain dia sih, disini yang anaknya ibu kan Ulfi." Ulfi memanyunkan bibirnya.
"Kalian berdua sekarang anak ibu, udah-udah makan yang banyak biar kekuatan kamucepat pulih," ujar ibu Hana sembari kembali menyuapi Ulfi.
Di saat yang sama, ayah Rasyid sedang berbicara dengan Ammar di rumah kakek Hasan.
"Nak Ammar, ayah titip Ulfi yah, dia masih sangat muda jadi sikapnya masih sangat kekanak-kanakan, apalagi sikapnya yang manja dan sedikit keras kepala, ayah harap kamu bisa lebih bersabar menghadapi dia, tolong sayangi dia dan jangan pernah sakiti dia, bimbing dia menjadi lebih baik disini karena masa lalunya yang sangat bebas mungkin membuatnya tidak betah."
Ayah Rasyid memberikan nasehat kepada menantunya itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia sendiri tidak menyangka bahwa putri kecilnya itu akan menikah secepat ini.
"Iya Allah ayah, Ammar akan mengingat semuan pesan ayah dan menerapkannya dengan baik, mohon doanya ayah," ujar Ammar begitu sopan.
Ayah Rasyid tersenyum bahagia mendengar tutur kata Ammar yang begitu sopan, tangannyanterukur untuk menepuk pundak Ammar pelan.
Setelah selesai sholat ashar, ibu Hana dan ayah Rasyid akhirnya pamit untuk kembali ke Jakarta, mengingat jadwal ayah Rasyid yang sangat sibuk. Meski berat hati terpisah kembali dengan kedua orang tuanya, pada akhirnya Ulfi harus tetap harus rela hidup jauh dari kedua orang tuanya demi kehidupannya yang lebih baik di pesantren ini.
Setelah kepulangan orang tua Ulfi, gadis itu kembali ke kamar sang suami, namun caranya begitu unik. Karena tak ingin ketahuan oleh santri lain, Ulfi terlebih dahulu masuk ke dalam rumah kakek Hasan lalu keluar melalui pintu belakang, dan melalui pintu belakang ia masuk ke dalam rumah Ammar yang memang berada tepat di samping rumah kakek Hasan. Apalagi halaman belakang rumah yang tertutupi oleh pagar tinggi sebagai pembatas lingkungan pesantren dan lingkungan luar.
Gadis itu kembali membaringkan tubuhnya karena ia merasa kepalanya masih sedikit pusing.
Tak lama setelah itu, Ammar masuk ke dalam kamar membuat gadis itu dengan cepat memejamkan matanya.
Ammar tersenyum tipis melihat Ulfi yang menutup mata, jelas-jelas belum cukup satu menit ia memasuki kamar kini ia sudah kembali tertidur.
"Ulfi, saya akan keluar sebentar untuk takziah di desa sebelah, apa kamu ingin memakan sesuatu? Biar saya belikan," ucap Ammar membuka lemarinya untuk mencari pakaian yang akan ia pakai.
Mendengar penawaran Ammar, mata Ulfi perlahan terbuka, jujur saja Ulfi saat ini sangat ingin makan bakso, selama di pesantren ini ia tidak pernah lagi memakan makanan favoritnya itu.
"Boleh, Ulfi mau pesan bak..-"
Ucapan Ulfi terputus tepat saat Ulfi membuka mata, ia justru di hadapkan dengan tontonan gratis yang membuat tubuhnya seketika membeku. Dan,
"Aaaaaaaaaa"
Teriak Ulfi sembari menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Mendengar teriakan Ulfi, Ammar refleks memeluk tubuhnya sendiri, saat ini ia sedang mengganti bajunya dan hanya menyisakan sarung yang menutupi tubuh bagian bawahnya, sementara tubuh bagian atasnya yang sedikit berotot dengan roti sobek yang menghias perutnya dengan sempurna terpampamg jelas di hadapan Ulfi.
"Astaghfirullah, saya kira ada apa sampai kamu berteriak seperti itu," dumel Ammar sembari melepas pelukan di tubuhnya sendiri.
"Yaa habisnya ustadz ganti baju kok di depan saya sih, nggak malu apa?" gerutu Ulfi masih menutup wajahnya dengan telapak tangannya, namun kini jarinya sesekali ia buka agar bisa mengintip.
"Laah, memangnya apa yang salah, kamu kan istri saya," jawab Ammar santai sambil memakai baju gamis putihnya, membuat ketampanan pria itu naik berkali-kali lipat.
Dalam hati, Ulfi mengakui suaminya memanglah sangat tampan, namun ia segera menepis semuanya, "ya tapi kan saya masih di bawah umur ustadz."
"Tapi kata kakek sebelum masuk kesini hal seperti ini sudah biasa untuk kamu," ujar Ammar membuat Ulfi langsung menurunkan tangannya dan menatap Ammar dengan tatapan tajam.
"Jadi menurut ustadz, sebelum saya masuk disini saya sering melihat hal seperti itu bahkan sudah biasa, maksud ustadz apa? Apa serendah itu masa lalu saya di mata ustadz?" cecar Ulfi, membuat Amar seketika diam.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
meE😊😊
aduhh jd ikut ngehalu in ust ammar🤭🤭
2023-01-24
1
маяшан
jan marah2 wae ulfi, ujung2nya cinta
2023-01-19
2
teti kurniawati
kaya nasi liwet komplit😊
2022-12-15
1