"Assalamu 'alaikum ustadz," ucap sessorang dari belakang Ammar membuat pria itu berbalik ke arah sumber suara.
"Wa-wa'alaikum salam, eh ada apa Sarah, Sinta?" tanya Ammar pada kedua gadis yang kini berada di hadapannya.
"Tidak ustadz, kami baru saja dari koperasi santri dan melihat ustadz disini" jawab Sarah. "Oh iya ada perlu apa ustadz disini? Ada yang bisa kami bantu?" tanya Sarah lagi.
"Tidak, tidak ada apa-apa, saya permisi dulu," ucap Ammar hendak pergi namun terhenti saat mendengar pertanyaan Sarah.
"Afwan ustadz mau tanya, apa nanti malam pengajian yang ustadz bawakan jadi?" tanya Sarah.
Ammar sejenak mengingat jadwalnya dan seketika ia merasa lega karena ternyata ia masih memiliki kesempatan hari ini untuk bertemu Ulfi saat pengajian nanti.
"Insya Allah, tolong beritahu kepada teman-teman kalian kalau kalian semua di wajibkan datang," titah Ammar, tentu saja dengan maksud tertentu.
"Baik ustadz."
Mereka pun kembali melanjutkan jalannya menuju ke asrama mereka dan bertemu dengan Ulfi di bawah pohon ketapang.
"Ulfi, ngapain kamu sendirian disitu?" tanya Sinta.
"Nih." Ulfi hanya menjawab dengan memperlihatkan judul buku kepada Sinta.
"Oh, jadi kamu beneran belum tahu sholat yah?" tanya Sinta.
"Haruskah aku menjawabnya Sinta?" tanya Ulfi dengan tatapan tajamnya.
"Eh hehe nggak perlu kok, aku udah paham," jawab Sinta langsung berlari cepat ke kamarnya.
"Semangat Ulf, oh iya setelah sholat maghrib nanti kita ada pengajian, kamu harus ikut yah?" ujar Sarah.
"Hmm, iya nanti aku usahakan," jawab Ulfi.
"Good girl," puji Sarah sambil menepuk pelan pundak Ulfi lalu pergi ke kamarnya menyusul Sinta.
Ulfi kembali melanjutkan aktivitas menghafalnya dengan begitu fokus hingga tidak terasa azan maghrib pun berkumandang.
"Ayolah Ulfi, lawan rasa malasmu, mau sampai kapan kamu seperti ini terus, hidup butuh perubahan menjadi lebih baik bukan? Kamu pasti bisa," monolognya menyemangati diri sendiri.
Dalam keadaan tertentu, Ulfi menyadari bahwa rasa malas masih selalu menghampirinya dan menggodanya untuk kembali pada kebiasaannya di masa lalu, dan gadis itu telah bertekad untuk berubah sedikit demi sedikit meski belum sempurna.
Kini gadis itu sudah berada di dalam kamar mandi, sejenak ia menutup matanya mengingat kembali apa yang tadi sempat ia pelajari di buku tata cara sholat.
Perlahan ia membuka mata dan mulai mempraktekkan satu per satu urutan wudhu. Dimulai dari bismilah yang sempat ia baca tadi sebelum masuk kamar mandi, lalu ia lanjutkan dengan membasuh telapak tangan, berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya, membasuh wajah, mengalirkan air dari telapak tangan sampai ke siku, lalu mengusap kepala dilanjut dengan telinga dan terakhir membasuh kaki sampai me mata kaki. Semua itu di lakukan secara berurutan hingga di tutup dengan doa setelah wudhu yang ia baca setelah keluar dari kamar mandi.
Sebagaimana yang ia pelajari, bahwa mengaji, berdzikir atau pun berdoa tidak boleh di lakukan di dalam kamar mandi, karena kamar mandi adalah tempatnya setan.
Senyuman indah seketika terpancar di wajahnya saat ia telah menyelesaikan semuanya, ada rasa bahagia dan lega yang tidak bisa ia gambarkan saat ini, yang jelas rasa itu tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kok rasanya adem gini yah," batinnya bertanya pada dirinya sendiri sambil berjalan menuju kamar.
"Ulfi, kok lama banget di kamar mandi? Ayo buruan jangan sampai kita telat sholatnya," ujar Fira yang sejak tadi menunggunya.
"Iya iya ini juga udah cepat kok," cicitnya sambil memakai mukenah.
"Ulfi, kamu punya kitab kuning tidak?" tanya Fira.
"Kitab kuning?" Ulfi terdiam sejenak, "Nggak Fir, kitabku warna pink," jawabnya polos. Yah, kitab kuning yang ada di pikirannya saat ini adalah sebuah kitab Al-Qur'an dengan sampul berwarna kuning.
Fira menepuk jidatnya, ia lupa kalau Ulfi benar-benar sangat asing dengan hal itu.
"Ulfi, yang aku maksud kitab kuning itu yang kayak gini," ucap Fira sembari memperlihatkan sebuah buku tebal bergaya klasik dimana kertasnya berwarna kuning dan isinya menggunakan bahasa Arab tanpa harokat.
"Nanti kita akan pengajian seputar kitab ini, judulnya Fathul Qarib," lanjut Fira.
"Oh gitu, kirain tadi itu Al-Qur'an, serius deh," ucap Ulfi sambil nyengir bodoh.
"Udah yuk," ucap Fira lalu menarik tangan Ulfi, mereka pergi bersama sementara yang lain sudah pergi sejak tadi.
Setelah menunaikan sholat Maghrib, Ammar masuk ke dalam masjid untuk memulai pengajian.
Ulfi yang menyadari bahwa yang mengisi pengajian kali ini adalah suaminya perlahan bergeser ke belakang tubuh temannya agar tidak terlihat oleh pria itu. Sejujurnya ia sudah tidak kesal lagi kepada suaminya itu, hanya saja rasa gengsi dan malu masih menguasainya.
Pengajian pun dimulai, kali ini Ammar membahas seputar bab sholat. Bab yang sangat sesuai dengan apa yang sedang Ulfi pelajari. Sejenak Ulfi memperhatikan suaminya yang menjelaskan dengan begitu lugas, pembacaan bahasa Arab yang kemudian ia terjemahkan dan jabarkan dengan bahasa yang lebih ringan dan sederhana benar-benar sangat membantu Ulfi yang pada dasarnya masih sangat awam tentang hal itu dapat lebih mudah memahami.
Hingga tidak terasa adzan sholat isya pun berkumandang, Ammar yang kebetulan berada di masjid putri saat ini pun memutuskan sholat berjamaah di tempat itu, dan tentu saja langsung menjadi imam.
Suara yang begitu merdu dalam membacakan ayat suci Al-Qur'an membuat Ulfi begitu menikmati sholatnya malam itu. Yah, itu adalah kali pertama Ulfi sholat berjama'ah dengan Ammar sebagai suaminya, meskipun bukan hanya dia yang menjadi makmumnya.
Setelah menunaikan sholat dan dzikir serta absen, satu per satu santriwati pulang ke asramanya, begitupun Ulfi. Namun, ia memilih pulang terakhir karena ia sendiri masih sedikit ragu, apakah ia harus pulang ke rumah suaminya malam ini atau kembali ke asrama. Ia sudah tiga hari berturut-turut tinggal di asrama dan sesuai perjanjian, di hari ke empat sudah seharusnya ia kembali ke rumah suaminya.
Di saat jalan mulai sepi karena semua santriwati sudah pulang termasuk teman-temannya, Ulfi justru masih berjalan pelan dalam kegelisahannya, lalu tiba-tiba sebuah tangan kekar meraih tangannya dari arah belakang.
"Pocong pocong eh pocong," latahnya begitu terkejut dan takut sambil menutup matanya.
"Pocong apaan sih, ini saya," suara bariton di hadapannya yang terdengar tidak asing membuat ketakutan Ulfi hilang seketika.
Mata gadis itu perlahan membuka dan kini tampaklah dengan jelas sosok pria tampan yang tidak lain adalah suaminya berada di hadapannya.
Degh
Jantung Ulfi berdegup kencang, membuat aliran darah dalam tubuhnya semakin cepat hingga membuat wajahnya merona disertai dengan rasa gugup yang menghampirinya secara bersamaan.
"Kenapa dengan jantungku, iss pasti gara-gara ustadz killer ini yang mengagetkanku tadi," batinnya menepis segala kemungkinan yang melintas di pikirannya saat ini.
"Eh ustadz apaan sih pake pegang-pegang segala," gerutu Ulfi sembari melepas genggaman tangan Ammar, bukan karena tidak suka melainkan ia sedang berusaha menetralkan rasa gugupnya di hadapan pria itu.
"Memangnya salah yah saya memegang tangan istri saya sendiri?" tanya Ammar.
"Yaa salah lah," ucapnya dengan nada tinggi, "nanti kalau ada yang lihat gimana?" cicitnya kemudian dengan suara pelan.
Ammar mengulum senyum melihat tingkah istrinya yang begitu menggemaskan. Lalu kembali ia meraih tangan Ulfi dan menariknya lembut agar ia berjalan mengikutinya menuju ke sebuah jalan lain yang sepi dan jarang di lalui oleh santri.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Authophille09
lucu banget sih, gemes deh😍
2022-12-23
2