Ulfi masih saja terpaku melihat sosok pria tampan yang ada di hadapannya saat ini.
"Sepertinya pernah lihat orang ini deh," batinnya masih menatap lekat pria itu.
Sementara pria yang di tatap kini mengeluarkan sebuah tongkat kecilnya dan memukulkan tongkatnya itu tepat di hadapan Ulfi.
Plak
Lagi-lagi Ulfi terperanjat.
"Ah, ustad killer bertongkat," ucapnya refleks. Namun seketika ia sadar dan langsung menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Ulfi merutuki kebodohanya karena telah membuat pria itu menatap tajam ke arahnya bagaikan pedang yang siap menghunus jantungnya saat itu juga.
"Saya tanya, kenapa ada santriwati disini?" tanya pria yang ternyata adalah ustad Ammar dengan tatapan mematikan.
"Memangnya ada yang salah ustad? Apakah mengunjungi kakek sendiri juga di larang dalam pesantren ini?" Bukannya menjawab, Ulfi justru kembali bertanya dengan begitu santai.
"Apa? Kakek?" Ustad Ammar tampak terkejut.
"Iya, nah itu kakek." Ulfi mengedikkan dagunya ke arah kakek Hasan yang sudah berusia senja namum tubuhnya tampak begitu fit dan bugar.
Ustad Ammar mengikuti arah pandang Ulfi.
"Pak Hasan," sapa ustad Ammar lalu menyalami kakek Hasan dengan begitu sopan.
"Iya nak, ada apa ini?" tanya kakek Hasan heran melihat kehadiran sang cucu bersama salah satu ustad di pondok itu.
"Tidak apa-apa pak, saya permisi dulu," pamit ustad Ammar lalu pergi.
"Kenapa kamu kemari Ulfi, bukankah kakek sudah bilang jangan kesini sesuka hatimu karena ini kawasan santri putra, santri putri seperti kamu tidak di benarkan menginjakkan kaki disini tanpa alasan mendesak," jelas kakek Hasan.
Ulfi diam sejenak, berpikir alasan apa yang tepat untuknya saat ini agar dia bisa berlama-lama di rumah itu. Saat ini ia sedang berusaha menghindari teman-teman kamarnya yang sudah pasti sangat kesal padanya.
"Aduhhh kakek, perut Ulfi sakit banget." Ulfi meringis sambil memegang perutnya. Tentu saja itu hanya akting yang cukup mudah baginya.
"Sakit? kamu tidak bohong kan?" selidik kakek Hasan.
"Tidak kakek, suer suer suer," jawab Ulfi semakin memperdalam aktingnya sambil memperlihatkan dua jari membentuk V.
"Hmm, kalau gitu kita ke rumah sakit sekarang," ujar kakek Hasan.
"A-apa?"
"Kamu harus ke rumah sakit agar dokter bisa memeriksamu," ucap kakek Hasan.
"Aduh, kenapa malah ke rumah sakit sih, kan bisa istirahat di rumah saja, bisa ketahuan aktingku kalau sampai di periksa beneran. Eh, tunggu dulu, bukannya kalau ke rumah sakit berarti aku punya kesempatan kabur? Yah, betul, kenapa aku bodoh sekali sih," batin Ulfi yang kini mulai tersenyum senang meski senyumannya samar.
"Baik kakek, kapan kita pergi?" tanya Ulfi tudak sabaran.
"Sekarang, perbaiki jilbabmu," seru kakek Hasan lalu berjalan ke arah dimana beberapa santri sedang berkumpul.
"Bagus, berarti rencana kaburku akan bermula hari ini, pokoknya, kabur saja dulu dari penjara ini, mau kemana nanti aku, itu urusan belakangan," batinnya.
Tak lama setelah itu, kakek Hasan kembali sambil diikuti oleh seorang santri putra di belakangnya.
"Wih, kenapa di pesantren ini semua cowoknya ganteng-ganteng yah, sayangnya cowok itu menunduk terus jadi tidak jelas deh wajah tampannya" batinnya tidak berkedip menatap santri itu.
"Firdaus, kamu tolong bawa kami di rumah sakit pesantren," ujar kakek Hasan sambil memberikan kunci mobil kepada Firdaus lalu maauk ke dalam rumah untuk mengganti pakaiannya.
"Firdaus? Oh, kamu Firdaus teman sekelasku kan?" ujar Ulfi namun di abaikan oleh laki-laki itu, membuat Ulfi mengekori Firdaus yang langsung berjalan ke arah mobil kakek Hasan.
"Kamu ingat aku? Aku Ulfi, murid baru di kelas tadi," ujarnya lagi antusias, bahkan saat ini ia sudah lupa kalau ia sedang akting sakit.
"Ulfi, apa yang kamu lakukan? Apa perutmu sudah tidak sakit lagi?" tanya kakek Hasan yang baru saja keluar dari rumah.
"A-aduh aduh, perutku sakit sekali kakek, ayo cepat, Ulfi tidak tahan."
Firdaus yang menyadari perubahan Ulfi hanya menggelengkan kepalanya.
Kini mobil mulai melaju meninggalkan rumah itu. Selama perjalanan, mata Ulfi begitu fokus memperhatikan jalan yang di lalui untuk sampai di gerbang. Matanya berbinar saat melihat gerbang tempat pertama kali ia masuk sudah berada di depan mata, seutas senyuman kini tersungging di bibirnya.
Namun tiba-tiba senyuman itu hilang saat mobil justru berbelok dan berhenti tidak jauh dari gerbang itu, tepat di halaman sebuah gedung yang tidak terlalu besar dan juga tidak kecil dengan cat berwarna putih.
"Loh, kenapa kita tidak keluar? Bukannya kita mau ke rumah sakit?" tanya gadis itu merasa heran.
"Kita sudah sampai di rumah sakit, ini rumah sakit pesantren khusus untuk para santri san santriwati yang sakit," jelas kakek Hasan.
"Apa?" tubuh Ulfi seketika lemas, sungguh di luar ekspektasi, padahal ia sudah berencana untuk kabur sebelum dokter memeriksanya.
Nasi sudah jadi bubur, Ulfi melanjutkan aktingnya di depan dokter, hingga membuat dokter itu bingung, pasalnya jawaban Ulfi saat dokter itu menanyainya tidak pernah konsisten.
"Bagaimana dokter?" tanya kakek Hasan cepat saat melihat Ulfi keluar sari ruangan di ikuti oleh dokter itu.
"Sepertinya janya sakit perut biasa pak," jawab dokter itu, membuat kakek Hasan merasa lega.
"Apa kamu makan pagi tadi?" tanya kakek Hasan saat berjalan ke halaman rumah sakit.
"Makan kakek, tapi sepertinya Ulfi tidak cocok sama makanan disini, makanya perut Ulfi sakit, Ulfi kembali ke Jakarta saja yah kakek, plisss," ujar Ulfi dengan wajah memelas.
Kakek Hasan tersenyum sejenak sambil mengusap kepala sang cucu yang tertutup jilbab, membuat Ulfi semakin optimis bahwa kali ini kakeknya akan berubah pikiran.
"TIDAK!" tegasnya lalu masuk ke dalam mobil dimana Firdaus menunggu, sementara Ulfi kini mendengus kesal menatap sang kakek yang kini sudah duduk di samping Firdaus di dalam mobil. Namun, sejenak matanya tertuju pada gerbang yang baru saja di lewati sebuah mobil.
"Cepatlah naik, kita akan pulang," titah kakek Hasan.
"Kakek duluan sajalah, Ulfi ingin jalan kaki saja, lagian jaraknya juga dekat kenapa jarus naik mobil sih."
"Yah karena kamu sakit, kakek pikir kamu tidak kuat jalan," jawab kakek Hasan.
"Kalau gitu Ulfi mau jalan kaki saja, toh lebih dekat dengan asrama Ulfi kalau dari sini."
"Kamu yakin?"
"Yakin kakek."
"Baiklah, kakek duluan kalau begitu."
Mobil itupun akhirnya pergi meninggalkan Ulfi yang mulai tersenyum penuh arti.
💮💮💮
Malam mulai menyongsong, membentangkan bintang menghiasi langit dengan begitu indah.
"Guys Ulfi dimana yah? Kenapa dia belum pulang juga?" tanya Sarah setelah melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 9 malam.
"Iya juga yah, perasaan semenjak pulang sekolah tadi dia sudah tidak ada," timpal Ira.
"Apa sebaiknya kita tanyakan saja pada ibu Fauziah? Barangkali beliau tahu," usul Ika.
"Ide bagus, biar aku saja." Sarah kemudian memakai jilbabnya dan langsung keluar menuju kamar pembina asramanya itu.
Tok tok tok
"Assalamu 'alaikum ustadzah," ucap Sarah.
"Wa'alaikum salam," ucap seseorang dari dalam kamarnya.
Ceklek
"Sarah, ada apa?" tanya ustadzah Fauziah.
"Afwan ustadzah, apa ustadzah tahu dimana Ulfi?"
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Kalau aku yang jadi ustad nya ,udah aku getok tuh dahi si ulfi
2022-12-31
3
teti kurniawati
sudah ditambahkan ke favorit ya
2022-12-10
1